Berhubungan Intim Saat Istri Hamil, Emang Boleh?

darulmaarif.net – Indramayu, 18 Januari 2024 | 17.00 WIB

Hubungan intim menjadi salah satu hal yang lumrah dilakukan pasangan suami istri secara rutin. Selain sebagai tujuan berumah tangga dalam rangka memperoleh keturunan, hubungan intim juga merupakan kewajiban ibadah bagi pasangan suami istri.

Namun ketika istri sedang hamil, masih banyak pertanyaan apakah tetap hubungan intim masih boleh dilakukan?

Mengingat banyak umat Islam di Indonesia, tentu saja arahan dan panduan agama kerap menjadi bahasan mengenai hukum berhubungan intim saat istri sedang hamil.

Menurut sebagian Ulama, hubungan intim saat hamil hukumnya ikhtilaf. Ada yang mengatakan boleh, ada juga yang berpendapat hukumnya makruh. Terdapat perbedaan pendapat para Ulama Terkait hukum berhubungan intim saat istri sedang hamil.

Dalam kitab Al-Mausu’ah Fiqhiyyah 31/344 dijelaskan:

وَطْءُ الْحَامِل :
56 – اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ وَطْءِ الْحَامِل :
فَقَال أَبُو جَعْفَرٍ الطَّحَاوِيُّ : ذَهَبَ قَوْمٌ إِلَى كَرَاهَةِ وَطْءِ الرَّجُل امْرَأَتَهُ إِذَا كَانَتْ حُبْلَى ، وَاحْتَجُّوا بِمَا رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ سِرًّا، فَإِنَّ الْغَيْل يُدْرِكُ الْفَارِسَ فَيُدَعْثِرُهُ عَنْ فَرَسِهِ (3) .


(3) حديث : ” لا تقتلوا أولادكم سرا . . ” أخرجه أبو داود ( 4 / 211 ) من حديث أسماء بنت يزيد بن السكن .

وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى حِل وَطْءِ الْحَامِلِ، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا وَرَدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَنَّ رَجُلاً جَاءَ إِلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَال : إِنِّي أَعْزِل عَنِ امْرَأَتِي، فَقَال لَهُ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لِمَ تَفْعَل ذَلِكَ ؟ فَقَال الرَّجُل : أُشْفِقُ عَلَى وَلَدِهَا، فَقَال رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنْ كَانَ لِذَلِكَ فَلاَ ، مَا ضَارَّ ذَلِكَ فَارِسَ وَلاَ الرُّومَ (1) .

قَال الطَّحَاوِيُّ : فِي هَذَا الْحَدِيثِ إِبَاحَةُ وَطْءِ الْحَبَالَى، وَإِخْبَارُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ ذَلِكَ إِذَا كَانَ لاَ يَضُرُّ فَارِسَ وَالرُّومَ فَإِنَّهُ لاَ يَضُرُّ غَيْرَهُمْ .
وَاسْتَدَلُّوا أَيْضًا بِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ أَنْهَى عَنِ الْغِيلَةِ حَتَّى ذَكَرْتُ أَنَّ الرُّومَ وَفَارِسَ يَصْنَعُونَ ذَلِكَ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ (2) .
فَفِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَمَّ بِالنَّهْيِ عَنْ ذَلِكَ حَتَّى بَلَغَهُ، أَوْ حَتَّى ذَكَرَ أَنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ يَفْعَلُونَهُ فَلاَ يَضُرُّ أَوْلاَدَهُمْ .
وَفِي ذَلِكَ إِبَاحَةُ مَا قَدْ حَظَرَهُ الْحَدِيثُ الَّذِي اسْتَدَل بِهِ الْقَائِلُونَ بِكَرَاهَةِ وَطْءِ الْحَامِل (3) .


(1) حديث : ” إن كان لذلك فلا . . ” أخرجه مسلم ( 2 / 1067 ) .
(2) سبق تخريجه ف52 .
(3) شرح معاني الآثار 3 / 46 – 48، وفيض القدير 5 / 280 .

Artinya: “Menurut sebagian Ulama seperti yang dikemukakan oleh Abu Ja’far at-Thohaawy menghukumi makruhnya persetubuhan dengan istri saat sedang hamil berdasarkan hadits Nabi: “Janganlah kalian membunuh anak kalian secara pelan-pelan, karena sesungguhnya air yang mengalir akan menyusul sang penunggang kemudian merobohkan kudanya”.  (HR.Abu Daud IV/211 riwayat dari Asma Binti Yaziid Bin Assakn).

Namun menurut kalangan mayoritas Ulama Ahli Fiqh menyatakan halal dan bolehnya mensetubuhi istri di saat hamil, mereka berpijak pada hadits Nabi:

1. Sesungguhnya datang seorang lelaki pada Rosululloh Saw dan berkata : “Aku menjalani ‘azl (senggama terputus) pada istriku”. “Kenapa kau menjalaninya ?” Tanya Rosulullah. “Aku kasihan pada anaknya” Jawab lelaki itu. Kemudian Rosulullah bersabda “Bila karena hal tersebut (kehamilannya) sebenarnya tidak masalah, karena orang Persia dan Romawi juga tidak menyatakan bahaya”. (HR Muslim II/1067).

Mengenai hadits ini At-Thohaawy berpendapat : Hadits ini menunjukkan bolehnya menjalankan persetubuhan disaat hamil, Nabi memberitahu orang-orang bangsa Persia dan Romawi menjalaninya dan tidak terjadi bahaya tentunya bagi orang-orang dari bangsa lain juga tidak.

2. Pijakan yang digunakan oleh para ulama tentang bolehnya menyetubuhi istri disaat hamil juga berupa hadits: “Sesungguhnya Aku hendak melarang ghilah, tetapi aku teringat bahwa bangsa Romawi dan Persia melakukan hal itu dan itu tidak membahayakan anak-anak mereka” (HR. Muslim) Catatan: Ghilah adalah bersetubuh dengan istri ketika hamil.

Dalam hadits ini dinyatakan bahwa Nabi hendak melarang persetubuhan saat hamil namun kemudian beliau mendengar berita atau ingat bahwa bangsa Romawi dan Persia melakukannya dan itu tidak membahayakan anak-anak mereka, maka kemudian persetubuhan dalam keadaan seperti inipun tidak dilarang (selagi tidak menyakiti pasangan suami istri).

Dua hadits di  atas menunjukkan diperbolehkannya persetubuhan ini sekaligus melemahkan dasar hadits yang dipakai pijakan orang-orang yang memakruhkannya. (Syarh Ma’aani al-Aatsaar IV/46-48, Faidh alQadiir V/280). (AlMausuu’ah AlFiQhiyyah 31/344)

Di antara ulama mazhab Syafi’i yang membolehkannya secara terang-terangan adalah Al-Khatib As-Syirbini. Ia menegaskan:

ولا يحرم وطء الحامل والمرضع

Artinya, “Dan tidak haram menyetubuhi perempuan hamil dan menyusui.” (As-Syirbini, Mughnil Muhtaj, juz III, halaman 139).

Dari uraian ini dapat dipahami bahwa hukum menyetubuhi istri saat hamil ada dua pendapat, pertama makruh, dan kedua menurut mayoritas ulama adalah boleh dan tidak makruh sama sekali.

Dengan demikian, demi menjaga kesehatan janin dan ibunya, hendaknya suami yang ingin berhubungan intim saat istri sedang hamil sebaiknya memilih posisi yang tidak membahayakan kesehatannya. Sangat penting pula hal ini dikonsultasikan kepada dokter yang lebih paham dalam persoalan ini. Baik dari sisi kesehatan fisik maupun psikis sang istri.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.