Sebuah Cerpen: Surat-Surat Tanpa Alamat

darulmaarif.net – Indramayu, 28 September 2025 | 08.00 WIB

Malam merayap pelan, meninggalkan jejak embun di kaca jendela asrama putri. Putri Levia duduk bersandar pada dipan kayu yang sudah mulai berdecit, matanya menerawang jauh ke luar jendela. Ada bulan separuh yang tergantung di langit, seperti separuh hatinya yang hilang entah di mana.

“Levia, kenapa belum tidur? Besok kan halaqah subuh,” bisik Ratih, teman sekamarnya.

Levia hanya tersenyum tipis. “Aku sedang menunggu sesuatu yang bahkan aku tak tahu apakah akan datang.”

Ratih mendesah, tak bertanya lebih lanjut. Ia sudah terbiasa dengan jawaban penuh teka-teki dari sahabatnya itu.

Sejak pertama kali mondok di pesantren, Putri Levia selalu terlihat berbeda. Ia pandai membaca kitab kuning, fasih dengan aksen Inggris standar IELS, suaranya juga lumayan merdu saat melantunkan Al-Qur’an, tapi ada semacam tirai kesepian yang melingkupi dirinya. Tak seorang pun tahu bahwa di balik tirai itu, ada nama yang terus ia jaga di hatinya: seseorang yang pernah berjanji akan menemuinya kembali di suatu hari yang tak ditentukan.

Namun janji, seperti daun gugur di musim kemarau, sering kali hanyalah bayangan yang tak sempat kembali ke rantingnya.

***

Suatu malam, saat kajian kitab kuning usai, Ustadzah Nurul ‘Atik bercerita tentang sabar yang hakiki. “Menunggu dalam kesabaran itu seperti menanam pohon. Ia tidak tumbuh dalam sehari, tapi bila disiram dengan doa, akan berbuah dengan sendirinya.”

Kata-kata itu menghujam relung renung dada Levia. Ia menggenggam jemarinya sendiri, berbisik lirih dalam hati: Apakah aku sedang menanam pohon, atau hanya menunggu bayangan yang tak pernah berakar?

Hari-hari di pesantren berjalan dengan rutinitas yang teratur. Bangun dini hari, mengaji, belajar, menulis, mendengarkan ceramah. Namun di antara jeda-jeda doa, Levia selalu menyelipkan nama yang dirinduinya. Nama itu tak pernah ia sebutkan dengan suara, hanya dengan gemetar hati.

Ratih suatu kali bertanya, “Kau selalu menulis surat, tapi tak pernah kau kirimkan. Untuk siapa sebenarnya?”

Levia menunduk, menutup lembaran surat yang tak pernah beralamat. “Untuk seseorang yang mungkin tak lagi mengingatku.”

Ratih terdiam. Ia tahu, beberapa luka hanya bisa disimpan, bukan dibicarakan.

***

Pada suatu sore, kabarpun tiba-tiba datang. Menyeruak seketika di uluh hatinya. Seseorang dari masa lalu Levia telah menikah. Nama yang selalu ia jaga, yang selalu ia tunggu, kini sah menjadi milik perempuan lain.

Levia mendengar kabar itu dari pesan pendek yang terbaca tak sengaja di ponsel seorang sahabat lama. Dunia seakan runtuh sesaat, tapi wajahnya tetap teduh. Tidak ada air mata jatuh, hanya sejenis retakan halus yang merambat di dinding jiwanya.

Malam itu, ia kembali duduk di sandaran dipan kayu kamarnya, menatap bulan yang penuh kali ini. Ratih melihatnya, berbisik pelan, “Kau baik-baik saja, Put?”

Putri tersenyum, meski senyumnya seperti daun layu yang dipaksa tetap hijau. “Rindu kadang tidak perlu berbalas, Ratih. Ia cukup dinikmati seperti musafir yang tak pernah tau kapan ia pulang…”

Hari-hari berlalu, tapi lukanya tidak pernah benar-benar sembuh. Levia memilih menutup rindunya dalam doa, membiarkannya jadi rahasia antara dirinya dan Tuhan. Ia sadar, menunggu bukan berarti harus selalu memiliki. Kadang menunggu hanyalah jalan sunyi untuk belajar ikhlas, meski sesak.

Namun, diam-diam, ia masih saja menulis surat. Surat-surat tanpa alamat, yang setiap kalimatnya seperti ranting patah, tapi tetap ia rawat dengan penuh kesetiaan.

Suatu malam, menjelang ujian akhir pesantren, Levia menemukan sebuah amplop di rak bukunya. Tulisan tangannya sendiri, tapi dengan pesan yang tak pernah ia tulis:

“Jangan menunggu terlalu lama. Ada yang lebih setia daripada manusia—yaitu Tuhan yang selalu menunggumu dalam tiap endapan doa-doamu sendiri.”

Ia tertegun. Entah siapa yang menaruh amplop itu, atau apakah ia benar-benar pernah menulisnya lalu lupa.

Levia tersenyum samar, menutup amplop itu dan memeluknya erat. Rasa rindu yang ia jaga sekian lama kini berubah bentuk: bukan lagi untuk seseorang yang tak kembali, melainkan untuk dirinya sendiri yang pernah hilang dalam penantian panjang.

Di luar, adzan isya segera berkumandang. Angin malam berembus membawa aroma dedaunan dari halaman depan pesantren. Levia berdiri, mengambil mukena, lalu segera bergegas ke masjid.

Namun dalam hatinya, masih ada satu pertanyaan yang berdenyut pelan:

Jika rindu ini telah berubah arah, apakah aku benar-benar berhenti menunggu, ataukah penantian hanya mengambil wujud baru?

Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu masjid. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah masuk, meninggalkan bayangan yang menggantung di ambang pintu.

Dan malam pun kembali menutup tirainya, meninggalkan Putri Levia di serambi pesantren dengan segenggam doa yang entah akan singgah di hati siapa.

Ia duduk menatap langit yang penuh bintang, seolah mencari satu di antaranya yang mungkin diam-diam membawa namanya. Angin menyusup ke sela-sela kerudungnya, membawa bisikan rindu yang tak pernah selesai ia ucapkan. Waktu terus berjalan, jam berdetak, urat nadi berdenyut, tapi hatinya tetap menolak menyerah, menolak berhenti menunggu.

Ada yang ia yakini—bahwa penantian, meski tak pernah berujung temu, tetaplah bentuk cinta yang paling setia. Dan dalam setiap helai ayat yang ia lantunkan sebelum tidur, dalam setiap air mata yang ia basuh bersama air wudlu, ada sebuah nama yang ia titipkan tanpa pernah berani ia sebut namanya. Malam semakin dalam, cahaya lampu pesantren satu per satu padam, tetapi di dalam dadanya ada api kecil yang enggan mati: harapan bahwa mungkin, esok, atau lusa, atau entah kapan, rindu yang ia simpan akan menemukan jalannya sendiri. Hingga saat itu tiba, ia hanya bisa terus menunggu, menunggu, dan menunggu—dengan seluruh luka dan cinta yang tak pernah selesai dituliskan.

Tamat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share:

More Posts