Tiktokers Mengemis Online: Fenomena Sosial dan Implikasi Hukum Fiqhnya

darulmaarif.net – Indramayu, 04 Mei 2025 | 08.00 WIB

Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang ekspresi sekaligus ladang penghasilan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Salah satu fenomena yang cukup mengkhawatirkan adalah maraknya konten tiktokers mengemis online, yaitu individu yang berpura-pura miskin, menunjukkan kesedihan berlebihan, atau memanfaatkan simpati penonton demi memperoleh gift atau saweran uang secara langsung dari penonton melalui aplikasi seperti TikTok Live.

Fenomena ini tidak hanya memunculkan keresahan sosial, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius dari sisi hukum Islam: Apakah praktik tersebut tergolong sebagai meminta-minta (su’āl) yang terlarang? Bagaimana pandangan fiqih terhadap penghasilan yang diperoleh dari hasil mengemis online ini? Dan apa implikasi moral serta spiritualnya bagi umat Islam?

Fenomena Mengemis Online dan Realitasnya

Mengemis dalam bentuk digital tentu berbeda dari praktik konvensional di jalanan. Namun pada intinya, terdapat kesamaan esensial: permintaan bantuan secara terbuka tanpa alasan darurat yang sah. Beberapa konten bahkan dipoles secara dramatis untuk membangkitkan empati, padahal secara finansial pelakunya tidak kekurangan

Pandangan Al-Qur’an dan Hadits Nabi

Islam memuliakan kerja keras dan mencela sikap meminta-minta tanpa kebutuhan mendesak. Dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 105, Alloh SWT memerintahkan manusia untuk bekerja dan berusaha. Banyak lagi perintah Alloh SWT agar kita bekerja dan berusaha.

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya: “Dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Alloh dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Alloh) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah ayat 105)

Firman Alloh SWT: “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu,'” adalah perintah yang ditujukan kepada seluruh manusia. Firman Allah SWT, “Maka Alloh dan Rosul-Nya serta orang-orang beriman akan melihat pekerjaanmu itu,” maksudnya adalah semua akan mengetahui perbuatanmu tanpa harus diberitahukan kepada mereka.” (Tafsir Al-Qurthubi surat At-Taubah ayat 105, [DKI: Beirut])

Ayat ini dalam tafsir menurut Imam al-Qurthubi diartikan sebagai larangan dari mencari rezeki dengan cara-cara yang merendahkan martabat manusia.

Dalam hadits lain dari Abu Hurairah rodliyallohu ‘anhu, Nabi Muhammad SAW uga bersabda:

من سأل الناس أموالهم تكثرًا فإنما يسأل جمرًا فليستقل أو ليستكثر رواه مسلم

Artinya: “Barangsiapa berlebih-lebihan dalam meminta-minta harta dari orang lain, maka sesungguhnya ia ibarat meminta-minta bara api. Maka dari itu, hendaknya ia menyedikitkan atau sebaliknya nekat berlebih-lebihan.” (HR Muslim).

Dalam hadits lain Nabi SAW bersabda:

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhuma, ia berkata: Nabi SAW bersabda:

لَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Artinya: “Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain (mengemis) sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Menurut al-Mahlab, hadits di atas merupakan bentuk penghinaan terhadap orang yang suka mengemis. Imam Bukhari memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud pada hadits tersebut adalah orang yang suka meminta-minta padahal tidak dalam keadaan darurat.

وفهم البخارى، رحمه الله، أن الذى يأتى يوم القيامة لا لحم فى وجهه من كثرة السؤال أنه السائل تكثرًا بغير ضرورة إلى السؤال، ومن سأل تكثرًا فهو غنى لا تحل له الصدقة، فعوقب فى الآخرة

Artinya: “Al-Bukhari memberikan pemahaman, sesungguhnya yang datang pada hari kiamat yang wajahnya tidak ada dagingnya sama sekali adalah orang yang banyak mengemis dalam rangka memperkaya diri tanpa ada unsur darurat. Barangsiapa mengemis berdasarkan untuk memperkaya diri, ia termasuk dikategorikan orang kaya yang tidak halal menerima shadaqah. Di akhirat kelak akan disiksa. (Ibnu Bathal, Syarah Ibnu Bathal, [Maktabah ar-Rusyd: Riyadh, 2003], juz 3, halaman 512)

Dua hadits diatas menekankan betapa Islam melarang praktik meminta-minta tanpa kebutuhan, apalagi jika hal itu hanya demi keuntungan duniawi semata.

Hukum Fiqih Mengemis Online

Dalam kitab al-Najm al-Wahhâj fi Syarh al-Minhâj, Syaikh Muhammad bin Musa al-Damiri mengutip perkataan dari Ibn al-Shalah dijelaskan:

وقال ابن الصلاح: السؤال حرام مع التذلل والإلحاح وإيذاء المسؤول

Artinya: “Ibn al-Sholah berkata: meminta-minta hukumnya haram apabila disertai dengan unsur menghinakan diri, dilakukan secara berulang-ulang dan menyakiti perasaan orang yang dimintai.” (Muhammad bin Musa al-Damiri, al-Najm al-Wahhâj fi Syarh al-Minhâj, [Beirut: Dâr al-Minhâj], juz 6 halaman 478]

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din juga menegaskan bahwa kehormatan seorang Muslim lebih utama dari sekadar memperoleh harta, dan meminta-minta tanpa hajat tergolong menistakan diri secara batin dan lahir.

Sementara itu, Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghozaly dalam Roudlotut Tholibin wa ‘Umdatus Salikin mengingatkan pengemis sebagai berikut:

مَنْ سَأَلَ وَعِندَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَقَدْ قَطَعَ الطَّرِيقَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَالْمَسَاكِينِ

Artinya: “Barang siapa yang meminta-minta, padahal ia memiliki makanan pokok untuk satu hari, itu sama halnya telah merampok orang-orang lemah dan miskin.”

Perkataan Imam Al-Ghozaly mengisyaratkan bahwa meminta-minta tanpa kebutuhan yang mendesak, terutama ketika masih memiliki cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, sebanding dengan perbuatan merampok terhadap individu yang lemah dan miskin.

Implikasi Hukum Fiqh terhadap Tiktokers Mengemis Online

Dari sudut pandang fiqih, praktik mengemis online yang dilakukan:

  1. Tanpa kebutuhan mendesak,
  2. Dengan menciptakan narasi dramatis atau bohong,
  3. Untuk memperoleh materi dari penonton,

maka tergolong haram menurut mayoritas pendapat Ulama. Bahkan, jika disertai kebohongan atau manipulasi visual (misalnya berpura-pura cacat atau kelaparan), maka hukumannya bisa meningkat pada kategori gharar (penipuan), yang dilarang dalam transaksi dan perbuatan memgemis.

Bagaimana Dengan Uang yang Diterima?

Uang yang diterima dari saweran karena mengemis online tersebut masuk dalam kategori harta yang diperoleh dari jalan yang syubhat (meragukan), bahkan bisa menjadi haram jika niat dan caranya bathil. Maka sebaiknya, jika seseorang terlanjur menerima dan menyadari kekeliruannya, hendaknya:

  • Bertaubat kepada Alloh SWT,
  • Menghentikan konten serupa (mengemis online),
  • Menyalurkan sebagian pendapatan untuk sedekah sebagai bentuk peraubatqn sosial.

Kesimpulannya, mengemis tetaplah mengemis, meski dalam format live streaming. Islam tidak menghalangi orang miskin untuk dibantu, tetapi melarang orang yang mampu mencari makan dengan tangan sendiri namun justru memilih menjadi objek kasihan. Mari kita ingat pesan Nabi:

الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى

Artinya: “Tangan di atas (memberi) lebih baik dari pada tangan yang di bawah (yang meminta).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.