Hukum Puasa Bagi Musafir Yang Bepergian Ke Daerah Yang Berbeda Zona Waktu

darulmaarif.net – Indrmayau, 19 April 2023 | 07.00 WIB

Bepergian bagi sebagian orang merupakan kegiatan yang tidak bisa dipisahkan dari siklus kehidupan manusia. Di balik perjalanan yang mereka lakukan, terdapat berbagai kebutuhan baik yang bersifat demi memenuhi hajat individual, komunal, sosial, ekonomi, politik, budaya, agama, dsb.

Islam memberikan banyak perhatian khusus untuk orang yang tengah dalam kondisi bepergian (musafir). Perhatian tersebut dilakukan dalam rangka memberikan kemudahan dan keringanan bagi para musafir dalam bersuci, sholat, zakat bahkan puasa.

Dari sekian banyak dispensasi yang disyariatkan Islam bagi musafir (jika memenuhi syarat dalam tinjauan fiqh) adalah diperbolehkannya berbuka puasa dia mrngqodlo nya di lain waktu. Hal tersebut termaktub dalam Alquran, hadits, dan ijma’ Ulama. Alloh ta’ala berfirman di surah al-Baqarah ayat 185:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْقَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَ ۗ

Artinya: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Oleh karena itu, siapa di antara kamu hadir (di tempat tinggalnya atau bukan musafir) pada bulan itu, berpuasalah. Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain…..”

Syekh Yusuf al-Qordhowi menjelaskan dalam kitabnya, Fiqhus Shiyam bahwa ayat diatas menegaskan orang sakit dan musafir boleh berbuka, akan tetapi harus mengqodlo nya di lain waktu. Dalam hadits Rosululloh Saw mengabarkan kebolehan bagi musafir untuk memilih apakah ingin berpuasa ataupun berbuka puasa?

 عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الْأَسْلَمِيَّ قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَصُومُ فِي السَّفَرِ وَكَانَ كَثِيرَ الصِّيَامِ فَقَالَ إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ

Artinya: “Dari ‘Aisyah Rodliallahu ‘anha, istri Nabi Saw bahwa Hamzah bin ‘Amru Al Aslamiy berkata, kepada Nabi Saw, ” Apakah aku boleh berpuasa saat bepergian? Dia adalah orang yang banyak berpuasa. Maka beliau menjawab, “Jika kamu mau berpuasalah dan jika kamu mau berbukalah”. (HR. Imam Bukhori)

Namun yang kadang jadi pertanyaan, jika musafir tersebut tetap berpuasa saat bepergian, bagaimana hukum puasa nya jika di tengah-tengah perjalanan sudah maghrib, kemudian ia berbuka. Lalu melanjutkan perjalanan kembali sampai tempat tujuan dan ternyata belum maghrib? Apakah ia boleh makan, minum, dsb, atau menahan diri sampai maghrib di daerah tersebut?

ولو سافر من صام إلى محل بعيد من محل رؤيته وافق أهله في الصوم آخراً، فلو عيد قبل سفره ثم أدركهم بعده صائمين أمسك معهم وإن تم العدد ثلاثين لأنه صار منهم أو سافر من البعيد إلى محل الرؤية عيد معهم وقضى يوماً إن صام ثمانية وعشرين، وإن صام تسعة وعشرين فلا قضاء وهذا الحكم لا يختص بالصوم بل يجري في غيره أيضاً حتى لو صلى المغرب بمحل وسافر إلى بلد فوجدها لم تغرب وجبت الإعادة.

Artinya: “Dan meskipun seorang yang berpuasa bepergian ke tempat yang jauh dari tempat ru-yah nya (zonasi waktu), maka ia menyesuaikan penduduk tempat itu dalam puasanya dengan mengakhirkan, dst. Hukum ini tidak hanya khusus untuk puasa, tetapi berlaku juga pada yang lain, hingga seandainya ia sholat maghrib di suatu tempat lalu bepergian ke suatu negeri dan didapatinya matahari belum tenggelam, maka sholatnya wajib diulang (i’adah).” (Kastifatus Saja, hal. 47)

Orang yang telah melaksanakan sholat subuh kemudian bepergian ke daerah yang disana belum terbit fajar. Maka orang itu wajib melaksanakan sholat subuh lagi setelah terbitnya fajar di daerah tersebut. Wajib bahinya sholat lagi (i’adah).

Keterangan tersebut juga diambilbdari kitab I’anatuth Tholibin Juz I hal. 117.

ﻭﻋﺒﺎﺭﺗﻪ ؛ ﻭﻟﻮ ﻏﺮﺑﺖ ﺍﻟﺸﻤﺲ ﻓﻰ ﺑﻠﺪ ﻓﺼﻠﻰ ﺍﻟﻤﻐﺮﺏ ﺛﻢ ﺳﺎﻓﺮ ﺍﻟﻰ ﺑﻠﺪ ﺃﺧﺮﻯ ﻓﻮﺟﺪﻫﺎ ﻟﻢ ﺗﻐﺮﺏ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺟﺒﺖ ﺍﻹﻋﺎﺩﺓ ـ ﺍﻩ ﺇﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ﺍﻟﺠﺰﺀ ﺍﻷﻭﻝ ﺹ. ١١٧

Artinya: “Ibarotnya, dan meskipun matahari terlah terbenam di suatu daerah, maka sholat maghrib. Kemudian ia melakukan perjalanan ke daerah lain dan menemukan bahwa adi daerah tersebut belum maghrib, maka ia wajib mengulang (i’adah) sholat maghrib tersebut.”

Begitu juga ketrntuan puasa bagi musafir yang tetap menjalankan ibadah puasa dalam perjalanan. Jika menemukan di suatu daerah sudah maghrib, ia berbuka puasa. Dan jika musafir tersebut melanjutkan perjalanan kembali, kemudian menemukan di daerah tersebut belum maghrib, ia harus menahan diri sampai waktu berbuka tiba di daerah tersebut.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.