11 Adab atau Kewajiban Seorang Guru Ala Imam Al-Ghozali

darulmaarif.net – Indramayu, 01 Agustus 2023 | 10.00 WIB

Guru, ustadz, atau Kyai adalah orang-orang alim. Mereka disebut alim karena memiliki ilmu yang memadai di bidangnya. Kewajiban orang alim antara lain adalah mengamalkan dan menyebarkan ilmunya kepada masyarakat atau santri. Dalam interaksinya dengan masyarakat atau santri, terutama murid-murid sendiri, seorang guru hendaknya memperhatikan adab-adab tertentu sebagaimana dijelaskan oleh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghozali At-Thusi dalam risalahnya berjudul al-Adabu fid-Din dalam Majmu’ah Rasail al-Imam al-Ghazali (Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, t.th., halaman 431) sebagai berikut:

آداب العالم: لزوم العلم، والعمل بالعلم، ودوام الوقار، ومنع التكبر وترك الدعاء به، والرفق بالمتعلم، والتأنى بالمتعجرف، وإصلاح المسألة للبليد، وبرك الأنفة من قول لا أدري، وتكون همته عندالسؤال خلاصة من السائل لإخلاص السائل، وترك التكلف، واستماع الحجة والقبول لها وإن كانت من الخصم.

Artinya: “Adab orang alim (guru), yakni: tidak berhenti menuntut ilmu, bertindak dengan ilmu, senantiasa bersikap tenang, tidak takabbur dalam memerintah atau memanggil seseorang, bersikap lembut terhadap murid, tidak membanggakan diri, mengajukan pertanyaan yang bisa dipahami orang yang lamban berpikirnya, merendah dengan mengatakan, ‘Saya tidak tahu,’ bersedia menjawab secara ringkas pertanyaan yang diajukan penanya yang kemampuan berpikirnya masih terbatas, menghindari sikap yang tak wajar, mendengar dan menerima argumentasi dari orang lain meskipun ia seorang lawan.”

Pertama, tidak berhenti menuntut ilmu. Seorang murid adalah cerminan dari gurunya. Guru teladan adalah guru yang tidak hanya menuntut murid untuk terus belajar, namun dirinya juga senantiasa upgrade keilmuan sebagai bentuk suri tauladan kepada murid-muridnya. Jangan menjadi guru yang hanya bisa memerintah muridnya untuk belajar, sedangkan dirinya berhenti belajar. Ini akan berakibat fatal terhadap sikap dan perilaku murid, terutama bagi guru itu sendiri. Sebab, guru yang bijak ia akan selalu haus dengan ilmu demi tanggung jawab dalam merawat hazanah pendidikan yang sudah berjalan sekaligus membuka cakrawala keilmuan yang lebih luas lagi.

Kedua, bertindak dengan ilmu. Seorang guru hendaknya bertindak berdasar ilmu terlebih dahulu sebelum membuat keputusan, terlebih dalam persoalan ibadah (dimensi formal hukum fiqh) dan ‘ubudiyyah (dimensi ruh dalam tasawuf) bagi guru-guru pesantren. الدّين هو العقل لادين لمن لاعقل له (Agama itu akal, tak ada agama bagi orang yang tidak berakal). Akal ini adalah sumber utama dalam mengakses informasi berupa ilmu. Apalagi jika hal tsb kaitannya dengan ilmu Agama. Sedangkan agama Islam adalah agama yang bersumber dari hak otoritatif wahyu Tuhan yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan diteruskan lewat lisan Nabi. Maka, akal menjadi jembatan yang menghubungkan antara dimensi wahyu ke dimensi syariat Agama Islam yang sudah diatur berdasar kodifikasi nash-nash rujukan sumber dalil yang shorih (jelas). Tindakan seorang guru tidak bisa hanya bersandar pada perasaannya semata, apalagi dalam menjawab persoalan-persoalan syariat Islam. Agama kok pake perasaan. Maka, penting bagi seorang guru agar beetindak berdasar ilmunya, tidak berdasar perasaannya semata. 😊

Ketiga, senantiasa bersikap tenang. Seorang guru juga harus senantiasa bertindak tenang dalam menyikapi berbagai persoalan yang terjadi pada anak didiknya. Inilah yang menjadi pembeda orang yang berilmu dengan orang yang bodoh.
Guru bertindak tenang sebab diback up oleh keilmuan yang memadai, sedang orang bodoh bertindak berdasar insting hewani yang seringkali impulsif (kagetan), emosional, tempramen alias sumbu pendek dalam menjawab persoalan yang melingkupinya.

Keempat, tidak takabbur alias sombong dalam memerintah atau memanggil seseorang. Seorang guru juga sepatutnya tidak menyombongkan diri dengan keilmuannya. Orang semakin berilmu akan semakin tawaddlu’ (rendah hati). Ini juga yang menjadi anjuran bagi guru untuk bersikap tawadlu’ kepada siapapun, termasuk kepada murid-muridnya sebagaimana baginda Nabi mengajarkan sikap tawadlu’ di hadapan sahabat-sahabatnya. Sikap tawadlu’ ini menjadi cerminan akhlak yang begitu tinggi nilainya, dan menjadi sebab murid-muridnya juga akan lebih tawadlu’ lagi jika memiliki seorang guru yang tawadlu’.

Kelima, bersikap lembut terhadap murid. Seorang guru juga harusnya bersikap lembut terhadap muridnya. Tidak kasar, arogan, atau bertindak semena-mena kepada murid-muridnya. Seringkali, sikap kasar seorang guru menyebabkan murid jadi tertutup, tidak berani jujur karena takut. Dan hal ini bisa menghambat optimalisasi perkembangan mental murid dalam belajar.

Keenam, tidak membanggakan diri. Seorang guru sebaiknya tidak berbangga diri (ta’ajjub) atas berbagai prestasi yang pernah diraihnya. Sebab hal ini (sikap ‘ujub) dapat menyebabkan seorang guru menjadi sombong. Sedangkan sifat sombong adalah pakaian mutlak Tuhan (المتكبّر), bagi manusia, Alloh senantiasa melaknat orang-orang yang berjalan sombong dimuka bumi ini. Seolah-olah orang yang sombong ini hendak menjadi pesaing Tuhan di muka bumi.

Ketujuh, mengajukan pertanyaan yang bisa dipahami orang yang lamban berpikirnya. Seorang guru juga hendaknya menjadi jembatan yang mempermudah murid-muridnya dalam belajar. Diantaranya dengan melihat standar pemahaman murid yang paling lamban dalam belajar. Harus disesuaikan dengan tingkat pemahaman murid agar tidak menjadi guru yang sia-sia dalam mengajarkan ilmu pada murid-muridnya.

Kedelapan, merendah dengan mengatakan, “Saya enggak tahu.” Seorang guru juga manusia, adakalanya guru tidak harus menjawab semua pertanyaan murid-muridnya. Jika dirasa pertanyaan murid itu masih diragukan jawabannya, bilang saja “saya tidak tahu, nanti dicari dulu jawabannya”. Jangan bertindak gegabah dalam menyampaikan ilmu, terlebih ilmu Agama. Jika dirasa tak mampu menjawab, katakan terus terang. Jangan sampai seorang guru memberikan jawaban palsu yang ia sendiri ragu atau tidak tahu tapi berpura-pura tahu, hal ini dapat menyebabkan kesesatan dalam diri murid. Ma’adzaLloh…

Kesembilan, bersedia menjawab secara ringkas (sederhana) pertanyaan yang diajukan penanya yang kemampuan berpikirnya masih terbatas. Seorang guru sebaiknya dapat menyederhanakan persoalan-persoalan yang rumit menjadi simpel dan mudah dipahami, bukan malah sebaliknya: merumitkan hal yang sebenarnya sederhana malah dibuat bertele-tele. Seorang guru dituntut untuk mengenali tingkat pemahaman setiap muridnya yang berbeda-beda dan buatlah rerata pemahaman murid dari murid yang paling rendah tingkat pemahamannya. Model sistem “Sorogan” di pesantren sangat memungkinkan guru mengenali kapabilitas kemampuan satu persatu murid-muridnya. Selain sistem Sorogan, masih banyak model pembelajaran lain yang kreatif dan inovatif. Temukan itu.

Kesepuluh, menghindari sikap yang tak wajar. Seorang guru hendaknya bersikap wajar, tidak ekstrim atas atau bawah. Bersikap keras jangan, terlalu lembut juga jangan. Sikap terlalu keras membuat murid tidak kreatif, alias block mind! Jadi murid yang close minded, critical thinking nya tidak terbangun. Bersikap terlalu lembut juga jangan, hal ini bisa menyebabkan murid jadi meremehkan gurunya. Gunakan standar tengah, dan tempatkan sesuai dengan porsi yang pas.

Kesebelas, siap mendengar dan menerima argumentasi dari orang lain meskipun ia seorang lawan. Seorang guru hendaknya mampu menjadi akomodator dari argumentasi-argumentasi yang berlawanan dari dirinya. Metode kritik (مجادلة) sebetulnya sudah dipakai oleh para Ulama-ulama kita dalam istinbathul hukmi dalam bidang Tauhid dan Fiqh, sehingga melahirkan banyak madzhab yg berangkat dr pola ijtihad yang berbeda kemudian menghasilkan produk yang berbeda pula. Kritik, atau debat ilmiah justru akan semakin menjadikan ilmu berkembang dinamis, tidak pasif dan statis. Kritik dibangun berdasar aforisma-aforisma argumentasi ilmiah yang melahirkan sintesa dari pergulatan pemikiran tesa-antitesa antar para pemikir. Di pesantren, bahstul masail adalah prototipe dari kegiatan santri dalam membangun kecerdasan kritik wacana ilmu pengetahuan. Sehingga, hasil dari bahtsu melahirkan santri-santri yang memiliki kecerdasan kritis atas bangunan-bangunan epistemik pengetahuan klasik yang dikomparasikan dengan realitas yang terjadi pada hari ini untuk menemukan solusi dari persoalan-persoalan furu’iyyah fiqh. Dengan bersikap akomodir terhadap berbagai argumen yang bertentangan dari dirinya, seorang guru tidak bersikap apriori terhadap orang lain. Kritik ilmiah sangat dianjurkan, yang tidak boleh itu nyinyir. Jadi guru harus mampu menerima kritik, tapi jangan jadi guru yang nyinyiran.

Itulah kesebelas point nasihat Adab seorang guru oleh Imam al-Ghozali.

Semoga bermanfaat. Wallohu A’lam.