darulmaarif.net – Indramayu, 04 Februari 2025 | 10.00 WIB

Dalam Islam, aurat merupakan bagian tubuh yang harus ditutupi sesuai dengan ketentuan syariat. Namun, bagaimana dengan batasan aurat antara suami dan istri? Apakah ada larangan tertentu terkait melihat atau menyentuh tubuh pasangan dalam hubungan pernikahan? Artikel ini akan membahas batasan aurat suami istri dalam Islam.
Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa Sayyidah ‘Aisyah seumur hidup tidak pernah melihat kemaluan Rosululloh SAW (HR Ibnu Majah). Hadits ini dijadikan dalil oleh sebagian orang untuk memakruhkan melihat kemaluan pasangan, meskipun sudah menikah. Karenanya, pasangan suami-istri pada saat berhubungan intim dianjurkan mematikan lampu atau menggunakan selimut agar satu sama lain tidak melihat alat kelamin pasangannya.
Namun pendapat ini dibantah oleh Ulama yang membolehkan. Di antara alasannya, hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah ini masih diperdebatkan keabsahannya. Selain itu, terdapat hadits lain yang mengisyaratkan kebolehan melihat alat vital pasangan. Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni mengatakan sebagai berikut:
ويباح لكل واحد من الزوجين النظر إلى جميع بدن صاحبه ولمسه حتى الفرج لما روي بهز بن حكيم عن أبيه عن جده قال: قلت: يا يارسول الله، عوراتنا مانأتي منها وما نذر؟ فقال: احفظ عورتك إلا من زوجتك وما ملكت يمينك. رواه الترمذي وقال حديث حسن، ولأن الفرج يحل له الاستمتاع به، فجاز النظر إليه ولمسه، كبقية البدن.
Artinya: “Dibolehkan bagi pasangan suami-istri melihat dan menyentuh semua bagi tubuh pasangannya, termasuk alat vitalnya. Pendapat ini didasarkan pada riwayat Bahaz bin Hakim, bahwa kakeknya bertanya kepada Ra
Rosululloh, ‘Wahai Rosululloh SAW, mana aurat yang boleh kami buka dan mesti kami tutup?’ Rasul menjawab, ‘Tutup auratmu kecuali untuk istrimu dan budakmu.’ Menurut At-Tirmidzi, status kekuatan hadits ini adalah hasan. Mengapa diperbolehkan? Karena alat vital adalah tempat istimta’ (bersedap-sedapan) dan diperbolehkan melihat dan menyentuhnya, seperti anggota tubuh lainnya.”
Dalam surat Al-Qur’an, hubungan suami-istri diserupakan sebagai ladang garapan;
نِسَاۤؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْۖ فَأْتُوْا حَرْثَكُمْ اَنّٰى شِئْتُمْۖ وَقَدِّمُوْا لِاَنْفُسِكُمْۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّكُمْ مُّلٰقُوْهُۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِيْنَ
Artinya: “Istrimu adalah ladang bagimu. Maka, datangilah ladangmu itu (bercampurlah dengan benar dan wajar) kapan dan bagaimana yang kamu sukai. Utamakanlah (hal yang terbaik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Alloh dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menghadap kepada-Nya. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin”. (QS. Al-Baqoroh Ayat 223)
Para ulama juga telah sepakat bahwa antara suami dan isteri tidak ada aurat, berdasarkan firman-Nya:
إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Artinya: “…Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal itu tiada tercela”. (QS. Al-Mu’minun Ay 6). (as-Shobuniy, Juz II/154).
Dari dua ayat diatas, secara keutuhan bahwa gaya apapun hubungan intim suami istri diperbolehkan selagi tidak melalui dubur (liwath). Oleh sebab itu, para Ulama membolehkan suami atau istri untuk melihat kemaluan selagi ada kebutuhan. Dengan demikian, pendapat Ibnu Qudamah tidak hanya melihatnya yang dibolehkan, tetapi menyentuhnya juga dbolehkan selagi ada hajat (baik saat jima’ atau istimta’).
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.