darulmaarif.net – Indramayu, 07 September 2025 | 08.00 WIB
Di sebuah pesantren yang asri, para santri sedang bersiap mengikuti ngaji kitab kuning. Nah, ada satu kejadian yang selalu jadi bahan tawa: hilangnya sandal. Entah kenapa, sandal santri itu seolah punya “takdir rohani”—berpindah-pindah tanpa pamit.
Suatu sore, Santri Ahmed Hoja lari ke Masjid Al-Mukhlishin sambil berteriak,
“Waduh, sandal saya ilang lagi, Bro!”
Santri Alex yang lagi asyik makan gorengan langsung nyeletuk,
“Tenang, Med. Sandal itu kan fana. Yang abadi hanya amal jariyah. Sandalmu sedang hijrah ke kaki yang lebih membutuhkan.”
Ahmed manyun, “Tapi itu sandal baru, Lex. Beli di pasar malam, limitid edisen, motifnya ada tulisan ‘Alhamdulillah’.”
Alex santai, “Nah, bagus dong. Setiap orang yang pakai sandalmu bakal inget zikir.”
Semua santri di sekitaran pecah ketawa.
Di tengah kehebohan sandal hilang, tiba-tiba datang Ustadz Yusuf. Beliau melihat Ahmed mondar-mandir mencari sandal, lalu berkata dengan tenang,
“Ahmed, jangan ribut soal sandal mulu. Imam Syafi’i kehilangan sepatu ketika belajar, tapi tetap jadi Ulama besar.”
Ahmed spontan menjawab,
“Betul, Kang. Tapi Imam Syafi’i nggak pernah nyeker tuh di depan kantin pesantren. Kalau saya nyeker, bisa-bisa nggak dapat jatah gorengan.”
Semua santri meledak lagi. Ustadz Yusuf cuma geleng-geleng sambil nahan tawa.
Kejadian sandal ini lalu jadi bahan diskusi serius ala santri.
Alex berkata dengan gaya filosofis, “Med, kehilangan sandal itu mengajarkan kita makna zuhud. Artinya, jangan terlalu terikat sama duniawi. Kalau sandalmu hilang, berarti Alloh lagi ngajarin elu biar move on.”
Ahmed menukas, “Zuhud mah zuhud, Lex. Tapi masa iya saya ke masjid mau nyeker? Itu namanya bukan zuhud, tapi jumud.”
Semua pecah lagi.
Beberapa hari kemudian, sandal Ahmed benar-benar ketemu. Ternyata terparkir manis di rak paling ujung. Kardi lalu nyeletuk,
“Med, sandalmu bukan hilang, tapi sedang i’tikaf di rak sebelah tuh. Lagi tafakur, mungkin. Haha.. “
Ahmed menjawab cepat,
“Kalau sandal bisa i’tikaf, berarti saya lebih dulu masuk surga daripada sandal dong, hahaha!”
Santri yang lain nggak kuat, ketawa sampai batuk-batuk.
Dari semua kejenakaan itu, Ustadz Yusuf menutup dengan nasihat,
“Anak-anak, sandal boleh hilang, tapi jangan sampai ilmu juga ikut hilang. Jangan sibuk mencari yang remeh sampai lupa mencari yang hakiki. Sandal itu bisa diganti, tapi kesempatan belajar nggak bisa diulang toh.”
Alex masih sempat menambahkan,
“Betul, Kang. Makanya kalau ilmu jangan sampai ketinggalan. Kalau sandal ketinggalan sih, tinggal pinjem sandal santri lain. Hehehe…”
Ustadz Yusuf pura-pura pasang muka tegas, tapi akhirnya ikut ketawa juga.
Hikmah dari cerita ini:
Santri memang penuh canda dan tawa. Tapi di balik humor, ada pelajaran yang mendalam: jangan sampai urusan duniawi, sekecil sandal sekalipun, membuat kita kehilangan fokus pada tujuan besar—menuntut ilmu dan mencari ridlo Alloh. Apalagi, hanya gara-gara persoalan sandal jepit, jadi boyong dari pondok.
Tamat.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.