Nalar Inklusif: Menelisik Akar Kekerasan Di Pesantren

darulmaarif.net – Indramayu, 06 Maret 2024 | 09.00 WIB

Pembicaraan seputar pesantren seakan tak pernah habis dari waktu ke waktu, bahkan Media massa pun senang untuk terus mem blow up kasus kekerasan yang terjadi di pesantren. Padahal, diluar pesantren banyak sekali kasus yang lebih parah terjadi di lingkungan masyarakat kita. Pesantren selalu menarik untuk diangkat dan didiskusikan ke permukaan sampai kapanpun. Pasalnya, pesantren dinilai erat kaitannya dengan agama, dan agama senantiasa dianggap berwajah suci.

Sehingga, terjadilah tafsir monolitik bagi mayoritas masyarakat bahwa pesantren harus selalu suci dan para pemangku kebijakan yang ada didalamnya pun dianggap sebagai cerminan dari orang-orang suci. Padahal, kenyataannya tidak demikian.

Jika melihat lebih dalam lagi, pola pikir generalisasi dualitas demikian, hitam diatas putih justru berbahaya bagi cara pandang hidup yang lebih luas dan bijaksana. Pasalnya, pesantren itu bisa baik atau buruk, bukan karena pesantrennya. Artinya, pesantren hanya wadah, lembaga, institusi, atau yayasan yang bergerak dalam bidang agama.

Pesantren bukan manusia yang berakal, yang bisa memilih, ia hanya tempat mukim bagi para santri yang belajar mendalami ilmu agama secara intensif. Jadi, pesantren bisa baik atau buruk, bukan karena pesantren nya, tetapi karena pemahaman manusia akan tafsir dari agama itu sendiri.

Jika dilihat dari beberapa kasus perundungan atau bahkan kekerasan fisik yang terjadi di pesantren belakangan ini, tidak serta merta kita menyalahkan sepenuhnya pada pihak pesantren. Permasalahan seperti itu bisa komplek penyebabnya, bisa karena penyampaian guru yang salah dalam mendidik santri, pemahaman santri yang tidak sesuai dengan ajaran gurunya, atau bahkan faktor eksternal seperti pendidikan orangtua, atau watak lingkungan pergaulan anak santri sebelum masuk ke pesantren. Ditambah, sekarang era tekonogi informasi, dimana setiap anak dapat akses mudah untuk mendapatkan informasi-informasi negatif dari kanal-kanal Media massa, YouTube, atau Sosial Media seperti Instagram, Facebook, Twitter, Tik-tok, dan sebagainya. Anak-anak jaman sekarang lebih mudah mereplikasi apa yang disaksikan di kanal-kanal informasi gawai dan medsos daripada oleh gurunya sendiri.

Memang, di satu pihak, pesantren cum agama didalamnya menjadi pegangan hidup seluruh umat manusia karena mengajarkan nilai-nilai kebaikan, penjamin keselamatan, cinta-kasih, dan perdamaian. Namun di sisi lain, justru pesantren yang berslogan pendidikan agama rawan menjadi biang kerok, instrumen, penyebab, dan alasan bagi kehancuran serta kemalangan umat manusia. Artinya, karena agama, orang bisa saling mencintai. Tetapi atas nama agama pula, orang bisa saling membunuh dan menghancurkan antara satu sama lain.

Bahkan, setiap kali ada kekerasan acapkali mengatasnamakan pesantren dan agama. Problem kekerasan atas nama agama ini bisa memicu konflik horizontal ditengah-tengah umat manusia. Problem atau tidaknya suatu agama tidak bergantung pada agama itu sendiri, tetapi agama dalam kaitannya dengan hidup manusia yang nyata. Artinya, manusia lah yang menjadi pusat dan penentu apakah agama itu masalah atau bukan.

Karena itu, betapapun luhur dan agungnya ajaran suatu agama di pesantren dan betapapun mulianya institusinya, semua itu hanyalah pembusukan, apabila agama tersebut nyata-nyata menyebabkan penderitaan bagi manusia dan sesamanya. Namun, lagi-lagi hal ini, bukan disebabkan oleh agama itu sendiri yang menjadi penyebabnya, melainkan manusia pemeluknya.

Artinya, banyak faktor yang mempengaruhi lahirnya kekerasan, baik di lingkungan pesantren yang notabene nya berbabsis agama, maupun diluar lingkungan pesantren.

Kekerasan dalam Tinjuan Psikologi

Dalam tinjauan Psikolog, Eric Fromm (dalam buku Akar Kekerasan, 1973), seorang filsuf berkebangsaan Jerman membahas kajian psikologi tentang akar kekerasan secara detail dan mendalam.

Bagi Fromm, kekerasan yang dilakukan manusia memang terjadi di sepanjang sejarah umat manusia-terkait denga faktor eksistensial. Baginya, kekerasan tidak hanya mutlak dilandasi oleh faktor instingtif atau dorongan alamiah sebagaimana naluri insting pada hewan. Lebih dari itu, faktor eksistensi turut mempengaruhi faktor kekerasan. Yaitu, ketika terhambatnya upaya manusia untuk berkembang ke arah positif, maka upaya alternatif yang dapat dilakukan manusia melalui jalur kekerasan.

Menurut Fromm, kekerasan bukan bawaan lahiriah manusia sebagai fitrahnya. Tetapi kepada situasi dan kondisi yang menghambat manusia untuk tumbuh secara baik. Keterhambatan tersebut membuat manusia berpikir secara tidak rasional (akal sehat) sehingga mampu melakukan tindakan kekerasan.

Fromm membagi jenis kekerasan (agresi) kedalam dua golongan.
Pertama, agresi defensif, yaitu kekerasan yang dilakukan dalam tujuan mempertahankan diri yang menurutnya kekerasan yang berlandaskan niat baik. Kekerasan semacam ini tidak bersifat tetap, apabila hilang ancaman maka hilang pula potensi pelaku untuk melakukan kekerasan.

Kedua, agresi destruktif; yaitu kekerasan yang dilakukan secara sungguh-sungguh yang bertujuan untuk menyengsaraksn orang lain. Kekerasan jenis ini muncul akibat faktor kepanikan eksistensial. Kekerasan semacam ini muncul dari faktor hambatan dalam kondisi tertentu dalam kehidupan masyarakat.

Apabila kita menelisik lebih jauh, maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan adalah terkait dengan manusia sebagai individu yang terkait faktor psikologis dan manusia sebagai anggota masyarakat yang terhubung dengan faktor sosiologis, politik, budaya, ras, bahkan agama.

Kekerasan bisa saja terjadi atas nama agama, atau mengatasnamakan agama, bisa juga dengan identitas etnis maupun rasial. Atau antar kelompok yang berbeda pandangan dalam politik tertentu. Dari bermacam-macam sebab ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila dari sebab-sebab yang abstrak dan umum tadi dapat memicu lahirnya kekerasan, maka sebab yang beraneka ragampun dapat memicu kekerasan.

Namun, spesifik pada kekerasan atas nama agama-khususnya kekerasan yang muncul dari latar belakang agama Islam-kekerasan ini bukanlah kekerasan yang berbasis agama, melainkan kesalahapahaman terhadap teks-teks agama yang ditafsirkan secara parsial atau tidak tuntas dalam mendalami makna-makna dalam literatur teks-teks agama, misalnya Al-Qur’an dan Hadist yang dipahami secara serampangan dan keliru karena tidak melalui jalur tafsir para Ulama arus utama Salafuna Saleh.

Sampai disini dapat dipahami? Jika dalam kaca pandang Psikologi kurang meyakinkan, ada cerita menarik dibawah ini.

Kisah Arbitrase dalam Perang Shiffin

Sekte Khawarij, sebagaimana umum diketahui, mengaku sebagai penegak hukum Alloh yang paling murni, dengan slogannya Laa Hukma illa Lillah (Tidak ada hukum kecuali hukum Alloh).

Atas dasar itulah mereka lalu mengkafirkan kubu Khalifah Ali dan kubu Mu’awiyah bin Abu Sufyan, lantaran kedua pihak sama-sama menempuh tahkim (arbitrase) demi mengakhiri Perang Shiffin. Arbitrase semacam itu, bagi Khawarij, sama halnya dengan berhukum dengan aturan buatan manusia dan mengabaikan aturan Alloh. Dan berpedoman dengan hukum manusia buat Khawarij adalah suatu tindakan kufur. Pelakunya layak dibunuh. Maka pada tanggal 17 Ramadan 40 Hijriyah, seorang aktivis Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam membunuh Khalifah Ali. Ada juga dua aktivis Khawarij lain yang mencoba membunuh Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan ‘Amru bin ‘Ash, tapi digagalkan.

Mengapa Khawarij yang begitu getol membela kedaulatan hukum Alloh justru akhirnya menebar Takfir (pengkafiran) yang berujung pada pembunuhan? Di sini mungkin ada baiknya kita menyimak “polemik” antara Sayyidina Ali dengan pihak Khawarij beberapa saat setelah kelompok ini menyatakan keluar dari kubu pengikut Ali. (Pemisahan diri inilah yang menyebabkan mereka kemudian disebut “Khawarij”: kelompok sempalan).

Dalam Tarikh at-Thobary diceritakan, Khalifah Ali bin Aby Tholib pernah mengadakan pertemuan dengan pihak Khawarij. Di situ beliau sengaja membawa Al-Qur’an. Ketika berada di hadapan mereka, Ali lalu berseru kepada Al-Qur’an yang dibawanya: “Bicaralah ke kita!” Kontan saja mereka yang hadir heran dan bingung melihat ulah Sang Khalifah tersebut. Bagaimana mungkin Al-Qur’an yang benda mati bisa berbicara, begitu kira-kira pikir mereka. Ali akhirnya menukas:

وهذا القرأن إنّما هو خطّ مستور بين دفتين لاينطق، إنّما يتكلّم به الرّجال.

Artinya: “Dan Al-Qur’an tidak lain hanyalah teks tertulis yang diapit dua sampul. Al-Qur’an tidak bisa bicara sendiri. Manusialah yang berbicara melaluinya.”

Melalui pernyataan tersebut, Ali dengan jitu mematahkan tuduhan kaum Khawarij yang mengkafirkan tahkim yang mereka anggap sebagai berhukum dengan aturan manusia, bukan hukum Alloh. Tapi dari mana kita mengetahui hukum Alloh? Dari Al-Qur’an, bukan? Masalahnya, “Al-Qur’an tidak bisa bicara sendiri. Manusialah yang berbicara melaluinya,” Artinya, hukum Alloh tidak bisa muncul begitu saja dari rahim Al-Qur’an tanpa adanya campur tangan manusia yang merumuskannya.

Dari kisah diatas dapat kisa simbulkan bahwa, teks-teks wahyu suci Qur’an sekalipun tidak berbicara apapun, yang berbicara (memberikan tafsir atasnya) adalah manusia itu sendiri. Artinya apa? Pemahaman manusia sebagai individu atas agamanya lah yang berperan penting dalam memahami kehidupan ini. Kekerasan apapun, banyak ragam dan faktor yang mempengaruhi nya.

Namun, dapat kita renungkan bersama bahwa akar kekerasan di pesantren atas nama agama atau mengatasnamakan agama sekalipun lahir dari pemahaman manusia itu sendiri atas tafsir-tafsir di berbagai bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, politik, bahkan agama. Banyak sebab yang melatarbelakangi nga, ragam faktor yang dapat memicu munculnya kekerasan. Untuk itu, tugas para cendekiwan seharusnya memberikan rumus yang pas sebagai upaya penyadaran terhadap masyarakat bahwa tidak serta merta kekerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum individu yang kebetulan mukim di pesantren digeneralisasikan sebagai kesalahan fatal dan mutlak pihak pesantren.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.