darulmaarif.net – Indramayu, 12 September 2025 | 09.00 WIB
Dalam pusaran arus modernitas, manusia menghadapi paradoks yang tak pernah terbayangkan sebelumnya: teknologi yang diciptakan untuk memperluas cakrawala pengetahuan, justru melahirkan keterasingan eksistensial. Internet, media sosial, dan algoritma digital yang semula diharapkan membuka ruang demokratisasi informasi, kini sering menjadi labirin kebingungan. Informasi melimpah, tetapi kebenaran justru semakin kabur. Kita seolah-olah hidup dalam dunia yang penuh cahaya, namun di balik silau itu, justru semakin sulit melihat apa yang sejatinya nyata.
Era post-truth bukan sekadar fenomena tentang kaburnya batas antara fakta dan opini, melainkan gejala struktural dari runtuhnya fondasi pengetahuan itu sendiri. Fakta tidak lagi berdiri kokoh di atas pijakan rasional, melainkan bisa dengan mudah dipelintir oleh opini mayoritas, bahkan oleh suara paling nyaring di jagat digital. Ketika opini lebih cepat viral ketimbang fakta, maka kebenaran tidak lagi ditentukan oleh proses pencarian rasional, melainkan oleh logika “apa yang sedang tren” atau “apa yang paling banyak dibicarakan”.
Di titik ini, kita menyaksikan kematian idealisme dan kepakaran. Seorang pakar yang menghabiskan puluhan tahun dalam penelitian bisa kalah wibawa oleh selebritas media sosial yang hanya bermodalkan retorika singkat dan daya tarik visual. Idealisme yang dahulu menjadi motor peradaban bergeser menjadi pragmatisme instan. Kepakaran yang semula menjadi fondasi otoritas intelektual, kini sering dipertanyakan, ditolak, atau bahkan dihina, hanya karena tidak sejalan dengan arus opini publik yang diproduksi algoritma.
Lebih jauh, kebenaran yang dahulu menjadi horizon bersama umat manusia kini mengalami reduksi serius. Ia terdistorsi menjadi sekadar preferensi pribadi, atau bahkan hanya trending topic yang silih berganti tanpa meninggalkan bekas mendalam. Kebenaran tidak lagi dipahami sebagai pencarian kolektif menuju sesuatu yang universal, melainkan sebagai komoditas cepat saji yang bisa diproduksi, dikonsumsi, dan dibuang sesuai kebutuhan pasar digital.
Maka, pertanyaan mendasar pun muncul: apakah manusia modern masih sanggup membedakan antara kebenaran yang sejati dengan sekadar opini yang viral, atau kita diam-diam sudah menyerahkan kedaulatan akal budi kita kepada otoritas mesin dan logika pasar informasi?
Cyber-Culture dan Erosi Tradisi Intelektual
Tradisi intelektual, yang semula bertumpu pada pembacaan mendalam, refleksi, dan kritik argumentatif, kini dibrangus oleh apa yang bisa disebut sebagai cyber-culture—suatu atmosfer sosial di mana kecepatan, instan, dan sensasi lebih dihargai ketimbang kedalaman. Jean Baudrillard dalam Simulacra and Simulation (1981) telah meramalkan bahwa era digital akan menggeser realitas menjadi sekadar simulasi; yang kita konsumsi bukan lagi kebenaran, melainkan hiperrealitas—tiruan tanpa referensi yang jelas.
Maka tak heran, netizen yang hidup dalam logika “klik, like and share” cenderung terjebak pada pengulangan tanpa refleksi. Fakta dipinggirkan, opini dikultuskan. Yang lahir adalah massa tanpa jangkar, sebagaimana digambarkan Nietzsche dalam konsep Last Man: manusia yang kehilangan orientasi transenden, hanya mencari kenyamanan dan kepuasan instan.
Nir-Kertas, Krisis Kepustakaan, dan AI sebagai Mesin Pengetahuan
Revolusi teknologi nir-kertas—e-book, e-library, e-school—membawa manfaat praktis, tetapi sekaligus merongrong makna fundamental dari kepustakaan sebagai “rumah” pengetahuan. Michel Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (1969) menegaskan bahwa arsip bukan sekadar gudang data, melainkan struktur yang membentuk cara kita berpikir. Ketika arsip fisik tergantikan oleh algoritma digital, kita sedang membiarkan mesin mengatur horizon pengetahuan kita.
Kini, situasi ini diperparah oleh Artificial Intelligence (AI) yang semakin menggila. AI tidak hanya menyajikan informasi, melainkan memproduksi narasi, opini, bahkan “fakta baru” sesuai pola data yang dikalkulasikannya. Di satu sisi, AI memberi kemudahan luar biasa. Namun, di sisi lain, manusia berisiko kehilangan kedalaman berpikir karena seluruh proses refleksi dialihkan pada algoritma. Hannah Arendt dalam The Human Condition (1958) menegaskan pentingnya vita contemplativa—hidup reflektif—sebagai inti dari kemanusiaan. Jika refleksi digantikan oleh kalkulasi mesin, maka manusia kehilangan esensi dirinya.
Di titik ini, guru dan pustaka bukan sekadar hanya instrumen pendidikan, tetapi elan vital-jantung peradaban. Hilangnya otoritas keduanya membuat manusia modern kehilangan fondasi epistemologis—kebenaran yang kokoh berubah menjadi fragmen ilmu dan pengetahuan parsial yang berserakan.
Menuju Zaman Batu atau Dunia Baru?
Inilah wajah post-truth: sebuah era di mana opini diangkat setara fakta, bahkan lebih tinggi, sementara fakta tenggelam oleh derasnya persepsi publik. Pertanyaannya kini bukan hanya tentang bagaimana kita memilah kebenaran dari kebohongan, melainkan: apakah umat manusia akan mampu melahirkan dunia baru yang benar-benar maju dengan refleksi dan kebijaksanaan, atau justru mundur ke barbarisme modern yang tak ubahnya “zaman batu digital”?
Dan di titik genting ini, pertanyaan filosofis yang patut direnungkan: Apakah kita masih memiliki keberanian untuk mencari kebenaran sejati, atau kita rela membiarkan kebenaran itu dikubur oleh opini-opini kosong yang viral di jagat maya?
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.