darulmaarif.net – Indramayu, 06 November 2023 | 08.00 WIB
Wahai umat Islam, sesungguhnya dunia adalah ‘darul-bala’ (tempat ujian). Siapa yang tidak mendapat ujian atau musibah dalam hartanya, akan diuji jasadnya. Siapa yang tidak diuji jasadnya akan diuji anak-anaknya, orang tuanya, istrinya, suaminya, jabatannya, dan lain sebagainya. Maka sudah merupakan sunnatulloh, bahwa setiap manusia pastilah akan mendapatkan ujian dan cobaan baik berupa keburukan atau kebaikan. Alloh Swt berfiman:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah”. (Qs. Al-Balad ayat 4)
Banyak sekali persoalan hidup yang harus kita selesaikan. Setiap persoalan hidup yang datang menghampiri kita, seringkali kita menyikapi nya dengan tergesa-gesa, penuh dengan amarah, atau merasa putus asa atas cobaan dan ujian hidup yang sedang menimpa kita saat ini.
Menyikapi hal demikian, sejatinya hakikat hidup yang paling utama adalah ketenangan. Banyak orang yang mencari hidup senang, tapi jiwanya tidak tenang. Harta, jabatan, anak, istri dan segala hal yang melingkupi diri kita sebetulnya hanyalah perhiasan dunia semata, sedangkan yang paling inti dan utama adalah memiliki jiwa yang tenang dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.
Memiliki jiwa yang tenang menjadi sumber dari kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang lahir dari dalam diri sebab pancaran iman dan takwa di hadapan Alloh yang begitu besar.
Lalu, apakah sebenarnya jiwa yang tenang itu? Jiwa yang menjadi bekal hidup untuk menghadap Alloh kelak.
Allah Ta’ala berfirman dalam Qs. Al-Fajr ayat 27-30:
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ
Artinya: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridlo lagi diridloi-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (Qs. Al-Fajr ayat 27-30)
Pada ayat di atas, ada jiwa dari manusia yang mendapatkan panggilan kehormatan dari Alloh Swt. Jiwa itu adalah jiwa yang tenang atau Nafsul Muthmainnah. Jiwa yang Alloh panggil karena hati mereka yang selalu ridlo kepada putusan takdir Alloh dan Alloh pun meridloi mereka.
Dalam Tafsir Sirojul Muniir Juz IV/391, beberapa Ulama berpendapat:
{يا أيتها النفس المطمئنة} قال الحسن ، أي : المؤمنة الموقنة. وقال مجاهد : الراضية بقضاء الله تعالى. وقال ابن عباس رضي الله تعالى عنهما بثواب الله تعالى. وقال ابن كيسان : …المخلصة. وقال ابن زيد : التي بشرت بالجنة عند الموت وعند البعث ويوم الجمع
Artinya: “(Hai jiwa yang tenang) arti menurut beberapa pandangan: Imam Hasan Basri berkata: Yang mukmin dan yang punya keyakinan. Imam Mujaahid: Yang ridlo dengan ketentuan Alloh Ta’ala. Sahabat Ibnu Abbas Ra: Tenang dengan pahala Alloh. Ibnu Kiisaan: Yang Ikhlas. Ibnu Zaid : Yang dibahagiakan dengan surga saat meninggal, saat dibangkitkan dan saat dikumpulkan di Yaumil Mahsyar”. (Tafsiir Sirooj alMuniir IV/391)
Sedangkan dalam Tafsir Al-Baidlowy Juz I/490, Imam Al-Baidlowy menafsirkan Jiwa yang Tenang, atau Nafsul Muthmainnah:
{ يا أيتها النفس المطمئنة }
على إرادة القول وهي التي اطمأنت بذكر الله فإن النفس تترقى في سلسلة الأسباب والمسببات إلى الواجب لذاته فتستفز دون معرفته وتستغني به عن غيره أو إلى الحق بحيث لا يريبها شك أو الأمنة التي لا يستفزها خوف ولا حزن وقد قرئ بهما سورة البلد
Artinya: “(Hai jiwa yang tenang), yakni yang merasa tenang dengan senantiasa dzikir pada Alloh (mengingat Alloh) yang dapat menghantarkannya naik derajat makrifat kepada-Nya dan tidak membutuhkan selain-Nya atau menghantarkan pada kebenaran yang tiada sedikitpun keraguan didalamnya atau pada ketenangan yang tidak terusik oleh ketakutan dan kesedihan. (Tafsir Baidlowy I/490)
Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghozaly mengatakan:
واسم هذه النفس الساكنة النفس المطمئنة التى ترجع إلى ربها راضية مرضية وهؤلاء هم الذين إليهم الإشارة بقوله صلى الله عليه و سلم سبق المفردون المستهترون بذكر الله تعالى وضع الذكر عنهم اوزارهم فوردوا القيامة خفافا // حديث سبق المفردون المستهترون بذكر الله الحديث أخرجه الترمذى من حديث أبى هريرة وحسنة وقد تقدم
Artinya: “Sebutan jiwa yang tenang ini adalah Nafsu Muthmainnah yang saat dikembalikan pada Tuhannya dalam keadaan ridho dan diridhoi. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa dzikir pada Alloh seperti yang dituturkan oleh Nabi Saw “Mendahului orang-orang yang tersendiri yang selalu mengikat nafsunya dengan dzikir pada Alloh, dzikir mereka jadikan sebagai pakaian, maka saat mendatangi hari Kiamat mereka dalam keadaan ringan-ringan”.(HR Turmudzi). (Ihyaa ‘Ulumiddiin IV/43)
وهذا يقال لها عند الاحتضار، وفي يوم القيامة أيضا، كما أن الملائكة يبشرون المؤمن عند احتضاره وعند قيامه من قبره، وكذلك هاهنا.
Artinya: “Perkataan ini disampaikan saat jiwa yang tenang tersebut kembali pada Tuhannya dan saat di hari Kiamat, seperti halnya para malaikat yang memberikan kebahagiaan pada para mu’min saat ia menghadap Tuhannya dan dibangkitkan dari kuburnya”. (Tafsiir Ibnu Katsiir VIII/400)
Segala jenis cobaan dan ujian hidup yang menimpa kita, berat atau ringan, seluruhnya telah ditetapkan atau ditakdirkan oleh Alloh Swt. Ketetapan itu telah ditulis di Lauhil Mahfudz, jauh sebelum diciptakannya alam semesta dengan segala isinya dan peristiwanya yang amat menakjubkan.
Untuk itu, agar kita senantiasa hidup dalam keridloan dan diridloi Alloh, hiduplah dengan jiwa yang tenang. Jiwa yang tenang akan mengantarkan kita pada substansi kebahagiaan yang sejati dalam rangka menghadap Alloh kelak.
Ridlo dengan putusan takdir Alloh, bersabar saat mendapat cobaan dan ujian hidup, serta bersyukur saat mendapatkan nikmat dari Alloh. Dan jiwa yang tenang akan mempermudah segala persoalan hidup yang sedang kita jalani di dunia.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.