darulmaarif.net – Indramayu, Senin 17 Oktober 2022 | 09.00 WIB
Menyambut peringatan Hari Santri Nasional (HSN) yang digelar setiap 22 Oktober, tahun ini Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat berencana menggelar sejumlah agenda mulai dari ziarah napak tilas masyayikh NU di Jawa Barat hingga melaksanakan apel bersama 15 Ribu santri. Agenda napak tilas msyayikh NU dimulai dari Makam Habib Utsman & H. Mahbub Djunaedi di Caringin, Bandung, Makam KH. Abdul Chalim Leuwimunding, Majalengka, KH. Amin Sepuh & KH. Solihin di Pesantren Babakan Ciwaringin, MAkam KH. ‘Abbas di Pondok Pesantren Buntet, kemudian di makam KH. Arsyad Kaplongan Indramayu.
Pada agenda napak tilas masyayikh NU yang bertempat di Kampus Hijau, tim rombongan napak tilas PWNU Jabar yang dipimpin oleh KH. Juhadi Muhammad disambut hangat langsung oleh bapak H. Dedi Wahidi selaku pembina yayasan Darul Ma’arif, bapak Arsyad selaku ketua yayasan dan keluarga yayasan di Aula STKIP NU Indramayu pada pukul 20.00 WIB. Ketua PCNU kab. Pada pertemuan tim napak tilas PWNU Jabar, ketua PCNU Indramayu menyampaikan selamat datang dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tuan rumah atas penyambutannya yang begitu baik.
“Dalam rangka memeriahkan Hari Santri Nasional, napak tilas masyayikh NU ini dimaksudkan untuk mengenang jasa-jasa para masyayikh NU, menyambung tali silaturahmi dengan pesantren-pesantren di Jawa Barat khususnya pondok pesantren Darul Ma’arif Indramayu. Rute agenda dimulai dari makam Habib Utsman & H. Mahbub Djunaedi di Bandung, KH. Abdul Chalim di Majalengka, KH. Amin Sepuh & KH. Solihin di Babakan Ciwaringin, KH. ‘Abbas di Buntet, kemudian makam KH. Arsyad di Indramayu, agenda setelah ini kami dua titik yaitu KH. Ilyas Ruhiat & KH. Zaenal Musthafa di Tasikmalaya, terakhir di KH. Anwar Musaddad di Garut. Kami segenap keluarga besar PWNU Jawa BArat mengucapkan terima kasih banyak kepada bapak H. Dedi Wahidi dan keluarga yayasan yang telah menjamu kedatangan kami dengan hangat.” Ucap KH. Juadi Mumahhamd selaku ketua PWNU Jabar dalam sambutannya.
Dalam kesempatan kali ini, bapak H. Dedi Wahidi yang akrab disapa Dewa menerangkan kilas sejarah perjuangan KH. Arsyad dalam menumpas penjajahan Belanda yang menduduki wilayah Kaplongan Indramayu. KH Arsyad pernah mesantren di Babakan Cirebon dan Bangkalan Madura. KH Arsyad dalam melakukan dakwah (syiar Islam) khususnya di Desa Kaplongan dilakukan melalui cara damai, sabar, dan tidak memaksa. KH Arsyad juga dipandang sebagai kiai sepuh NU yang sakti mandraguna dengan penguasaan ilmu hikmah yang sangat luar biasa. Awal dimulainya perlawanan petani Kaplongan ialah saat di mana para petani diperintahkan oleh sonchô untuk mengangkat padi-padi milik H. Aksan. Petani yang melakukan proses tersebut sebenarnya melakukannya dengan setengah hati, sedangkan H. Aksan sendiri menerima dengan lapang. Singkatnya di pertengahan proses tersebut, para petani meminta istirahat untuk shalat karena sudah memasuki waktu shalat Jumat, namun pihak sonchô menolak dan memerintahkan para petani untuk melanjutkan. Melihat tingkah sonchô dan polisi pengawalnya semena-mena tersebut, para petani melakukan protes bahkan sonchô sampai mengalami luka-luka dan membuat dua polisi pengawalnya terbunuh. Petani mengetahui risiko yang akan dihadapi di kemudian hari, sehingga mendatangi rumah seorang kiai sepuh NU yaitu KH Arsyad, dengan keadaan demikian, akhirnya dilakukanlah konsolidasi di mushala KH Arsyad dengan dihadiri oleh para tokoh, terutama mereka yang dianggap memiliki ilmu bela diri dan kesaktian. Perundingan diawali dengan pembacaan kitab Barzanji (marhabanan) dan tahlil. Kemudian masing-masing masyarakat yang hadir dibekali ilmu-ilmu kesaktian oleh KH Arsyad dan K. Sidik, dengan cara diberikan bacaan-bacaan tertentu dan menceburkan diri ke dalam balong (kolam) milik KH Arsyad atau sekedar melakukan wudhu. Hasil perundingan yang dilakukan menghasilkan keputusan mutlak bahwa seluruh unsur masyarakat harus melakukan perlawanan terhadap Jepang. Pengambilan keputusan untuk melakukan perlawanan juga dilandasi oleh semangat jihad fi sabilillah yang diserukan, sehingga lebih meyakinkan para tokoh dan masyarakat yang hadir dalam perundingan tersebut. Perlawanan masyarakat Indramayu terhadap kolonial Jepang berlangsung dari bulan April sampai Agustus 1944. Perlawanan di Desa Kaplongan tercatat sebagai kejadian pertama terjadi pada 3 April 1944. Perlawanan kembali muncul pada 6 Mei 1944, yang dikenal dengan sebutan “Pemberontakan Cidempet”. Menghadapi gejolak massa yang kian meluas, bentuk-bentuk perlawanan kiai NU Indramayu tercermin dalam semua perlawanan yang terjadi di Indramayu, seperti KH Arsyad, H. Aksan dan K. Sidik di Kaplongan Kecamatan Karangampel, H. Madrais di Lohbener dan Sindang, K. Mi’an di Gantar Kecamatan Anjatan, dan lainnya. Pola perlawanan yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah lain memiliki persamaan, yakni melawan penjajah (ketidakadilan) khususnya melalui kebijakan wajib serah padi, perlawanan dibungkus dengan nilai-nilai spiritual (jihad fi sabilillah) atau sebatas melakukan ritual keagamaan sebelum melakukan perlawanan (marhabanan, wudhu dan lainnya) dan pimpinan perlawanan selalu diisi oleh seorang kiai atau santri (pemuka agama) setempat. Bapak H. Dedi Wahidi menuturkan bahwa tidak berapa lama setelah terjadinya peristiwa tersebut, keadaan daerah Kaplongan menjadi tegang. Ketegangan terjadi lantaran pihak Jepang tidak terima atas tindakan masyarakat yang dipandang membangkang. Pemerintah Jepang akhirnya mengirimkan bantuan tentara sebanyak dua truk untuk ditugaskan di wilayah Karangampel. Segala trik dan taktik dilakukan oleh Jepang untuk menundukkan masyarakat Kaplongan. Singkatnya setelah melalui penyerangan melalui senjata tidak berhasil, Jepang menahan diri sambil menunggu keadaan tenang dan kondusif, setelah itu para pimpinan atau yang dipandang sebagai tokoh masyarakat ditangkap satu demi satu dan dibawa Keresidenan Cirebon. Persembunyian K. Sidik diketahui pihak Jepang hingga akhirnya dilakukan penangkapan dan pembunuhan. H. Aksan sendiri diketahui sebagai salah satu tokoh yang ditahan dan kemudian hari dibebaskan, sebagaimana diketahui bahwa H. Aksan meninggal di tahun 1970-an. Sementara KH Arsyad menjadi salah satu tokoh yang selamat dari peristiwa penangkapan dengan bersembunyi di Desa Dadap, dan meninggal pada tahun 1960-an. Berdasarkan hal di atas, sejarah mencatat bahwa sosok kiai/santri NU telah banyak mempengaruhi perubahan dan perkembangan sosial di masyarakat. Perkembangan Islam di Indonesia sendiri tidak luput atas kerja kiai/santri dan pesantren. Peristiwa perlawanan ini menunjukkan bagaimana peran para kiai/santri tersebut ikut serta bahkan menjadi motor atas perlawanan masyarakat. Perlawanan yang dilakukan masyarakat Indramayu tidak semata-mata disebabkan karena faktor ekonomi saja, terdapat faktor lain yang berkaitan dengan kehidupan sosial politik dan keagamaan masyarakat. Dengan demikian hendaknya para santri pada dewasa ini mampu menggali lebih dalam dan luas bagaimana peran para kiai sebagai penggerak dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah, khususnya di wilayah Indramayu. Diharapkan juga para santri dapat mengambil hikmah dan mengikuti semangat juang para kiai yang telah berjuang dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itulah sekilas sejarah perjuangan KH. Arsyad yang disampaikan H. Dedi Wahidi kepada tim napak tilas PWNU Jabar.
“Kita harus sama-sama memahami kembali makna Resolusi Jihad, dan segenap warga Nahdliyyin beserta para pengurus PWNU dan jajarannya harus menjadi penggerak bangsa, satu pesantren seperti PPDM di setiap kabupaten.” pesan H. Dedi Wahidi kepada seluruh tim kunjungan yang hadir pada pertemuan tersebut.
Acara pertemuan ditutup dengan doa bersama untuk para pahlawan bangsa terutama kepada Masyayikh NU yang telah berjasa menumpas penjajahan Belanda. Setelah acara selesai, tim napak tilas diantar oleh keluarg yaysan untuk beristirahat di asrama Rusunawa dan dilanjutkan agenda ziaroh ke makam KH. Arsyad pada pagi harinya.
Dipimpin oleh ketua PCNU Indramayu, ziarah ke makam KH. Arsyad berlangsung secara khidmat. Agenda napak tilas diakhiri dengan doa dan foto bersama dengan keluarga yayasan Pondok Pesantren Darul Ma’arif Kaplongan Indramayu.
“Semoga agenda ini terus berlanjut dan jangan sungkan untuk kembali berkunjung ke pondok pesantren Darul Ma’arif. Pondoknya megah, bersih, tertata, dan indah dipandang mata.” pungkas H. Dedi Wahidi saat tim napak tilas berpamitan untuk melanjutkan perjalanan.