Jangan Asal Mondok! Ini Sebetulnya Tujuan Utama Memondokkan Anak Ke Pesantren

darulmaarif.net – Indramayu, 10 Juli 2024 | 08.00 WIB

Sudah menjadi maklum bahawa menuntut ilmu di pesantren adalah agar mendapat pemahaman terhadap keilmuan agama yang baik dan benar. Ilmu agama menjadi pondasi bagi para santri agar bisa lebih mendekatkan diri kepada Alloh Swt dan Rasul-Nya.

Namun di sisi lain, masih banyak diantara kita yang niat memondokkan anak dengan tujuan yang keliru. Menuntut ilmu di pesantren biar jadi muballigh yang tenar, biar jadi hafidz hafidzoh untuk bangga-banggaan orangtua dengan tetangga atau saudaranya, biar dapat ijazah pesantren agar mudah cari kerja, biar gak main HP terus di rumah, dan lain sebagainya. Tujuan itu memang tidak sepenuhnya salah, tapi kurang tepat.

Ada pesan menarik dari Sayyidina Ali, orang yang mencari ilmu di pesantren hendaknya tidak mempunyai niat untuk membanggakan dirinya sendiri, supaya bisa berdebat dengan orang bodoh, pamer kepada sesama manusia dan untuk mendapatkan kedudukan di mata manusia.

Menuntut ilmu supaya mendapatkan gelar akademik semata sehingga menaikkan strata sosial di tengah-tengah masyarakat atau jabatan-jabatan tertentu, dilarang oleh agama. Selain pesan Sayyidina Ali di atas, terlebih dahulu Baginda Nabi Muhammad Saw mengingatkan dalam sebuah hadits berikut,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Artinya: “Barangsiapa belajar ilmu dengan tujuan seharusnya untuk mencari ridha Allah azza wa jalla semata, namun ia tidak mempelajarinya kecuali hanya bisa mendapatkan materi duniawi, ia tidak akan pernah bisa mencium baunya surga pada hari kiamat.” (H.R. Imam Abu Dawud)

Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa orang mencari ilmu harus bersih niatnya sejak awal. Jangan sampai diniatkan semata untuk mendapatkan gelar, supaya dapat istri cantik, dan lain sebagainya.

Ada cerita yang cukup tenar di kalangan kita sebagaimana sebagaimana dikutip dalam kitab Manhaju Dzawin Nadzar, Imam Al-Ghozali dalam mencari ilmu tidak murni karena Alloh. Beliau dan saudaranya Ahmad Al-Ghozali, sebelum alim di kemudian hari, awalnya juga dimulai dari mencari ilmu bukan karena Alloh semata. Mereka berdua mencari ilmu agar dapat makan gratis. Baru setelah mereka mendapatkan ilmu yang banyak, ilmu yang mereka peroleh, mengantarkan keduanya dekat kepada Alloh.

Meskipun begitu, Imam Al-Ghozali sendiri tetap berpesan supaya orang-orang tidak tertipu dengan quote Sufyan ats-Tsauri:

ولا ينبغي أن يغتر الإنسان بقول سفيان “تعلمنا العلم لغير الله فأبى العلم أن يكون إلا لله فإن الفقهاء يتعلمون لغير الله ثم يرجعون الى الله

Artinya: “Sebaiknya jangan sampai ada orang yang tertipu dengan perkataan Sufyan ats-Tsauri ‘Kami belajar ilmu bukan karena Alloh, namun kemudian ilmu itu akan dengan sendirinya tidak mau kecuali hanya untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Sesungguhnya para pakar fiqih, mereka mencari ilmu bukan karena Alloh, namun mereka kemudian kembali (lurus niatnya) karena Allah.” (Ihya’ Ulumiddin, [Darul Ma’rifah, Beirut], juz 2, halaman 237)

Imam Al-Ghozali mengingatkan bahwa kata Sufyan di atas sesuai dengan realitas. “Lihatlah akhir hayat para pakar fiqih itu, mereka akhirnya meninggal dalam keadaan masih tetap saja mencari dunia. Karena quote Sufyan memang tak sesuai realitas,” kata Al-Ghozali.

Menurut pandangan beliau, yang dikehendaki oleh Sufyan As-Tsauri bahwa ilmu yang nantinya bisa menuntun orang yang bisa otomatis menjadi dekat dengan Alloh adalah ilmu hadits, tafsir Al-Qur’an, kisah para Nabi dan shahabat. Sebab keilmuan-keilmuan yang seperti demikian akan bisa menimbulkan takut kepada Allah. Andai pun tidak bisa mendekatkan sekarang, mungkin pada suatu saat nanti. Dalam Ihya’ Ulumiddin juga dijelaskan:

واعلم أن العلم الذي أشار اليه سفيان هو علم الحديث وتفسير القرآن ومعرفة سير الأنبياء والصحابة فإن فيها التخويف والتحذير وهو سبب لإثارة الخوف من الله فإن لم يؤثر في الحال أثر في المآل

Artinya: “Ketahuilah sesungguhnya ilmu yang dikehendaki oleh Sufyan adalah ilmu hadits, tafsir Al-Qur’an, sejarah para nabi dan sahabat. Sesungguhnya ilmu-ilmu tersebut bisa menjadikan orang takut kepada Alloh dan memberikan warning. Ilmu-ilmu ini bisa menyebabkan orang takut kepada Alloh. Jika tidak mempunyai efek seketika, akan bermanfaat suatu saat kelak.”

Sedangkan ilmu yang membahas tentang ilmu kalam, fiqih yang hanya bersinggungan dengan fatwa-fatwa konsep muamalah saja, ilmu perdebatan (tanpa dibarengi ilmu pendekatan kepadan Alloh) akan menjadikan orang tersebut selalu tamak kepada dunia sampai akhir hayatnya.

Oleh karena itu, bagi orang yang mencari ilmu dengan tujuan apapun, selama yang dicari adalah ilmu yang mempelajari Al-Qur’an hadits, dengan niatan apapun sehingga seumpama ada orang yang mencari ilmu untuk mencari gelar, mencari dunia, bagi para pemula diperbolehkan. Sedangkan bagi para pencari ilmu selain kedua disiplin ilmu di atas, harusnya diniati sejak awal bahwa niat yang baik, yaitu mencari ilmu adalah untuk menjalankan perintah dan mencari ridla Alloh dan Rasul-Nya.

Atau bisa saja mencari ilmu dengan niatan melengkapi kehidupan dengan ilmu fardhu kifayah. Seperti menjadi dokter, misalnya. Tidak boleh ada satu masyarakat yang tidak ada satupun penduduknya menjadi dokter, maka mencari ilmu untuk memenuhi kebutuhan fardhu kifayah seperti ini tentu diperbolehkan.

Menurut sebagian Ulama, orang yang mencari ilmu dengan tujuan duniawi seperti hanya untuk mendapatkan gelar, kedudukan dan sebagainya, hal tersebut bagaikan orang yang mengambil kotoran namun dengan sendok emas. Dunia seisinya itu adalah kotoran, sedangkan ilmu adalah emas. Bagaimana ada orang tega menggunakan emas hanya untuk menyendok kotoran?

Kesimpulannya, bahwa mencari ilmu apa pun yang penting bermanfaat untuk kehidupan masyarakat diperbolehkan, asalkan dari awal harus dibangun niat-niat yang baik, seperti memenuhi kebutuhan fardhu kifayah masyarakat, mengikuti perintah Alloh dan lain sebagainya.

Yang penting tidak semata-mata mencari gelar dan jabatan di tengah masyarakat. Karena hal ini sangat remeh-temeh jika dibanding dengan kebesaran ilmu agama itu sendiri.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.