darulmaarif.net – Indramayu, 17 November 2025 | 09.00 WIB
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat, generasi muda hidup dalam tekanan yang tak pernah dihadapi generasi sebelumnya. Informasi mengalir deras tanpa henti; media sosial menciptakan standar palsu tentang kesuksesan, kecantikan, dan kebahagiaan; dunia akademik semakin kompetitif; keluarga semakin sibuk; dan ruang sosial semakin sempit. Akibatnya, generasi ini mengalami peningkatan fenomena anxiety, fobia sosial, hingga depresi. Mereka hidup dalam apa yang disebut para filsuf sebagai “the age of anxiety”, sebuah zaman yang kehilangan pusat ketenangan.
Namun, Islam—dengan seluruh kekayaan spiritual, psikis, dan khazanah keilmuannya—sebenarnya telah menyediakan kerangka komprehensif untuk menghadapi problem kesehatan mental manusia modern. Solusi tersebut bukan hanya psikologis, tetapi juga spiritual, sosial, dan bahkan fisiologis sebagaimana Islam secara komprehensif telah menjelaskan hal tersebut. Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an Alloh SWT berfirman:
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ
Artinya: “Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh Ayat 155)
Ayat ini menegaskan bahwa khauf (rasa cemas dan takut) adalah bagian dari struktur kehidupan itu sendiri. Islam tidak memerintahkan manusia menghilangkan rasa takut, tetapi mengelolanya, menjadikannya bagian dari proses pematangan jiwa, dan menghadapinya dengan kesabaran serta kesadaran akan pertolongan Alloh.
Dalam ayat lain, dengan bahasa yang memukau dan indah, Alloh juga menegaskan:
فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا
Artinya: “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sungguh, bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah Ayat 5-6)
Ditegaskan dua kali (dengan taukid) bahwa setiap kesulitan selalu beriring dengan kemudahan. Para ulama ahli Tafsir, seperti Imam Al-Qurthubi dalam kitabnya Al-Jami’ li Ahkāmil Qur’ān, jld. 20, hlm. 102 menjelaskan bahwa ‘satu kesulitan tidak akan mengalahkan dua kemudahan’ — sebuah konsep optimisme Qur’ani yang sangat relevan bagi generasi cemas.
Di antara doa paling kuat yang diajarkan Baginda Nabi Muhammad SAW untuk menghadapi kecemasan, depresi, dan tekanan hidup;
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
Artinya: “Ya Alloh, aku berlindung kepada-Mu dari rasa cemas dan sedih, dari lemah dan malas, dari sifat pengecut dan kikir, dari lilitan hutang, serta dari tekanan manusia.” (HR. Al-Bukhori No, Ṣaḥīḥ al-Bukhorī, Dār Ṭawq al-Najāh, 1422 H, jld. 5, hlm. 96)
Doa ini mencakup delapan problem mental yang sering muncul dalam depresi modern: kecemasan, kesedihan, kehilangan motivasi, rasa tidak mampu, ketakutan sosial, tekanan ekonomi, dan tekanan sosial. Hadits ini menunjukkan bahwa kesehatan mental adalah bagian integral dari ajaran Nabi.
Syekh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah al-Khazraji dalam kitabnya Mashāliḥ al-Abdān wa al-Anfus mengatakan:
وَمِنْ أَعْظَمِ دَوَاءِ الْهُمُومِ مُلَازَمَةُ الذِّكْرِ وَتَعْظِيمُ التَّوَكُّلِ عَلَى اللهِ، فَبِهِ تَطْمَئِنُّ النُّفُوسُ وَتَسْكُنُ الْقُلُوبُ
Artinya: “Di antara obat terbesar bagi kegelisahan adalah membiasakan dzikir dan memperkuat tawakal kepada Alloh. Dengan keduanya, jiwa menjadi tenang dan hati menjadi tenteram.” (Mashāliḥ al-Abdān wa al-Anfus, hlm. 143)
Beliau menjelaskan bahwa dzikir dan tawakal bukan hanya ibadah, tetapi terapi psiko-spiritual yang menenangkan sistem saraf, sehingga mengurangi kecemasan secara signifikan.
Dalam kitab yang sama, beliau juga menambahkan:
وَعِلَاجُ الْفَوْبِيَا وَالْفَزَعِ يَكُونُ بِتَصْحِيحِ التَّوَهُّمَاتِ، وَتَدَرُّجِ النَّفْسِ فِي مُوَاجَهَةِ مَخَاوِفِهَا، مَعَ الِاسْتِعَانَةِ بِالْأَذْكَارِ الْوَارِدَةِ
Artinya: “Pengobatan fobia dan kepanikan dilakukan dengan memperbaiki persepsi yang keliru, melatih jiwa secara bertahap agar berani menghadapi ketakutannya, serta dibarengi dengan dzikir-dzikir yang diajarkan.” (Ibid, hlm. 167)
Ini menarik karena Syekh Khazraji sudah menjelaskan cognitive reframing dan exposure therapy—padahal itu adalah konsep psikologi modern—membuktikan bahwa kitab kuning sangat kaya untuk isu kesehatan mental manusia.
Berbagai penelitian modern (misalnya jurnal Mental Health, Religion & Culture, Routledge, 2020) menunjukkan bahwa shalat dan dzikir menurunkan hormon stres dan meningkatkan stabilitas emosi. Islam sejak dulu menegaskan hubungan antara ibadah dan ketenangan:
أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ
Artinya: “Ketahuilah, hanya dengan mengingat Alloh hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra‘d ayat 28)
Menurut Imam Ibn Katsir dalam kitab Tafsir Ibn Katsir, jld. 4, hlm. 438, “ketenangan hati” dalam ayat ini mencakup ketentraman mental, stabilitas batin, dan hilangnya keresahan.
Psikoterapi Islam berkembang dengan dasar keyakinan bahwa manusia terdiri dari ruh, akal, dan jasad. Salah satu metode yang paling banyak diteliti ialah terapi dzikir.
Hal ini sangat selaras dengan pemikiran Imam al-Ghozali dalam Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn, jld. 4, hlm. 242), ketika beliau menyatakan:
وَلَا يَنْجُو الْعَبْدُ مِنْ قَلَقِهِ وَغَمِّهِ إِلَّا إِذَا امْتَلَأَ قَلْبُهُ بِذِكْرِ اللهِ
Artinya: “Seorang hamba tidak akan selamat dari kecemasan dan kesedihannya kecuali jika hatinya dipenuhi oleh dzikir kepada Alloh.” Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Dar al-Ma‘rifah, Beirut, jld. 4, hlm. 242)
Menurut al-Ghozali, kecemasan adalah ruang kosong dalam jiwa yang hanya bisa diisi oleh dzikir. Semakin dekat seseorang dengan Alloh SWT, semakin stabil kesehatan mentalnya.
Pada akhirnya, kecemasan, fobia sosial, dan depresi yang dialami generasi muda bukanlah tanda kelemahan, melainkan bagian dari dinamika zaman yang penuh tekanan. Islam hadir bukan sekadar sebagai sistem keimanan, tetapi sebagai terapi hidup yang menyeluruh—menyatukan akal, hati, dan ruhani. Melalui tuntunan Al-Qur’an, bimbingan Nabi, dan warisan keilmuan para ulama, kita menemukan bahwa ketenangan bukanlah hasil dari pelarian, melainkan buah dari kedekatan kepada Alloh, keteguhan hati, serta kesadaran diri yang jernih. Ibadah, dzikir, tadabbur, dan psikoterapi Islam menjadi jalan yang tidak hanya mengatasi gejolak mental, tetapi juga menguatkan identitas spiritual di tengah kecamuk badai sosial modern.
Generasi muda tidak perlu merasa sendirian. Ada Alloh yang selalu dekat, ada tuntunan ilmu yang terang, dan ada jalan pulang bagi setiap hati yang gundah gulana. Maka di tengah hiruk-pikuk dunia digital, ambisi sosial, dan tekanan hidup yang tak kunjung reda, mari bertanya pada diri sendiri: apakah kita sudah benar-benar memahami bahwa ketenangan sejati tidak dicari di luar diri, melainkan ditemukan di dalam hati dan jiwa yang terus tawakkal?
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.