Lagi-lagi Dirujak Berita! Kupas Tuntas Terkait Feodalisme dan Eksploitasi Santri Di Pesantren

darulmaarif.net – Indramayu, 08 Februari 2025 | 16.00 WIB

Pondok pesantren tak habis-habisnya kena hujatan berita. Celaan sekecil apapun, dimanfaatkan para buzzer media sosial untuk merujak pesantren. Masyarakat yang awam tentu saja tergiring opini media massa lantaran hanya menelan mentah-mentah pemberitaan miring yang terlanjur beredar tersebut. Mereka mempropagandakan sisi negatif pesantren, dan secara bersamaan mempromosikan sistem pendidikan mereka sendiri (entah namanya Ma’had, Islamic Boarding School, Kutab, dsb).

Mereka meninggikan sistem pendidikan sendiri dengan cara menjatuhkan sistem pendidikan pesantren. Salah satunya, pesantren disebut sebagai sarang feodalisme yang didalamnya santri di eksploitasi oleh keluarga kyai dan anak-anaknya. Mereka menganggap bahwa sistem patronase Kyai Pesantren dan Santri seperti sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan (Borjuasi) atau sistem sosial yang mengagung-agungkan jabatan dan nasab bukan pada prestasi kerja, di sisi lain santri dijadikan jongos atau kelas proletar seperti ajaran Marxisme.

Sebagai contoh, dalam postingan feed Instagram @saddamsyaikh yang baru-baru ini viral. Saddam menyorot beberapa praktik yang menyebabkan kemunduran umat Islam. Salah satunya, ketika Saddam menyayangkan praktik feodalisme pesantren sebagai sistem pewarisan otoritas pesantren berbasis keturunan (genealogis) dan fanatisme yang menafikan aspek kemampuan.

Betulkah bahwa pesantren mengajarkan dan melestarikan praktik-praktik feodalisme seperti yang diberitakan?

Santru Ittiba’ Sama Sahabat Nabi

Salah satu bentuk feodalisme yang diprotes netizen, atau para buzzer konten kreator adalah sikap santri di hadapan Kyai, Nyai, anak Kyai, Ustadz Ustadzah. Saat Kyai lewat misalnya, santri menunddukkan kepala, punggungnya membungkuk, bahkan jalannya sambil ngesot (memakai lutut).

Potongan video nya bertebaran di medsos, hingga menjadi sasaran hujatan dan dicap feodal oleh netizen. Rasa hormat santri terhadap Kyai nya dianggap perbuatan ghuluw (sikap berlebihan terhadap makhluk), seolah menyembah Kyai dan keluarganya.

Padahal, jika ditelusuri kilas balik sejarah umat Islam masa lampau, sikap santri ini merupakan cerminan dari contoh yang ditemukan dalam pribadi para Sahabat Nabi. Dimana pergaulan Nabi dan Sahabat pada saat itu merupakan hubungan yang asih kinasih, saling menghormati dan tawaddlu’. Sayyid Alawy Al-Maliki Al-Hasani dalam kitab Mafahim nya menyebutkan salah satu hadits Nabi berikut;

روى الترمذي عن إنس أنّ رسول اللّه صلى اللّ عليه وسلّم يخرج على أصحابه من المهاجرين والأنصار وهم جلوس فيهم أبو بكر وعمر، فلايرفع أحد منهم إليه بصره إلا أبو بكر وعمر فإنّهما كأن ينظر ان إليه، وينظر إليهما، ويتبسّمان إليه، ويتبسّمان لهما

Artinya: “Sesungguhnya Rosululloh SAW keluar menyambut Sahabat dari Muhajirin dan Anshor, mereka duduk dan terdapat Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khottob. Maka tidak ada satupun dari mereka yang mengangkat tatapan matanya kepada Nabi SAW. Kecuali Abu Bakar dan Umar. Mereka melihatnya, dan beliau pun melihat mereka, mereka tersenyum kepadanya, dan beliau pun tersenyum kepada mereka. (Sayyid Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Mafahim Yajibu An Tusohha)

Dalam riwayat selanjutnya disebutkan;

إذا تكلّم أطرق جلسائه وكأنّما رؤوسهم الطير

Artinya: “Tatkala Nabi SAW berbicara, Sahabat yang duduk di sekitarnya menundduk seolah-olah diatas kepalanya ada burung.”

Maksud dari diatas kepala Sahabat ada burung adalah kiyasan, betapa kepala dan badan Sahabat Nabi menunduk ta’dzim dan menghormati Nabi.

Tidak bergerak sedikitpun seolah-olah tidak merelalak burung yang hinggap diatas kepalanya itu terbang.

Tentu, dalam hal ini Kyai yang dianggap sebagai pewaris Nabi, apakah salah sikap santri jika bersikap seperti halnya sikap Sahabat Nabi di hadapan Baginda Nabi SAW?

Kemudian yang disorot lagi, setiap santri yang di suruh Kyai atau keluarganya pada gercep sat-set melalukan pekerjaan kasar dengan gesitnya, meski tanpa upah sepeserpun. Hal ini juga mencontoh Sahabat Nabi.

Bahwa ketika Sahabat Nabi diperintah oleh Nabi langsung bergegas melaksanakan perintah Nabi, manakala bicara pun pelan, jika memandang Nabi dengan tatapan ta’dzim yang penuh cinta kasih.

Lantas, bagaiman respon orang luar melihat circle Nabi SAW?

Suatu ketika, Urwah kembali ke Kaum Quraisy ia menceritakan apa yang dilihatnya di circle pergaulan Baginda Nabi SAW kepada Kaum Quraisy,

“Wahai kaum Quraisy, aku telah mengunjungi kerajaan Kisra, kerajaan Kaisar, ketat Najasy. Demi Alloh aku tidak melihat kerajaan tadi seperti apa yang kulihat pada Nabi Muhammad SAW dan Sahabatnya (dalam hal hormat).”

Riwayat-riwayat diatas persis seperti apa yang dilakoni santri, saat Kyai lewat berdiri hormat, saat Kyai berbicara santri benar-benar sam’an, ikroman wa ta’dziman, ketika santri menghadap Kyai pun tak berani menatap wajahnya kecuali dengan tatapan ta’dzim.

Relasi kuasa Santri-Kyai di Pesantren yang dianggap feodal seperti yang diberitakan tidaklah sama dengan istilah feodalisme yang didefinisikan oleh Marxisme dan Komunisme yang dipahami selama ini. Majikan-Pekerja, Raja-Budak merupakan relasi kuasa yang muncul karena paksaan dan hukum absolut dari Majikan dan Raja, sedangkan Santri dan Kyai, sebagaimana hubungan Sahabat Nabi dan Baginda Nabi Muhammad SAW adalah relasi kasih sayang, saling menghormati, dan saling memberi rahmat.

Di perusahaan misalnya Karyawan nurut sama atasan, atau Pejabat menjilat atasannya biasanya karena ada motif tertentu, seperti kenaikan pangkat dan gaji, atau cawe-cawe karena ada kepentingan proyek ini dan itu. Di pondok pesantren tidak demikian. Santri ikhlas membantu Kyai dan Pesantren nya, tanpa dibayar, tanpa digaji. Sebab Kyai yang ngajarnya ikhlas, maka para santri pun-dengan kerelaannya-lebih ikhlas lagi. Sikap santri yang dinilai feodal oleh berita sebetulnya sikap tawadlu’ santri karena tabarrukan (ngalap berkah) atas ilmu dari Kyai dan Pesantren nya.

Gimana menurut pendapat Netizen? Masih menganggap bahwa Pesantren sarang feodalisme?

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.