Parenting Islami di Tengah Tantangan Ideologi Gender

darulmaarif.net – Indramayu, 12 Agustus 2025 | 08.00 WIB

Penulis: Usth. Syahfa Aidillah

Di era globalisasi dan banjir informasi, anak-anak kita hidup di tengah persimpangan nilai yang kompleks. Salah satu isu yang semakin mengemuka adalah ideologi gender—yang meliputi pandangan-pandangan baru tentang identitas, peran sosial, dan relasi antara laki-laki dan perempuan.

Sebagian narasi gender hadir dengan niat baik untuk mendorong kesetaraan dan penghapusan diskriminasi. Namun, tidak sedikit pula yang bertentangan dengan prinsip Islam tentang fitrah manusia, yang memandang laki-laki dan perempuan sebagai dua entitas berbeda namun saling melengkapi. Tantangan ini menjadi rumit ketika disertai normalisasi nilai-nilai yang dapat mengaburkan identitas dan memisahkan manusia dari kodrat yang ditetapkan Alloh SWT.

Di sinilah parenting Islami berperan sebagai benteng utama: membimbing anak agar memahami jati dirinya, menjaga kemurnian aqidah, dan tetap menghargai perbedaan dengan cara yang selaras dengan wahyu.

  1. Menegakkan Pondasi Agama Sejak Rumah

Rumah adalah madrasah pertama. Rosululloh SAW mengingatkan:

Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Fitrah di sini mencakup pengakuan naluriah terhadap keberadaan Allah, penerimaan kodrat, dan kesiapan hati menerima kebenaran. Ulama seperti Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menegaskan bahwa jika fondasi tauhid ditanamkan sejak dini, pikiran anak akan lebih tahan terhadap paham yang merusak fitrah.

Fakta jarang diketahui: Beberapa penelitian neurosains modern menemukan bahwa anak-anak membentuk core belief (keyakinan inti) pada usia 7–9 tahun. Jika keyakinan ini berlandaskan tauhid dan akhlak Islami, ideologi luar yang menyimpang akan lebih mudah ditolak secara naluriah.

  1. Literasi Digital: Kontrol yang Bijak, Bukan Penyekatan Buta

Media sosial adalah “guru” alternatif yang bekerja 24 jam. Ideologi gender modern sering masuk secara halus melalui film animasi, lagu anak, hingga permainan daring—bukan hanya konten edukatif formal.

Parenting Islami menuntut kontrol dan keterlibatan aktif:

Gunakan parental control di perangkat anak.

Sediakan waktu “menonton bersama” untuk membimbing perspektif anak.

Ajarkan digital literacy agar anak mampu bertanya “apakah ini sesuai dengan Islam?” sebelum menyerap informasi.

Fakta jarang diketahui: Di beberapa negara, konten gender-neutral untuk anak mulai menghapus kata “mother” dan “father” diganti “parent 1” dan “parent 2”. Meski terlihat netral, hal ini bisa memengaruhi pemahaman anak tentang konsep keluarga dalam Islam.

  1. Memahami Gender Islami: Harmoni Tanpa Distorsi

Islam tidak menafikan perbedaan peran laki-laki dan perempuan, tetapi menempatkannya dalam kerangka tugas fungsional yang saling melengkapi.

Rosululloh SAW adalah teladan dalam memperlakukan perempuan dengan penuh hormat:

Artinya: “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada perempuan.” (HR. Imam Tirmidzi)

Fakta jarang diketahui: Dalam sejarah peradaban Islam, ada perempuan seperti Ummu Waraqah yang mendapat izin Nabi menjadi imam shalat di lingkungannya, dan Aisyah r.a. yang menjadi rujukan utama ilmu hadits. Ini membuktikan bahwa Islam memberi ruang peran publik bagi perempuan, tanpa harus mengaburkan identitas gendernya.

  1. Pengasuhan Berkeadilan Gender: Luar dari Stereotip Budaya

Banyak stereotip yang justru lahir dari budaya, bukan dari syariat, seperti “anak laki-laki tidak boleh menangis” atau “anak perempuan hanya cocok di dapur”.

Dalam Islam, keadilan gender berarti memberikan setiap anak kesempatan mengembangkan potensi sesuai fitrahnya, tanpa merampas peran yang telah ditetapkan Allah. Anak laki-laki pun perlu diajarkan empati dan kerja domestik; anak perempuan pun boleh menguasai keahlian intelektual, bisnis, dan kepemimpinan.

💡 Fakta jarang diketahui: Umar bin Khattab r.a. pernah menunjuk Al-Syifa’ binti Abdullah sebagai pengawas pasar (semacam kepala dinas perdagangan), membuktikan bahwa perempuan memiliki ruang amanah publik di era sahabat.

  1. Doa dan Keteladanan: Senjata Terkuat yang Sering Diremehkan

Doa orang tua adalah senjata tak terlihat yang paling konsisten dampaknya. Setiap perilaku orang tua juga menjadi model nyata yang akan ditiru anak, bahkan lebih kuat daripada nasihat lisan.

Doa yang diajarkan Al-Qur’an:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي

Artinya: “Ya Robb, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yang tetap mendirikan sholat.” (QS. Ibrahim: 40)

Fakta jarang diketahui: Imam Malik berkata, “Aku belajar adab dari ibuku sebelum belajar ilmu dari guruku.” Ibunya bahkan menyiapkan pakaian khusus yang membuat Malik kecil merasa terhormat saat duduk di majelis ilmu—teladan yang membentuk kepribadian ilmiahnya.

Mengasuh anak di era ini bukan sekadar proses mendidik, tetapi jihad ruhani yang menuntut kesabaran, ilmu, dan doa. Dengan fondasi tauhid yang kokoh, literasi digital yang cerdas, pemahaman gender Islami yang murni, serta keteladanan nyata, orang tua muslim dapat menyiapkan generasi yang kuat iman, cerdas akal, dan santun perilaku.

Semoga Alloh memudahkan kita menjaga amanah ini, dan melindungi anak-anak kita dari fitnah zaman.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

Share:

More Posts