darulmaarif.net – Indramayu, 22 Maret 2024 | 02.00 WIB
Kitab Suci Al-Qur’an merupakan pedoman utama bagi seluruh umat Islam di dunia ini. Disamping itu, Al-Qur’an juga merupakan petunjuk jalan yang lurus dan memberi bimbingan kepada umat manusia di dalam menempuh perjalanan hidupnya, agar selamat di dunia dan di akhirat, dan dimasukkan dalam golongan orang-orang yang mendapatkan rahmat dari Alloh Ta’ala. Untuk itulah tiada ilmu yang lebih utama dipelajari oleh seorang Muslim melebihi keutamaan mempelajari Al-Qur’an. Sebagaimana sabda baginda Nabi ShollAllohu ‘Aaihi wasallam:
خيركم من تعلّم القرأن وعلّمه (رواه البخارى)
Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengamalkannya.” (HR. Imam Bukhori)
Dalam hadits lain, baginda Rosululloh Saw juga bersabda bahwa membaca Al-Qur’an termasuk dalam ibadah yang utama.
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَفْضَلُ عِبَادَةِ أُمَّتِي قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Artinya: “Rosululloh Saw, “Sebaik-baiknya ibadah umatku adalah membaca Al-Qur’an.” (HR. Imam al-Baihaqi).
Namun seiring dengan lesatnya perkembangan zaman, kemudian lahir berbagai macam teknologi informasi yang kian cepat hadir di hadapan umat Islam dewasa ini, Kitab Suci Al-Qur’an kini sudah seperti kawan asing yang jarang sekali kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam kini lebih suka melihat, mendengar dan bertungkus lumus berjam-jam lamanya dengan gawai smartphone atau laptop dengan berbagai hiasan informasi didalamnya. Sehingga, Al-Qur’an kian tersisihkan dan semakin jauh dari umat Islam.
Mengapa demikian? Apa yang seharusnya kita benahi dari pola pikir masyarakat dewasa ini, dan bagaimana relevansi Al-Qur’an yang semula jadi pedoman utama umat Islam kini sudah tak lagi penting maknanya.
Pada masa lalu, kitab suci Al-Qur’an telah membantu umat Islam mentransendensi ikatan material dan duniawi, menghubungkan manusia dengan yang ilahi dalam ikatan suci iman. Kini, ketika pendidikan modern semakin cenderung pada sisi rasionalitas, logika, dan analisis, pembacaan kitab suci pun semakin kering dan kehilangan keindahannya.
Untuk menjawab persoalan demikian, kita butuh perangkat psikologi untuk membedah kondisi psikis umat Islam di tengah gempuran era teknologi seperti sekarang ini.
Dalam temuan neurosains, manusia merupakan makhluk berpikir yang ditopang oleh otak. Sedangkan otak terbagi atas dua belahan, yaitu otak kiri dan kanan. Otak kiri bersifat analitis dan selektif. Ia berguna memecahkan masalah, membangun konsep, dan cenderung reduktif. Apa yang kita sebut sebagai pengetahuan ilmiah bersumber dari otak kiri. Perannya sangat penting membangun kesejahteraan fisik dan emosi umat manusia hingga bisa seperti sekarang ini.
Berbeda dengan otak kanan yang bersifat holistik dan abstrak. Pada belahan ini seni, musik, dan agama berkembang. Otak kanan memungkinkan manusia merasakan hal-hal yang sama sekali tak bisa dijangkau indra dan merasakan kesatuan dalam berbagai kemajemukan realitas. Dua hal ini, misalnya dapat kita rasakan saat menikmati musik yang disukai, tenggelam dalam munajat kepada Tuhan, merasakan sedih (empati) ketika musibah menimpa orang lain.
Mirisnya, seiring menyongsongnya fajar kemajuan yang diperoleh dari otak kiri, ia menjadi diunggulkan atas belahan lainnya. Pendidikan modern diinvestasikan sepenuhnya atas pengembangan modus berpikir ala otak kiri (rasional), sehingga otak kanan pun terpinggirkan, “minor”. Tak heran bila manusia modern tergagap-gagap belakangan ini. Keimanan mereka terlalu sibuk dipenuhi teori yang membatasi, padahal Ia tak pernah terdefinisikan dan tak bisa dibatasi.
Misalnya, kata mitos yang beras dari kata mythe yang dulu menjadi penting bagi modus keberimanan seseorang, kini disinonimkan dengan fiksi atau omong kosong. Padahal mitos ialah upaya yang digunakan untuk mengungkapkan kehadiran yang tak terjangkau sekaligus lekat. Mitos tak bisa dibuktikan secara logis dan empiris, sebab ia menempati belahan otak kanan. Ia memungkinkan seseorang berada dalam kondisi spiritual dan psikologis yang tepat. Sebab itu, ia erat kaitannya dengan ritual ibadah yang bersifat transenden.
Ritual dan mitos atau ritual dan kitab suci merupakan keberadaan yang mutlak, ia harus selalu ada, bahkan pada titik tertentu ritual itu justru lebih urgen. Ketika kisah-kisah mitologis dalam kitab suci dihadirkan tentu beberapa akan tampak problematik. Dalam doktrin Islam misalnya, bagaimana perjalanan malam hari Isra’-Mi’raj baginda Nabi Muhammad Saw ditemani Buraq dan Malaikat Jibril dari Masjidil Haram Makkah ke Masjidil Aqsha Baitul Maqdis Palestina, kemudian dilanjutkan perjalanan menuju langit hingga Sidratul Muntaha hingga menenui Dzat Alloh secara langsung, bahkan dalam satu riwayat dalam Tafsir Jalalain hanya menempuh waktu bolak-balik kurang lebih 8 jam saja. Hal ini, jika ditinjau dari sisi akademisi yang bersifat rasional dan empiris, tentu saja akan tampak tidak logis. (Lihat kisahnya dalam Tafsir Jalalain hal. 227). Belakangan, kitab suci kerap kali dibedah secara “akademik” lalu dianggap bualan para agamawan.
Namun, keimanan justru menepis semua keraguan otak kiri yang mengedepankan sisi logis dan analitis belaka. Buktinya, Sahabat Abu Bakar As-Shiddiq yang dijuluki sebagai Abul Farosah (Bapak Firasat) dalam kitabnya Imam Fakhruddin Ar-Razy Al-Farosah, langsung beriman atas peristiwa Isra-Mi’raj baginda Nabi tanpa sedikit pun mempertanyakan persoalan logika dan analisis saintifik. Bagi orang yang berpikir analitik dan logis, tentu saja akan mempertanyakan keabsahan peristiwa Isra-Mi’raj Nabi, lalu sebagian ada yang kembali kufur lantaran tidak mengimani peristiwa agung tersebut.
Ini yang menurut saya penting. Pisau bedah saintifik dan empirik yang mendominasi otak kiri, meski begitu gagah membuat berbagai kecanggihan piranti praktis bagi kesejahteraan manusia, tentu ia akan tetap gagal apabila sepenuhnya digunakan memahami sesuatu yang bukan kemampuannya. Klasifikasi fungsi ini tidak dimaksudkan bahwa kedua belah otak ini terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Keduanya serempak dan saling membutuhkan, namun tetap ada sisi di mana paling dominan.
Cara pandang Abu Bakar Ash-Shiddiq menggunakan cara otak kanan, otak yang berfungi menjangkau hal-hal yang diluar batas kemampuan otak kiri, yaitu keimanan. Sedangkan iman harus mengandung makna cinta didalamnya. Tanpa cinta, seseorang tidak akan merasakan manisnya iman.
Dalam ayat Al-Qur’an misalnya, Alloh Swt menegaskan bahwa orang yang beriman itu tandanya adalah dia sangat amat cinta kepada Alloh. Sedangkan orang kafir mencintai tuhan-tuhan lain selain Alloh.
وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَندَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ ٱللَّهِ ۖ وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ ۗ وَلَوْ يَرَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُوٓا۟ إِذْ يَرَوْنَ ٱلْعَذَابَ أَنَّ ٱلْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعَذَابِ
Artinya: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Alloh; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Alloh. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Alloh. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Alloh semuanya, dan bahwa Alloh amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS. Al-Baqarah Ayat 165).
Dalam hadits, Nabi Saw menyatakan bahwa kesempurnaan iman itu terletak pada cinta kepada Alloh dan Rosul-Nya:
يحب وأن سواهما، مما إليه أحب ورسوله الله كان من الإيمان، حلاوة بهن وجد فيه كن من ثلاث”
النار في يقذف أن يكره كما منه الله أنقذه أذ بعد الكفر في يعود أن يكره وأن لله، إلَّا يحبه لا المرء
Artinya: “Tiga hal yg apabila dimiliki oleh seseorang niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Yaitu orang paling mencintai Alloh dan Rosul-Nya melebihi selain keduanya. Dan orang yg mencintai orang lain karena Alloh. Dan orang yang tidak mau kembali kepada kekufuran sebagaimana dia tidak rela dilemparkan ke dalam api neraka”. (HR. Imam Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)
Lantas, bagaimana keimanan itu harus dijalankan?
Akhirnya, kita perlu bersikap proporsional pada keimanan. Dengan menyadari keterbatasan rasio, lalu mulai menempatkannya pada posisi yang semestinya, maka sedikit demi sedikit kita mulai bergerak pada sikap yang semestinya pula.
Kemerosotan umat Islam dewasa ini akibat dari dominasi penggunaan otak kiri akibat ekses kemajuan teknologi, sehingga melupakan fungsi penting dari otak kanan: mulailah berpikir holistik dengan capaian yang tidak bisa dijangkau oleh rasio otak kiri, yaitu keimanan. Sedangkan iman, selalu integral dengan cinta. Dan wajar, bila cinta memang tak masuk akal; Sebab cinta didorong oleh emosi yang cenderung tidak mampu dijangkau oleh penalaran logis dan analitik. Maka dari itu, bahasa cinta (imam) tidak akan pernah bisa dijelaskan oleh bahasa matematis, atau memakai pisau bedah analisis yang bersifat rasional semata. Kalo sudah benar-benar cinta, disitulah letak ketundukan dan kepasrahan secara totalitas kepada otoritas kitab Suci Al-Qur’an, dan akan selalu membenarkan apapun yang disampaikan Al-Qur’an, sehingga umat Islam akan kembali memaknai pembacaan kitab suci Al-Qur’an dan kembali menemukan keindahan yang terkandung didalamnya, bahkan ketika pembaca Al-Qur’an tidak mengerti sama sekali makna dari bacaan Al-Qur’an itu sendiri.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.