darulmaarif.net – Indramayu, 20 September 2025 | 10.00 WIB
Malam itu, angin di Puncak berbisik seperti orang tua yang lupa bahasanya sendiri. Kabut bergulung di antara batu-batu, menempel pada tanaman perdu seperti selimut lusuh yang tak lagi hangat. Di kejauhan, lampu-lampu kota berkelap-kelip. Di sanalah, di sebuah bangku kayu yang retak, Kematian duduk menunggu — bukan dengan sabar, melainkan dengan rasa lelah yang merayap di ujung-ujung jari.
“Datanglah lagi besok,” ia bersenandung pada dirinya sendiri, nada suaranya setengah tawa, setengah ratap. Suara itu mengalun dan pecah menjadi ekor-ekor bunyi yang menempel pada daun-daun pinus. Ia menutup mata sejenak, dan kenangan itu menumpuk: rambutnya yang semakin putih, hidup yang berkurang satu demi satu, napas-napas yang pernah ia pilah-pilah seperti memasak padi di tungku — memilih siapa yang rela menyerahkan napasnya padanya.
Di bawah bangku, ada sebuah termos berkarat. Sekali waktu, ada yang menyaksikan bayangannya: siang menjelma gagak, malamnya atap berubah menjadi ruahan lolongan. Namun Puncak ini tidak menampakkan gagak malam itu; hanya bulan, dan sebuah cahaya samar yang mengingatkan pada lampu salon rambut — dingin dan tajam.
Langit memantulkan suara-suara. Dari balik semak, langkah-langkah mendekat — ringan, ragu. Musafir malam, perempuan muda yang tubuhnya kecil seperti sendok teh, menghampiri. Matanya merah karena menahan sesuatu yang tak bisa dihadamkan; bukan takut, tetapi aduan.
“Apa benar kau Kematian?” tanyanya, suaranya serak seperti ranting patah.
Kematian membuka satu mata. “Mungkin. Atau mungkin hanya sehelai malam yang lupa pulang,” jawabnya datar, tetapi ada nada yang menunggu—selalu menunggu.
Perempuan itu tertawa getir. “Orang-orang mengatakan engkau licik. Mengambil ketika kita lengah, membungkus dengan kata ‘damai’. Tapi aku—” ia terdiam, menggenggam punggung tangannya sendiri. “Aku di sini bukan untuk menentang. Aku ingin menawar.”
“Menawar?” Kematian mengangkat alis yang tak lagi bisa kerut. “Menawar apa? Hidup? Waktu? Atau hanya sesingkat ingatan?”
“Aku ingin kau mengambil kesedihanku, bukan nyawaku. Ambil apa yang membuatku terjaga sampai fajar, yang membuatku lupa bagaimana tertawa sendiri. Ambil sisa-sisa rinduku jika itu lebih mudah.” Ia menatap kosong ke lereng, di mana rumah-rumah kecil teronggok seperti perahu di danau gelap. “Aku sudah lelah menahan kenangan tentang seseorang yang pergi saat senja. Di setiap napasku, ada gambar dia, ada aroma kopi yang tak pernah ia minum di pagi itu.”
Kematian hampir tersenyum. “Kupikir —,” ia mulai, suaranya turun lintang-lintang, “aku tidak punya lagi kematian untuk diberikan. Kekasihku pergi pada suatu senja yang buta; sejak itu, kematian masuk perlahan melalui pori-pori. Tapi kau… kau tak mengerti. Mengambil kesedihan kadang lebih berat daripada mengambil napas.”
Mereka duduk berdua dalambisik angin. Di bawah, jauh seperti cerita lain, ada suara tawa yang nyaris pudar — sekumpulan pemburu malam yang pulang dengan kantong kosong.
“Kalau yang kamu minta adalah kematianku,” kata perempuan itu, “maka ambillah. Aku tak kuat lagi menanggung rasa ini.”
Kematian menatapnya lama. Ada sesuatu yang bergetar di sana — sebuah perasaan yang bukan sepenuhnya asing: rasa kosong.
“Sebenarnya, aku sudah tidak punya lagi kematian yang bisa diambil,” bisik perempuan lirih. “Tapi kau boleh mengambil rohku. Ambil tempat yang ditinggalkan oleh kekasihku. Jika itu berhasil, aku akan… tersenyum.”
Perempuan itu mendengus. “Ironis. Pencabut roh yang menolak mengambil roh karena cinta sendiri.” Ia menepuk lututnya, lalu tertawa kecil sendu. “Bagaimana bisa kau menolak jika aku datang mengetuk pintu seperti ini?”
“Kamu datang membawa kesepian lain.” Kematian berdiri, menggoyangkan jas yang tidak pernah hilang warnanya. “Dan aku, kau lihat, lebih lapar pada kenangan daripada pada daging.”
Pertengkaran itu bukanlah pertengkaran. Mereka bertukar klausa-klausa yang halus, seperti ranting yang saling menyentuh. Di antara kata-kata, gunung menyimpan bisu. Malam menunggu bagian klimaksnya — yang selalu datang ketika dua jiwa bingung saling memahami.
Tiba-tiba, dari arah desa, terdengar langkah cepat: seorang lelaki tua, berambut putih seperti kain kasa, napasnya berat. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat yang lapuk. Wajahnya yang keriput menatap lurus ke arah Kematian, penuh tantangan yang lembut.
“Pak Tua?” perempuan itu berbisik. Sang lelaki tertawa, suaranya serak, serupa gesekan daun. “Mimpiku pecah…,” katanya tanpa basa-basi. “Mimpi itu memakanku dari dalam. Aku melihat atap rumah menjadi lubang-lubang, dan di setiap lubang itu ada suara kekasihku yang tertawa di masa lampau. Aku ingin tahu: apakah ini hukuman atau hadiah?”
Kematian mencondongkan kepala. Ia mengenal lelaki ini — takrahnya jauh lebih tua dari umur biasa; ia adalah satu dari mereka yang sering disebut “yang hampir selesai”. “Pak Tua, kau ingin aku mengambilmu?”
“Aku? Aku hanya ingin tenang. Tapi tenang yang kumau berbeda: bukan seperti orang yang menyerah, tapi seperti roti yang hangat, yang dihembuskan ke udara oleh tangan yang tahu caranya.” Pak Tua menatap bulan. “Jika kau datang malam ini, jangan ambil sebelum aku tertawa lagi. Jangan ambil sebelum aku mengirim salam untuk semua yang pernah menampar pipiku.” Ia mengangkat tongkat seolah memberi hormat pada masa lampau.
Perempuan dan Kematian tertawa, tiba-tiba ringan. Gelak itu memecah kabut. Di situ, dialog mereka berubah — dari tawar-menawar menjadi reuni kecil yang aneh antara yang menunggu dan yang ditunggu.
Ia bergulat antara profesi dan kerinduan. Ia dituntut mengambil, tetapi hatinya menanti dilepaskan. Ada kemarahan pada seseorang yang hilang: kekasihnya. Ada pengkhianatan pada peraturan kosmik: menginginkan kembali apa yang tidak ia miliki. Perempuan itu, di sisi lain, membawa luka yang telah dinilainya sebagai utang. Pak Tua membawa humor sebagai cara terakhir untuk menunda kepergian.
Malam melaju ke puncaknya. Di suatu titik, Kematian berdiri, melangkah ke pinggir tebing seolah ingin melihat dunia dari sudut pandangnya sendiri. Angin menggila, membawa serta serpihan-serpihan daun yang menari. “Baik,” katanya akhirnya. “Aku datang dengan syarat: kau berdua menertawakan aku terlebih dahulu. Aku ingin melihat wajah-wajah yang mengerti bahwa setiap perpisahan punya ritme — bukan kelam, tetapi tarian yang ditutup dengan tepuk tangan.”
Perempuan itu dan Pak Tua saling pandang. Mereka melepaskan tawa yang lebih panjang dari yang diizinkan malam. Tawa itu tak lagi getir; ia menjadi sebuah simfoni kecil yang menolak diperbudak oleh kesedihan.
Ketika tawa itu mereda, Kematian menyentuh pundak Pak Tua—sentuhan ibarat embun yang memberi selamat tinggal. Napas lelaki tua itu lembut, seolah ditarik oleh tali tak kasat mata, bukan dicabut. Pak Tua menutup mata dengan senyum, bibirnya mengucap sesuatu yang tidak terdengar: “Sampai jumpa di tempat di mana kopi selalu panas.”
Perempuan itu menunduk. Ia merasa sesuatu bergeser dalam dadanya — bukan kekosongan, melainkan ruang yang baru saja diberi celah untuk masuk cahaya. Kematian menoleh padanya. “Kau minta aku mengambil kesedihanmu,” katanya. “Aku akan memberi kondisi: jangan pernah menutup kenanganmu sepenuhnya. Jadikan ia kompor kecil untuk memasak hari-hari yang masih harus kau jalani.”
Ia mengambil selembar roh dari perempuan itu, bukan seluruhnya: hanya benang kusut yang membuatnya terjaga di tengah malam. Benang itu menguap seperti asap rokok, dan perempuan itu menghela napas, merasakan beratnya melepas sesuatu yang sebenarnya ia tak ingin lepaskan sepenuhnya.
Puncaknya bukan ledakan, melainkan pergeseran halus — seperti meja tua yang dipindahkan sedikit sehingga sinar bulan bisa menembus ke sudut yang lama gelap. Kematian, yang semula tampak keras, mendapati dirinya belajar sebuah ritual baru: merayakan sambil menangis, menari sambil melepaskan.
Ketika pagi menipis di ufuk timur, mereka bertiga duduk menghamparkan senja yang belum selesai. Pak Tua telah pergi dengan cara yang pantas; perempuan itu memegang cawan kecil yang kini terasa hangat. Kematian menatap ke arah kota, kemudian menatap ke dalam dirinya sendiri — ke lubang tempat kekasihnya pernah menari.
“Dulu aku memikirkan kematian sebagai tugas,” katanya pelan, “sekarang aku memikirkan kematian sebagai pertemuan: kita mengikat tangan untuk beberapa saat, lalu melepaskannya. Tidak ada yang mutlak di sini, hanya masak-memasak rasa. Malam telah mengajarkanku untuk menyingkap topeng sebelum meremehkan siapa pun.”
Perempuan itu menaruh tangan di atas tangan Kematian, tindakan kecil seperti doa. “Kalau kau rindu,” ia berkata, “cari aku lagi. Tapi bukan sebagai pengambil, sebagai teman.”
Kematian menutup mata. Angin membawa aroma kopi samar. Di sana, di atas Puncak, mereka merayakan sesuatu yang tak bernama: perpindahan yang lembut, dan pengetahuan bahwa bahkan hal yang menakutkan sekalipun bisa ditertawakan.
Kematian datang bukan sebagai akhir, melainkan sebagai urat-urat yang mengikat. Ketika kota-kota bangun, perempuan itu turun dari Puncak dengan langkah yang tak lagi patah; ia membawa abu Pak Tua dalam sebuah kotak kecil, abu yang ia tebarkan di tanah di mana bunga-bunga liar tumbuh lagi.
Di balik semua itu—di balik malam yang memendam tanya, di balik bisik-bisik gagak yang mungkin hanya bayangan—Kematian berjalan pulang ke sebuah rumah tanpa jendela, memupuk rambut putihnya, menyisir kenangan kekasih yang hilang. Ia menyalakan musik kecil, menari sendiri, lalu menyanyikan satu lagu yang hanya mungkin didengar oleh mereka yang pernah kehilangan.
Dan di akhir cerita, biarlah kata-kata menjadi selimut: ada satu hal yang kita sepakati malam itu, dan semoga kau, pembaca, mengetahuinya juga — bahwa perpisahan, ketika disambut seperti pesta kecil, tidak menghabiskan kita. Ia memberi ruang bagi tawa yang pernah disangka sirna, bagi pagi yang selalu berjaga di belakang duka. Kematian, pada akhirnya, bukanlah lawan yang datang untuk menutup buku; ia adalah penjaga pintu yang tahu kapan harus mengetuk, kapan harus menunggu, dan kadang-kadang, kapan harus berdiri bersamamu di tepi puncak, menatap jauh ke lembah, lalu tersenyum karena dunia masih cukup lebar untuk menampung kerinduan.
Tamat.