darulmaarif.net – Indramayu, 06 November 2025 | 09.00 WIB
Data ekonomi Indonesia tahun 2024 menunjukkan geliat positif dunia usaha. Berdasarkan laporan Bank Indonesia, hingga Juni 2024 total kredit yang disalurkan bank umum mencapai sekitar Rp 7.478,4 triliun, tumbuh 12,36% secara tahunan (Kontan.co.id, 2024).
Angka ini memperlihatkan betapa banyak pelaku UMKM dan pengusaha muda mengandalkan pinjaman modal dari bank untuk memperluas usaha mereka.
Namun, bagi seorang muslim, muncul pertanyaan mendasar: Bagaimana hukum meminjam modal usaha dari bank, terutama jika di dalam akad terdapat unsur bunga atau tambahan? Pertanyaan ini tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek akidah dan keberkahan rezeki bagi para nasabah peminjam modal usaha di Bank.
Akad Qard dan Prinsip Riba dalam Fiqh Klasik
Dalam fikih Islam, transaksi pinjam-meminjam dikenal dengan istilah al-qardh, yaitu memberikan pinjaman tanpa mengharapkan imbalan. Jika dalam akad disyaratkan adanya tambahan atas pengembalian pokok pinjaman, maka tambahan tersebut termasuk riba, yang secara ijma’ dihukumi haram. Rosululloh SAW bersabda:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
Artinya: “Setiap pinjaman yang menarik manfaat (tambahan) adalah riba.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman)
Meskipun hadis ini dinilai lemah oleh sebagian ulama, maknanya dikuatkan oleh ijma’ para sahabat dan ulama setelahnya, sebagaimana ditegaskan dalam I‘ānatut Ṭālibīn:
وأما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا وجبر ضعفه مجيء معناه عن جمع من الصحابة
Artinya: “Adapun pinjaman (qard) yang disyaratkan menarik manfaat bagi pemberi pinjaman, maka hukumnya rusak (tidak sah), berdasarkan hadits ‘Setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba’. Kelemahan hadis ini dikuatkan oleh banyak riwayat sahabat.” (I‘ānatut Ṭālibīn, juz 3, hlm. 53)
Dengan demikian, apabila seseorang meminjam dari bank dan diwajibkan mengembalikan dengan tambahan tertentu — misalnya meminjam Rp 1 juta dan wajib mengembalikan Rp 1.260.000 — maka tambahan itu termasuk riba al-qardh, karena disyaratkan sejak awal dalam akad.
Tambahan Sukarela dan Hibah: Tidak Masuk Riba Jika Tanpa Syarat
Namun, para fuqaha juga memberikan pengecualian. Bila tambahan itu tidak disyaratkan dalam akad, melainkan diberikan secara sukarela oleh peminjam setelah pelunasan, maka hal itu diperbolehkan. Dalam I‘ānatut Ṭālibīn disebutkan:
ولا يكره للمقرض أخذه كقبول هديته ولو في الربوي، والأوجه أن المقرض يملك الزائد لأنه وقع تبعًا وأيضًا فهو يشبه الهدية
Artinya: “Tidak makruh bagi pemberi pinjaman menerima tambahan sebagaimana menerima hadiah, bahkan dalam pinjaman berbasis barang ribawi. Pendapat yang kuat menyatakan bahwa pemberi pinjaman memiliki hak atas tambahan itu karena ia bersifat pengikut (tabi‘), dan menyerupai hadiah.” (I‘ānatut Ṭālibīn, juz 3, hlm. 53)
Artinya, jika tambahan itu bukan syarat akad, melainkan sekadar pemberian sukarela (hibah) dari pihak peminjam setelah pelunasan, maka tidak dianggap riba. Namun, bila tambahan itu menjadi ketentuan kontraktual yang wajib, maka tetap termasuk riba dan hukumnya haram.
Kebiasaan Tambahan yang Tidak Disyaratkan: Analisis ‘Urf dalam Fiqh
Dalam konteks sosial modern, terkadang ada kebiasaan (‘urf) di mana peminjam mengembalikan lebih dari yang dipinjam sebagai bentuk terima kasih, bukan karena kewajiban. Imam al-Suyuthi menjelaskan dalam al-Asybah wan Nadzhoir:
وَمِنْهَا: لَوْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُقْتَرِضِ بِرَدِّ أَزْيَدَ مِمَّا اقْتَرَضَ، فَهَلْ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ؟ فَيَحْرُمُ إقْرَاضُهُ؟ وَجْهَانِ، أَصَحُّهُمَا: لَا
Artinya: “Apabila kebiasaan masyarakat adalah mengembalikan lebih dari yang dipinjam, apakah kebiasaan itu dapat diperlakukan sebagai syarat akad hingga haram hukumnya memberi pinjaman? Ada dua pendapat, dan yang lebih kuat: tidak (tidak dianggap syarat).” (al-Asybah wan Nadzhoir, hlm. 175)
Ini menunjukkan bahwa selama tambahan tidak menjadi kebiasaan yang bersifat mengikat atau disyaratkan, maka tidak dianggap riba.
Solusi Fiqh Kontemporer: Jalan Tengah dalam Sistem Perbankan Konvensional
Para ulama kontemporer memberikan solusi agar umat Islam dapat menghindari praktik ribawi dalam perbankan, tanpa menutup pintu terhadap kebutuhan modal usaha. Beberapa solusi yang dapat diterapkan antara lain:
- Hindari bunga dalam akad. Jika memungkinkan, carilah produk bank syariah dengan akad jual beli (murabahah), bagi hasil (mudharabah), atau sewa (ijarah).
- Pisahkan akad hibah dan pinjaman. Tambahan atau imbalan diberikan di luar akad pokok, sebagai bentuk nadzar atau hadiah.
- Gunakan akad nadzar (janji) atau hibah. Seperti disebutkan dalam Ghāyah Talkhīṣ al-Murād:
اعطاء الربوي عند الاقتراض ولو للضرورة بحيث انه لو لم يعط لم يقرضه لا يدفع الاثم اذ له طريق الى حل اعطاء الزائد بطريق النذر او غيره من الاسباب المملكة
Artinya: “Memberikan tambahan dalam pinjaman ribawi, sekalipun karena terpaksa, tidak menghapus dosa. Namun, ada jalan untuk menghalalkannya, yakni dengan menjadikan tambahan itu sebagai nadzar atau sebab kepemilikan yang sah.” (Ghāyah Talkhīṣ al-Murād, hlm. 129)
Dengan pendekatan ini, seorang muslim dapat tetap menjalankan usahanya tanpa melanggar batas syariah, selama ia mampu memastikan akad yang digunakan tidak mengandung syarat tambahan wajib.
Refleksi Akhir: Antara Etika dan Keberkahan
Kehidupan bisnis tidak hanya diukur dari besarnya modal atau laba, tetapi juga dari keberkahan transaksi. Seorang pengusaha muslim hendaknya memandang modal bukan hanya sebagai sumber daya ekonomi, tetapi juga sebagai amanah spiritual.
Hukum meminjam dari bank konvensional yang menetapkan bunga memang jelas termasuk riba, sebagaimana ditegaskan dalam kitab-kitab fiqh klasik. Namun realitas sosial-ekonomi Indonesia masih menempatkan bank sebagai instrumen vital pembangunan. Karena itu, yang terbaik adalah berusaha mencari jalan halal — melalui bank syariah, koperasi syariah, atau akad yang bebas bunga.
Sebagaimana disebut dalam kaidah fiqh:
الضَّرُورَاتُ تُبِيحُ الْمَحْظُورَاتِ
Artinya: “Keadaan darurat dapat membolehkan hal yang dilarang.” (Kaidah Fiqhiyyah, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Imam an-Nawawi)
Namun, kelonggaran ini tidak boleh menjadi pembenaran permanen untuk terus bergantung pada sistem ribawi. Sebaliknya, ia harus menjadi jembatan menuju sistem ekonomi Islam yang lebih adil, berkah, dan menenteramkan hati.
Meminjam modal usaha dari bank adalah kebutuhan yang nyata di tengah sistem ekonomi modern. Namun bagi seorang muslim, kebutuhan itu perlu diimbangi dengan kesadaran syariah. Bukan sekadar mencari modal, melainkan menjaga keberkahan rezeki. Karena di antara yang membedakan usaha yang berhasil dengan usaha yang diberkahi, bukan sekadar angka keuntungan, tetapi kesucian akadnya.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.


