darulmaarif.net – Indramayu, 30 Juli 2025 | 08.00 WIB
Baru-baru ini, publik kembali diguncang oleh terbongkarnya jaringan sindikat jual beli bayi lintas negara. Berdasarkan laporan Kompas.com, aparat kepolisian Polda Jawa Barat berhasil menangkap 13 tersangka yang terlibat dalam perdagangan manusia ini, dan menyelamatkan enam bayi yang hendak dikirim ke Singapura. Fakta memilukan ini membuka mata banyak orang bahwa praktik kejahatan terhadap anak masih berlangsung secara terstruktur dan sistematis.
Sindikat ini diketahui bekerja rapi. Ada pihak yang merekrut ibu hamil, ada yang menampung bayi, hingga mereka yang mengurus dokumen palsu untuk kelengkapan administrasi ilegal. Realita ini bukan hanya persoalan hukum negara, tetapi juga menabrak prinsip-prinsip dasar dalam ajaran Islam tentang kehormatan manusia.
Dalam Islam, manusia—baik bayi, anak-anak, maupun orang dewasa—adalah makhluk merdeka yang tidak boleh diperjualbelikan. Jual beli manusia, termasuk bayi, tergolong dalam kejahatan besar yang tidak hanya menyalahi hak asasi manusia, tetapi juga menginjak-injak martabat kemanusiaan yang dijunjung tinggi dalam syariat.
Bayi Haram Diperjualbelikan
Syekh Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil dalam kitab Is’adur Rafiq secara tegas menyatakan:
وَيُحْرَمُ وَلَا يَصِحُّ أَيْضًا بَيْعٌ وَلَا شِرَاءُ مَا لَا يَدْخُلُ تَحْتَ الْمِلْكِ كَالْحُرِّ
Artinya: “Haram dan tidak sah jual beli sesuatu yang tidak bisa dimiliki, seperti manusia merdeka.” (Is’adur Rafiq, Haramain: 1931, Jilid I, hlm. 137)
Artinya, seorang bayi yang lahir sebagai manusia merdeka tidak termasuk barang kepemilikan (mal), sehingga memperjualbelikannya adalah perbuatan haram dan batal menurut hukum fiqh.
Menjual bayi bukan sekadar tindakan yang tidak sah menurut hukum, tetapi juga merupakan bentuk kezaliman besar yang merampas hak paling dasar seorang anak—hak untuk diasuh, dilindungi, dan tumbuh dalam dekapan kasih sayang. Ironisnya, tak sedikit orang tua yang berusaha membenarkan tindakan ini dengan dalih kesulitan ekonomi. Padahal, dalam ajaran Islam, alasan ekonomi tidak pernah menjadi pembenaran untuk melakukan perbuatan haram dan tidak bermoral seperti ini. Islam dengan tegas melarang segala bentuk transaksi yang merendahkan martabat manusia, apalagi jika menyangkut anak yang masih suci dan lemah.
Sayyid Abdurrahman Al-Hadrami dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin menambahkan penjelasan berikut:
لَا يَجُوزُ بَيْعُ الْأَوْلَادِ لِاحْتِيَاجِهِمْ لِلنَّفَقَةِ لِحُرْمَةِ بَيْعِ الْحُرِّ، فَلَوْ بَاعَهُمُ الْأَبُ أَوْ غَيْرُهُ كَانَ ثَمَنُهُمْ مُتَعَلِّقًا بِذِمَّةِ الْبَائِعِ، وَلَيْسَ لِلْمُشْتَرِي عَلَيْهِمْ يَدٌ
Artinya: “Tidak boleh menjual anak karena mereka membutuhkan nafkah. Jual beli manusia itu haram. Jika seorang ayah atau orang lain menjual anak, maka harga jual itu menjadi tanggungan si penjual dan pembeli tidak memiliki hak atas anak itu.” (Bughyatul Mustarsyidin, Darul Minhaj: 2018, Juz I, hlm. 143)
Ini menunjukkan bahwa bahkan orang tua pun tidak punya hak menjual anaknya. Kebutuhan ekonomi tidak bisa menjadi pembenaran atas pelanggaran syariat perdagangan bayi.
Ancaman Keras dari Rosululloh SAW
Islam tidak hanya mengharamkan praktik ini, tetapi juga memberikan ancaman keras kepada pelakunya. Rosululloh SAW bersabda:
ثَلَاثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ… وَرَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ
Artinya: “Ada tiga golongan yang akan menjadi lawan-Ku pada hari kiamat… di antaranya adalah orang yang menjual orang merdeka lalu memakan hasil penjualannya.” (HR. Imam Bukhori)
Betapa ngerinya, orang yang menjual sesama manusia akan langsung berhadapan dengan Rosululloh SAW di akhirat kelak.
Maraknya kasus jual beli bayi ini juga tak lepas dari peran media sosial dan platform digital yang dijadikan alat transaksi tersembunyi. Banyak transaksi terjadi di balik grup tertutup atau akun anonim. Di sinilah pentingnya literasi digital—tidak hanya untuk mencegah hoaks dan fitnah, tapi juga membentengi masyarakat dari kejahatan berbasis teknologi yang sangat berbahaya.
Masyarakat perlu lebih waspada, sadar hukum, dan memahami bahwa menjaga martabat manusia adalah bagian dari ibadah. Terlebih anak-anak adalah amanah, bukan komoditas.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.