darulmaarif.net – Indramayu, 16 Juli 2025 | 10.00 WIB

Mayoritas ulama-ulama besar biasanya melahirkan karya tulisan sebagai wasilah dakwahnya, zaman dahulu cukup banyak cendekiawan Muslim di Tanah Air yang melahirkan karya. karya-karya ulama terdahulu sudah mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional, karya-karya mereka jarang sekali terekspose dalam khazanah keilmuan Islam dalam negeri.
Sebagai pewaris Nabi, ada banyak Ulama-ulama yang justru lahir dari luar Jazirah Arab, termasuk dari Indonesia. Mereka dianggap turut memberikan pengaruh dan mendorong perkembangan Islam, khususnya di bidang ilmu pengetahuan.
- Syekh Nawawi al-Bantani
Bernama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad bin Umar al-Tanara al-Jawi al-Bantani. Lahir di Tanara, Serang, Banten pada 1813 dan wafat di Mekah pada 1897.
Syekh Nawawi merupakan keturunan Maulana Hasanuddin, putra Sunan Gunung Jati Cirebon, Jawa Barat, serta generasi ke-12 dari Sultan Banten.
Nawawi kecil mendapatkan tempaan pengetahuan agama langsung dari ayahnya. Setelah itu, ia berguru kepada Kiai Sahal, Banten serta Kiai Yusuf di Purwakarta.
“Menginjak usia 15 tahun, Syekh Nawawi memantapkan tekad untuk berhaji dan menuntut ilmu di Mekkah,” tulis Samsul Munir Amin dalam Karomah Para Kiai (2008).
Di Mekkah, Nawawi beguru dengan banyak tokoh penting dalam dunia Islam. Antara lain, Syekh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Junaid, dan Syekh Ahmad Dimyati.
Syekh Nawawi juga sempat berguru kepada Syekh Muhammad Khatib dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan, dua ulama besar di Madinah, Arab Saudi. Kematangan dan kecerdasannya diakui setiap guru yang ia temui. Bahkan, ulama asal Mesir, Syekh Umar Abdul Jabbar dalam karyanya berjudul al-Durûs min Mâdhi al-Ta’lîm wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Harâm tak ragu menyebut Syekh Nawawi sebagai sosok yang produktif dan menguasai berbagai cabang keilmuan.
Hingga akhir hayatnya, Syekh Nawawi berhasil menulis ratusan judul kitab yang menjadi rujukan ulama-ulama di Jazirah Arab dan Asia Tenggara. Di Indonesia, karya-karya itu menjadi kurikulum wajib di pesantren dan madrasah.
Ambil misal al-Tafsir al-Munir li al-Mualim al-Tanzil al-Mufassiran wujuh mahasin al-Ta’wil musamma Murah Labid li Kasyafi Ma’nâ Qur’an Majid, Kâsyifah al-Saja syarah Safinah al-Naja, Sullam al-Munâjah, Nihayah al-Zain, atau Nashaih al-‘Ibad.
- Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi
Lahir di Koto Tuo – Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Sumatera Barat pada 1860 dan wafat di Mekkah 1916. Syekh Khatib bernama lengkap al Allamah asy Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah bin Abdul Lathif bin Abdurrahman. Masa kecil Syek Ahmad Khatib diisi dengan gemblengan Syekh Abdul Lathif, ayahnya sendiri. Baru pada usia 10 tahun, ia dititipkan ke beberapa ulama besar di Mekkah.
Di antaranya Sayyid Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha al Makki asy Syafi’i, Sayyid Utsman bin Muhammad Syatha al Makki asy Syafi’i, serta Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul Abidin Syatha ad Dimyathi al Makki asy Syafi’i. Syekh Khatib dikenal jenius dan rendah hati. Ia tercatat sebagai orang non-Arab pertama yang dipercaya menjadi imam besar di Masjidil Haram, Mekah. Di tangan Syekh Khatib lahir ratusan karya.
Beberapa judul yang sering dijadikan rujukan oleh ulama dunia ialah Hasyiyah an Nafahat ala Syarhil Waraqat lil Mahalli Al Jawahirun Naqiyyah fil Amalil Jaibiyyah, ad Da’il Masmu ala Man Yuwarritsul Ikhwah wa Auladil Akhwan Maa Wujudil Ushul wal Furu, serta Raudhatul Hussab. “Di Indonesia, banyak tokoh besar pernah belajar kepada Syekh Khatib. Di antaranya Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya Hamka, KH Hasyim Asyari, serta KH Ahmad Dahlan,” tulis Abdul Baqir Zein dalam Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia (1999).
- Syekh Muhammad Yasin al-Fadani
Ulama berdarah Padang, Sumatera Barat ini dilahirkan 17 Juni 1915 dan wafat di Mekkah pada 20 Juli 1990. Syekh Yasin mengawali pendidikan agama dari Syekh Muhammad Isa al-Fadani Lepas menimba ilmu dari ayahnya sendiri, Syekh Yasin melanjutkan ke Madrasah ash-Shautiyyah, Mekkah.
Setelah dewasa,ia mendirikan madrasah Darul Ulum al-Diniyyah dan mengajar di Masjid al-Haram. Soal karya, Syekh Yasin berhasil menulis 97 kitab. Yang paling dikenal berjudul Al-Fawaid al-Janiyyah. Buku ini menjadi materi silabus dalam mata kuliah ushul fiqih di Fakultas Syariah Al-Azhar Kairo, Mesir.
Ulama besar al-Allamah Habib al-Segaf bin Muhammad Assegaf menjuluki Syekh Yasin dengan sapaan Sayuthiyyu Zamanihi (Imam Sayuthi pada zamannya). Ulama asal Hadramaut, Yaman itu mengaku terkagum-kagum atas keluasan ilmu sosok berdarah Minang tersebut.
- Syekh Muhammad Arsyad al-Banjar
Ulama yang satu ini lahir di Desa Lok Gabang Kecamatan Astambul Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan pada 17 Maret 1710. Syekh Arsyad yang juga berjuluk Anumerta Datuk Kelampaian ini wafat pada usia 102, yakni 3 Oktober 1812. Arsyad kecil mendapatkan pendidikan pertama di bawah tempaan ayahnya, Syekh Abdullah.
Jelang remaja, ia pergi ke Mekkah dan bertemu dengan ulama masyhur sekelas Syekh Athaillah bin Ahmad al-Mishry, al-Faqih Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, dan al-Arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Hasani al-Madani. Banyak karya yang telah ditulis.
Namun satu kitab berjudul Sabilal Muhtadin lit-Tafaqquh fi Amriddin dianggap banyak tokoh sebagai buku paling monumental. Kitab yang memuat penjelasan hukum fikih itu bahkan dijadikan dasar Negara Brunai Darussalam.
- Syekh Sulaiman ar-Rasuli al-Minangkabawi
Syekh Sulaiman lahir di Bandung, Sumatera Barat pada 1871 dan wafat pada 1 Agustus 1970. Menempuh pendidikan agama di Mekkah bersama KH Hasyim Asyari, Syekh Hasan Maksum, Syekh Khatib, Syekh Zain Simabur, dan lainnya. Syekh Sulaiman juga berguru ke ulama Kelantan dan Patani, Thailand.
Ia menimba pengetahuan dari Syekh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syekh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syekh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani. Karya Syekh Sulaiman banyak menjadi sumber inspirasi bagi ulama di Asia Tenggara dan Jazirah Arab.
Beberapa judul yang dikenal antara lain Dhiyaus Siraj fil Isra’ Walmi’raj, Tsamaratul Ihsan fi Wiladah Sayyidil Insan, Dawaul Qulub fi Qishshah Yusuf wa Ya’qub, Risaah al-Aqwal al-Wasithah fi Dzikri Warrabithah, al-Qaulul Bayan fi Tafsiril Quran, serta al-Jawahirul Kalamiyyah. Sekembalinya ke Indonesia pada 1950, Syekh Sulaiman turut serta dalam keanggotaan Konstituante mewakili Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti). Ia tercatat memiliki kedekatan dengan Presiden Soekarno serta beberapa tokoh lain dari Malaysia dan Asia Tenggara.
- Syekh Muhammad Ihsan bin Muhammad Dahlan al-Jampasi al-Kadiri al-Jawi asy-Syafii
Syeikh Ihsan Jampes (lahir pada tahun 1901 di Kampung Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur – meninggal 16 September 1952 pada umur 51 tahun) adalah ulama besar asal Kediri yang berpengaruh dalam penyebaran ajaran Islam di wilayah nusantara pada abad ke-20.
Ia adalah pendiri Pondok Pesantren Jampes di Dusun Jampes, Desa Putih, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri. Di samping itu, ia juga terkenal melalui karyanya Siraj ath-Thalibin, yang merupakan penjelasan (syarah) dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali.
Selain dikenal sebagai ulama sufi, ia juga dikenal ulama ahli dalam bidang ilmu-ilmu seperti falak (astronomi), fikih, hadits, dan beberapa bidang ilmu agama lainnya.
- Hadlrotussyekh KH Hasyim Al Asy’ari
Hadrlorussekh KH. Hasyim Asy’ari memiliki nama lengkap Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim atau yang populer dengan nama Pangeran Benawa bin Abdul Rahman yang juga dikenal dengan julukan Jaka Tingkir (Sultan Hadiwijaya) bin Abdullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang populer dengan sebutan Sunan Giri.
Kyai Hasyim dikenal sebagai tokoh yang haus pengetahuan agama (islam). Untuk mengobati kehausannya itu, Kiai Hasyim pergi ke berbagai pondok pesantren terkenal di Jawa Timur saat itu. Tidak hanya itu, Kiai Hasyim juga menghabiskan waktu cukup lama untuk mendalami islam di tanah suci (Makkah dan Madinah). Dapat dikatakan, Kiai Hasyim termasuk dari sekian santri yang benar-benar secara serius menerapkan falsafah Jawa, “Luru ilmu kanti lelaku (mencari ilmu adalah dengan berkelana) atau sambi kelana”.
Adapun di antara beberapa karya KH. Hasyim Asy’ari yang masih bisa ditemui dan menjadi kitab wajib untuk dipelajari di pesantren-pesantren Nusantara saat ini : At-Tibyan fi al-Nahy’an Muqatha’at al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan, Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyyat Nahdlatul Ulama ,Risalah fi Ta’kid al-Akhdzi bi Mazhab al-A’immah al-Arba’ah, Arba’ina Haditsan Tata’allaqu bi Mabadi’ Jam’iyyat Nahdlatul Ulama, Adab al-‘Alim wa al-Muta’alim fi ma Yanhaju Ilaih al-Muta’allim fi Maqamati Ta’limihi,. Rasalah Ahl aas-Sunnah wa al-Jamaah fi Hadts al-Mauta wa Syuruth as-Sa’ah wa Bayani Mafhum as-Sunnah wa al-Bid’ah.
- Syekh Mahfudz At-Tarmasi
Syekh Mahfudz at-Tarmasi memiliki nama lengkap Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abdul Manan bin Dipomenggolo al-Tarmasi al-Jawi. Ia lahir di Tremas, Kecamatan Arjosari, Pacitan, Jawa Timur, pada tanggal 12 Jumadil Awal 1285 H / 31 Agustus 1842 M. Ia meninggal di Makkah pada malam Senin di awal bulan Rajab 1338 H, saat berusia 53 tahun, serta dimakamkan di Maqbarah al-Ma’la.
Penisbatan ‘at-Tarmasi’ dalam namanya menunjukkan asal kelahirannya, yakni Desa Tremas, Pacitan. Sebagian kalangan lainnya justru lebih mengenal dengan nama Syekh Mahfudz Tremas. Ia lahir dari kalangan pesantren dan pengetahuan agama yang kuat. Keluarganya berasal dari keturunan Pondok Tremas Pacitan yang didirikan oleh KH Abdul Manan (kakek Syeikh Mahfudz Tremas).
Melihat bakat yang dimiliki, ayahnya memutuskan untuk menitipkannya di pesantren KH Shaleh Darat (1820-1903 M) di Semarang. Pesantren ini termasuk pesantren yang besar dengan jumlah santri mencapai ratusan, dan beberapa tokoh ternama pernah menimba ilmu di sana, seperti Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Moenawir Krapyak, KH Dalhar Watucongol, KH Asnawi Kudus, dan sejumlah ulama lainnya.
Di pesantren asuhan KH Shaleh Darat, Syekh Mahfudz mempelajari beberapa kitab, seperti Tafsir Jalalain, Syarh Syarqawi ‘ala al-Hikam, Wasilah al-Thullab, hingga Syarh al-Mardini li al-Falaq.
Menurut penuturan Syeikh Yusin al-Fadani, Syeikh Mahfudz Tremas memperoleh gelar al-Allamah (sangat alim), al-Muhaddits (ahli hadis), al-Musnid (mata rantai sanad hadis), al-Faqih (ahli fiqih), dan al-Muqri’ (ahli qira’at). Ia merupakan salah satu ulama Nusantara yang telah menuliskan karya-karyanya dalam bahasa Arab.
Syeikh Mahfudz Tremas telah menghasilkan banyak karya tentang berbagai aspek ilmu keislaman, semuanya dalam bahasa Arab. Kecepatannya dalam menulis bisa dikatakan sangat luar biasa, seperti ketika ia menyelesaikan kitab Manhaj Dzawi al-Nadhar hanya dalam waktu 4 bulan 14 hari.
Kitab tersebut di dalamnya berbicara tentang ilmu mustolahul hadits yang merupakan syarah atas karangan al-Suyuthi sebagai syarah yang terbaik dalam memahami pikiran-pikiran al-Suyuthi. Secara keseluruhan ia tulis di Makkah dan diselesaikan pada Jumat, 14 Robiul Awal 1329 H.
Adapun di antara beberapa karya lainnya yaitu Al-Siqayah al-Mardiyah fi Asma al-Kutb al-Fiqhiyyah al-Syafi’iyyah, Nail al-Ma’mul bi Hasyiyah Ghayah al-Wusul fi Ilm al-Usul, Al-Is’af al-Matholi bi Syarh Badr al-Lami’ Nadham Jam’ al-Jawami, Hasiyah Takmilah al-Manhaj al-Qawim ila Faraid, Mauhibbah Zi al-Fadl ‘Ala Syarh Muqaddimah bi al-Fadl, Tahyi’at al-Fikr bi Syarh Alfiyah al-Syair, kitab Fath al-Khabir bi Syarh Miftah al-Tafsir, dan masih banyak lagi.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.