darulmaarif.net – Indramayu, 28 Juni 2025 | 10.00 WIB

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang begitu cepat, jarang dari kita yang menyadari: berapa kali sebenarnya kita bernapas dalam sehari? Pertanyaan ini terdengar sepele, tapi justru menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Karena dari satu tarikan dan hembusan napas, hidup kita mengalir. Dari sana pula, ruh terikat dan rezeki terus bergerak.
Secara medis, jumlah napas seseorang bergantung pada banyak faktor: usia, kondisi fisik, aktivitas, hingga emosi. Bayi bisa bernapas 30–60 kali per menit, sedangkan orang dewasa dalam kondisi istirahat bernapas 12–20 kali per menit. Artinya, rata-rata manusia bisa bernapas sekitar 17.000 hingga 30.000 kali per hari, bahkan lebih jika sedang aktif.
Namun menariknya, para Ulama terdahulu sudah mengamati fenomena ini, bukan hanya dari sisi fisik, tapi juga dari sisi spiritual dan metafisik. Mari kita menyimak bagaimana kitab-kitab Turots (kitab kuning) menggambarkan hal ini.
Jumlah Napas dalam Sehari Semalam Menurut Ulama
Dalam kitab Ḥāsyiyat as-Sharqāwī ‘alāl Hudhudī ‘alā Ummil Barāhīn, disebutkan:
قال بعضهم: كل إنسان يتنفس في كل يوم وليلة مائة ألف نفس وأربعة وعشرين ألف نفس معتدل، وفى كل نفس معتدل منها يموت ألف ويولد ألف، وتحمل الأمهات بألف، وفيه مائة ألف فرج قريب.
Artinya, “Sebagian ulama berkata: Setiap manusia bernapas dalam sehari semalam sebanyak 124.000 napas rata-rata (nafas mu’tadil). Dalam setiap napas tersebut, ada 100.000 kematian, 100.000 kelahiran, 100.000 kehamilan, dan bagi Alloh terdapat 100.000 jalan keluar (furuj) yang dekat.” (Ḥāsyiyat al-Sharqāwī ‘alā al-Hudhudī, h. 68, Ṭ. Maktabah al-Ḥaramayn)
Pernyataan ini tentu bukan hitungan medis, tapi ungkapan tasawuf dan simbolik yang mengajak manusia untuk menyadari bahwa setiap detik kehidupan kita berada dalam jaringan takdir ilahi yang rumit dan penuh rahasia.
Versi Lain dari Tanbīhul Ghāfilīn dan Durratun Nāṣihīn
Kitab lainnya menyebut jumlah yang berbeda, namun tetap bermakna dalam. Dalam Tanbīhul Ghāfilīn dan dinukil dalam Durratun Nāṣihīn halaman 260, disebutkan:
قيل، ساعات الليل والنهار أربع وعشرون، فالإنسان يتنفس في كل ساعة مائة وثمانين نفساً، ففي الليل والنهار يتنفس أربعة آلاف وثلاثمائة وعشرين نفساً. وفي كل نفس يُسأل بسؤالين وقت الخروج ووقت الدخول.
Artinya: “Dikatakan bahwa siang dan malam terdiri dari 24 jam. Manusia bernapas setiap jam sebanyak 180 kali. Maka, dalam sehari semalam, manusia bernapas sebanyak 4.320 kali. Dan dalam setiap napas, manusia akan ditanya dua pertanyaan: saat menghirup dan saat menghembuskannya — apa yang dilakukan pada keduanya?”
Jumlah ini tampak lebih kecil dibanding standar medis, bahkan jauh dari angka 124.000 yang disebutkan sebelumnya. Tapi intinya bukan pada angka eksak, melainkan nilai ibrah yang terkandung di dalamnya.
Mengapa Berbeda Jumlah? Ada Hikmah di Baliknya
Bila kita cermati, para Ulama seperti tidak fokus pada keakuratan kuantitatif, melainkan menggunakan angka sebagai simbol untuk kesadaran spiritual. Apalagi dalam kutipan kitab Sharqawi tersebut, disebutkan:
…قال بعضهم
“Sebagian ulama berkata…”
Yang berarti pernyataan ini bukan ijma’ (mujma’ ‘alaih), dan bersifat hikmah atau kiasan.
Ada juga kemungkinan hitungan napas dihitung dua kali, yakni satu untuk masuk dan satu untuk keluar. Ini mungkin menjelaskan mengapa angka dalam kitab bisa jauh lebih besar dari hasil observasi medis.
Renungan: Nafasmu Akan Ditanya!
Yang jauh lebih penting dari jumlahnya adalah bagaimana setiap napas itu digunakan. Ditegaskan dalam kitab:
الأنفاس معدودة، فكلّ نفس يخرج بغير ذكر اللّه فهو ميّت
Artinya: “Napas itu terhitung, dan setiap napas yang keluar tanpa disertai zikir kepada Allah adalah napas yang mati.”
Bayangkan jika benar setiap tarikan dan hembusan napas akan ditanya dua hal: Apa yang kau lakukan saat menghirupnya? Apa yang kau lakukan saat menghembuskannya?
Pertanyaan yang Harus Kita Renungkan
Di dunia yang sibuk ini, sudahkah kita sadar bahwa hidup kita dihitung bukan dari jumlah tahun, tapi dari jumlah nafas yang bernilai?
Jika dalam setiap napas bisa terjadi 100.000 kematian dan kelahiran, mungkinkah Alloh ‘Azza wa Jalla sedang menunjukkan bahwa hidup ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang rangkaian semesta yang saling berpengaruh dan kelit-kelindan?
Dan… jika nafas kita hanya dihitung sebagai rutinitas, bukan ibadah, lantas akan dibawa ke mana usia yang terus mengalir ini?
Ada sepenggal puisi menarik yang cukup menggambarkan kondisi kehidupan manusia:
“Hidup ini.. tak ubahnya sungai waktu yang mengalir dari masa lalu/ teruslah berjalan/kita akan sama-sama menuju muara/tempat orang mengingat laut-Nya// Di sungai ini/ada yang tertahan akibat rasa cinta/ada juga yang menanam jala kebencian/lalu sebagian orang..sengaja di hanyutkan tanpa sisa…”
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.