Hukum Poligami dalam Islam: Ini Ketentuan dan Syaratnya!

darulmaarif.net – Indramayu, 06 Desember 2025 | 16.00 WIB

Di era media sosial yang penuh kontroversi—dari kasus poligami artis yang viral hingga perdebatan sengit netizen soal kesetaraan gender—hukum poligami dalam Islam sering disalahpahami sebagai hak bebas suami tanpa tanggung jawab.

Padahal, Al-Quran dalam Surah An-Nisa ayat 3 membolehkannya secara tegas hingga empat istri, tapi dengan syarat mutlak adil dalam nafkah, waktu, dan perhatian (عدلٌ بَيْنَهُنَّ), serta kemampuan finansial dan emosional yang prima agar tak ada yang dizalimi. Rosululloh SAW mewanti-wanti:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ

Artinya: “Barangsiapa memiliki dua istri lalu condong pada satu, niscaya ia datang di hari kiamat dengan badan miring” (HR. Imam abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Hadits no. 2133)

Lalu, bagaimana menerapkan poligami secara bijak di zaman modern agar jadi rahmat, bukan fitnah bagi rumah tangga?

Pada dasarnya hukum poligami adalah mubah sebagaimana firman Alloh dalam surat An-Nisa’ ayat 3:

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisa Ayat 3)

Dalam kitab Fiqh Manhaji ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i menambahkan bahwa hukum poligami asalnya mubah, status hukumnya bisa berubah menjadi makruh, sunnah bahkan haram sesuai konteks pelakunya. Keterangannya sebagai berikut:

حكم تعد الزوجات:تعدد الزوجات مباح في أصله، قال تعالى: {وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع} [النساء: ٣]

ومعنى الآية: إن خفتم إذا نكحتم اليتيمات أن لا تعدلوا في معاملتهن، فقد أبيح لكم أن تنكحوا غيرهن، مثنى وثلاث ورباع

ولكن قد يطرأ على التعدد ما يجعله مندوبا، أو مكروها، أو محرما، وذلك تبعا لاعتبارات وأحوال تتعلق بالشخص الذي يريد تعدد الزوجات:

أ. فإذا كان الرجل بحاجة لزوجة أخرى: كأن كان لا تعفه زوجة واحدة، أو كانت زوجته الأولى مريضة، أو عقيما، وهو يرغب بالولد، وغلب على ظنه أن يقدر على العدل بينهما، كان هذا التعدد مندوبا، لأن فيه مصلحة مشروعة، وقد تزوج كثير من الصحابة رضي الله عنهم بأكثر من زوجة واحدة

ب. إذا كان التعدد لغير حاجة، وإنما لزيادة التنعم والترفيه، وشك في قدرته على إقامة العدل بين زوجاته، فإن هذا التعدد يكون مكروها، لأنه لغير حاجة، ولأنه ربما لحق بسببه ضرر في الزوجات من عدم قدرته على العدل بينهن

Artinya: “Makna ayat tersebut: ‘Jika kalian khawatir tidak akan berlaku adil terhadap yatim piatu (jika menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita yang menyenangkan bagimu, dua, tiga, atau empat.’

Namun, pada poligami bisa timbul hukum yang menjadikannya sunnah muakkad, makruh, atau haram, tergantung pada pertimbangan dan kondisi yang berkaitan dengan pribadi yang ingin berpoligami:

a— Jika seorang laki-laki membutuhkan istri lain—misalnya satu istri tidak cukup memenuhi kebutuhannya, atau istri pertamanya sakit, atau mandul padahal dia menginginkan keturunan, dan dia yakin mampu berlaku adil terhadap keduanya—maka poligami ini menjadi sunnah muakkad. Karena terdapat maslahat yang syar’i di dalamnya, dan banyak sahabat rodliyaLlohu ‘anhum yang menikahi lebih dari satu istri.

b— Jika poligami dilakukan bukan karena kebutuhan, melainkan hanya untuk menambah kenikmatan dan kemewahan, serta ragu akan kemampuannya menegakkan keadilan antar istri-istrinya, maka poligami ini menjadi makruh. Sebab dilakukan tanpa kebutuhan, dan kemungkinan timbul mudarat bagi istri-istrinya akibat ketidakmampuannya berlaku adil terhadap mereka.” (Syekh Dr. Mustafa al-Khin, Syekh Dr. Mustafa Dib al-Bugha, dan Syekh Dr. Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i, [DKI: Beirut], hal. 34)

Meskipun pada dasarnya hukum poligami adalah mubah, poligami hukumnya juga bisa berubah menjadi sunnah atau makruh bahkan bisa juga haram, hal ini berdasarkan keadaan seseorang yang akan melakukan poligami. Jika seorang lelaki membutuhkan istri yang lain, misalnya sebab sang istri sering sakit-sakitan, atau istrinya mandul padahal lelaki itu ingin punya anak serta dia merasa mampu untuk berbuat adil kepada istri-istrinya maka poligami hukumnya menjadi sunnah baginya.

Sedangkan jika tujuan poligaminya bukan karena butuh, tapi hanya untuk meraih kenikmatan dan bersenang senang serta masih diragukan tentang adil dan tidaknya terhadap para istri maka hukum poligami baginya adalah makruh.

Dengan demikian, hukum poligami menurut madzhab Imam Syafi’i bersifat fleksibel—mubah pada dasarnya, mubah hingga sunnah muakkad jika didorong kebutuhan syar’i seperti melindungi diri dari zina atau memenuhi hak keturunan, namun makruh bahkan haram jika hanya untuk nafsu semata tanpa jaminan adil.

Fondasi utamanya ayat Al-Qur’an An-Nisa: 3 yang menekankan keadilan sebagai syarat mutlak, sebagaimana penjelasan dalil diatas, mengajak kita kembali ke niat ikhlas dan kemampuan nyata, bukan gengsi atau kemewahan duniawi.

Maka, pertanyaan reflektif bagi setiap calon poligamis: apakah poligami ini akan mendekatkan kita kepada Alloh SWT sebagai rahmat, ataukah justru jadi pintu mudlorot yang merusak hati dan rumah tangga di hadapan-Nya?

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share:

More Posts