darulmaarif.net – Indramayu, 11 Januari 2024 | 10.00 WIB
Walaupun sudah memasuki era digital, sebagian masyarakat masih mempercayai beberapa mitos Primbon Jawa. Mitos yang sampai saat ini masih banyak diperbincangkan adalah larangan menikah bagi anak pertama dan anak ketiga.
Konon menurut Primbon Jawa, jika anak pertama dan anak ketiga memaksakan diri untuk menikah, maka diramalkan kondisi rumah tangganya akan menerima beberapa kesialan.
Mitos ‘lusan’ alias telu dan kapisan dalam Primbon Jawa masih dipercaya sebagian masyarakat Jawa hingga sekarang. Menurut Primbon Jawa, telu dalam bahasa Jawa berarti tiga, sementara kapisan bermakna pertama.
Masyarakat Jawa meyakini jika anak pertama dan anak ketiga menikah maka mereka harus mau menerima jika ditengah pernikahannya akan datang hal buruk yang melanda rumah tangganya.
Menurut Primbon Jawa, pernikahan ‘lusan’ dinilai akan menyebabkan rumah tangga rawan terjadi konflik berkepanjangan, kesulitan mencari rejeki, kematian pasangan atau pihak keluarga, perbedaan watak dan karakter yang kontraduktif, dan lain-lain.
Lalu, bagaimana ajaran Islam menyikapi tradisi pernikahan yang masih mempercayai hal-hal berbau adat dan keyakinan Primbon Jawa semacam ini ?
Kalau meyakini kejadian baik dan buruk dalam rumah tangganya akibat pengaruh pernikahan antara anak yang pertama dan ketiga tersebut bisa menjadi kufur, tapi kalau hanya terkait secara ‘ady (kejadian umum) serta dimungkinkan kedua hal tersebut tidak menimbulkan keterkaitan sama sekali maka boleh, tidak menjadi kufur.
Dalam Kitab Ghayatut Talkhis al-Murad Halaman 206 dijelaskan:
مسألة) إذا سأل رجل اخر هل ليلة كذا او يوم كذا يصلح للعقد او النقلة فلا يحتاج إلي جواب لان الشارع نهي عن اعتقاد ذلك وزجر عنه زجرا بليغا فلا عبرة بمن يفعله. وذكر ابن الفركاح عن الشافعي انه ان كان المنجم يقول ويعتقد انه لايؤثر الا الله ولكن أجري الله العادة بأنه يقع كذا عند كذا . والمؤثر هو الله عز وجل. فهذه عندي لابأس فيه وحيث جاء الذم يحمل علي من يعتقد تأثير النجوم وغيرها من المخلوقات . وافتي الزملكاني بالتحريم مطلقا. اهـ
Artinya: “Apabila seseorang bertanya pada orang lain, apakah malam ini baik untuk di gunakan akad nikah atau pindah rumah maka pertanyaan seperti itu tidak perlu dijawab, karena nabi pembawa syariat melarang meyakini hal semacam itu dan mencegahnya dengan pencegahan yang sempurna maka tidak ada pertimbangan lagi bagi orang yang masih suka mengerjakannya, Imam Ibnu Farkah menuturkan dengan menyadur pendapat Imam Syafi’i: Bila ahli nujum tersebut meyakini bahwa yang menjadikan segala sesuatu hanya Alloh hanya saja Alloh menjadikan sebab akibat dalam setiap kebiasaan maka keyakinan semacam ini tidak apa-apa yang bermasalah dan tercela adalah bila seseorang berkeyakinan bahwa bintang-bintang dan makhluk lain adalah yang mempengaruhi akan terjadinya sesuatu itu sendiri (bukan Alloh)”. (Kitab Ghayatut Talkhis al-Murad Hal 206)
تحفة المريد ص : 58
فمن اعتقد أن الأسباب العادية كالنار والسكين والأكل والشرب تؤثر فى مسبباتها الحرق والقطع والشبع والرى بطبعها وذاتها فهو كافر بالإجماع أو بقوة خلقها الله فيها ففى كفره قولان والأصح أنه ليس بكافر بل فاسق مبتدع ومثل القائلين بذلك المعتزلة القائلون بأن العبد يخلق أفعال نفسه الإختيارية بقدرة خلقها الله فيه فالأصح عدم كفرهم ومن اعتقد المؤثر هو الله لكن جعل بين الأسباب ومسبباتها تلازما عقليا بحيث لا يصح تخلفها فهو جاهل وربما جره ذلك إلى الكفر فإنه قد ينكر معجزات الأنبياء لكونها على خلاف العادة ومن اعتقد أن المؤثر هو الله وجعل بين الأسباب والمسببات تلازما عادي بحيث يصح تخلفها فهو المؤمن الناجى إن شاء الله إهـ
Artinya: “Barangsiapa berkeyakinan segala sesuatu terkait dan tergantung pada sebab dan akibat seperti api menyebabkan membakar, pisau menyebabkan memotong, makanan menyebabkan kenyang, minuman menyebabkan segar dan lain sebagainya dengan sendirinya (tanpa ikut campur tangan Allah) hukumnya kafir dengan kesepakatan para ulama, atau berkeyakinan terjadi sebab kekuatan (kelebihan) yang diberikan Alloh didalamnya menurut pendapat yang paling shohih tidak sampai kufur tapi fasiq dan ahli bidah seperti pendapat kaum Mu’tazilah yang berkeyakinan bahwa seorang hamba adalah pelaku perbuatannya sendiri dengan sifat kemampuan yang diberikan Alloh pada dirinya, atau berkeyakinan yang menjadikan hanya Alloh hanya saja segala sesuatu terkait sebab akibatnya secara rasio maka dihukumi orang bodoh, atau berkeyakinan yang menjadikan hanya Alloh hanya saja segala sesuatu terkait sebab akibatnya secara kebiasaan maka dihukumi orang mukmin yang selamat, Insya Alloh”. (Kitab Tuhfatul Muriid Hal 58)
Kesimpulan:
Islam melarang umatnya untuk mempercayai hal-hal yang bersifat mitos dan takhayul, atau kepercayaan adat yang tidak punya sumber rujukan terhadap anak ajaran Islam. Pernikahan lusan, antara anak pertama dan ketiga tidak menjadi sebab seseorang menjadi gagal menikah karena kepercayaan terhadap Primbon Jawa. Oleh sebab itu, pernikahan dalam Islam sesungguhnya upaya secara terus menerus untuk tetap menyatukan dua insan dalam satu biduk rumah tangga, yang dimana ujian rumah tangga pasti selalu datang silih berganti.
Dalam Islam, tujuan pernikahan tidak sekadar untuk mencari keuntungan, atau menikmati kesenangan semata. Islam mengajarkan hakikat pernikahan sebagai washilah untuk melaksanakan perintah Alloh Swt, mengikuti sunnah Rosululloh Saw, mencegah dari perbuatan zina, menyempurnakan separuh agama, memperoleh keturunan yang sholih dan sholihah, dan yang tak kalah penting demi membangun keluarga yang sakinah mawaddah dan rohmah.
Pernikahan ‘lusan’ yang masih dipercaya oleh sebagian masyarakat Jawa memang tidak mudah untuk dihilangkan tanpa berusaha untuk terus belajar dan memahami hakikat dari pernikahan itu sendiri.
Anggaplah mitos pernikahan ‘lusan’ dalam Primbon Jawa yang ada hanya sebagai sumber pengetahuan bagi kita. Jangan sampai hal ini justru menjadi penghalang untuk siapapun yang ingin tetap melangsungkan pernikahan di hadapan Alloh Swt.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.