darulmaarif.net – Indramayu, 18 November 2025 | 09.00 WIB
Di era digital saat ini, hampir setiap orang memiliki jejak visual di internet. Foto profil, unggahan harian, hingga konten video menjadi bagian dari budaya online masyarakat cyber-pop. Namun bagi sebagian umat Islam, muncul pertanyaan penting: bagaimana hukum memajang foto di media sosial? Apakah boleh menampilkan foto diri—terutama bagi perempuan—pada platform seperti Facebook, Instagram, TikTok, atau WhatsApp?
Pertanyaan ini semakin relevan karena media sosial kini bukan hanya ruang interaksi, tetapi juga ruang publik yang membawa konsekuensi hukum dan moral. Untuk menjawabnya, kita perlu melihat bagaimana ulama klasik dan kontemporer memahami “gambar” dan “penglihatan” dalam perspektif syariat.
Hukum Melihat Foto: Analogi dengan Cermin
Para ulama menilai bahwa gambar pada foto tidak berbeda secara hukum dengan bayangan pada cermin. Foto merupakan pantulan cahaya, bukan wujud fisik manusia. Oleh sebab itu, hukumnya disamakan dengan melihat bayangan di air atau kaca. Seperti keterangan berikut:
ولك لعلك تريد بعد ذلك أن تعرف حكم ما يسمى بالتصوير الشمسي أو الفتوغرافي فنقول: يمكنك أن تقول: إنّ حكمها حكم الرقم في الثوب، وقد علمت استثناءه نصا. ولك أن تقول: إن هذا ليس تصويرا، بل حبس للصورة، وما مثله إلا كمثل الصورة في المرآة
Artinya: “Barangkali engkau ingin mengetahui hukum dari apa yang disebut dengan fotografi. Maka kami katakan: Engkau boleh berpendapat bahwa hukumnya sama seperti gambar pada pakaian, dan itu dikecualikan secara nash. Engkau juga boleh mengatakan bahwa ini bukanlah ‘menciptakan gambar’, melainkan ‘menahan bayangan’, dan hal ini seperti gambar pada cermin.” (Tafsir Ayatul Ahkam Lisy-Sayis, Juz 1, hlm. 677)
Ulama menegaskan bahwa foto bukanlah “gambar yang diciptakan” (tashwîr), tetapi hanya menangkap pantulan cahaya, seperti cermin. Karena itu hukum melihat foto sama dengan melihat bayangan di cermin, tidak masuk ke dalam larangan menciptakan makhluk bernyawa.
Mayoritas ulama menegaskan bahwa seorang laki-laki boleh melihat bayangan perempuan dalam cermin atau di permukaan air, selama tidak ada unsur syahwat atau fitnah. Namun bila ada unsur syahwat, hukumnya mejadi haram. Simak keterangan berikut;
يحرم على الرجل ولو شيخا هما تعمد نظر شيء من بدن أجنبية حرة أو أمة بلغت حدا تشتهى فيه ولو شوهاء أو عجوزا وعكسه خلافا للحاوي كالرافعي وإن نظر بغير شهوة أو مع أمن الفتنة على المعتمد لا في نحو مرآة. قوله: لا في نحو مرآة) أي لا يحرم نظره لها في نحو مرآة كماء وذلك لانه لم يرها فيها وإنما رأى مثالها. ويؤيده قولهم لو علق طلاقها برؤيتها لم يحنث برؤية خيالها والمرأة مثله فلا يحرم نظرها له في ذلك. قال في التحفة: ومحل ذلك، كما هو ظاهر، حيث لم يخش فتنة ولا شهوة
Artinya: “Haram bagi laki-laki, meski sudah tua, untuk sengaja melihat bagian tubuh perempuan ajnabiyah yang dapat membangkitkan syahwat… Namun melihatnya tanpa syahwat dan aman dari fitnah adalah boleh menurut pendapat kuat, kecuali jika melihat secara langsung, bukan melalui cermin. Adapun melihat melalui cermin atau seperti pantulan air, tidak haram, karena ia tidak melihat wujud perempuan itu, tetapi hanya bayangannya. Hal ini dikuatkan oleh pendapat ulama: jika seseorang menggantungkan talak berdasarkan ‘melihat wanita’, maka melihat bayangannya di cermin tidak menjatuhkan talak. Hal ini berlaku selama tidak ada kekhawatiran syahwat atau fitnah.” (Hasyiyah I‘anatut Tholibin, Juz 3, hlm. 301)
Pandangan melalui foto dianalogikan dengan pandangan melalui cermin. Hukum melihatnya boleh, selama tidak ada syahwat, tidak menimbulkan fitnah (misal: memancing interaksi yang tidak pantas), foto tersebut tidak vulgar.
Lembaga fatwa modern seperti Darul Ifta’ al-Mishriyah memberikan penegasan bahwa foto digital tidak termasuk larangan tashwîr. Namun tetap harus menjaga etika syariat dengan tidak menampilkan aurat atau memancing syahwat.
والذى تدل عليه الأحاديث النبوية الشريفة… أن التصوير الضوئى للإنسان والحيوان المعروف الآن والرسم كذلك لا بأس به، إذا خلت الصور والرسوم من مظاهر التعظيم ومظنة التكريم والعبادة وخلت كذلك عن دوافع تحريك غريزة الجنس وإشاعة الفحشاء والتحريض على ارتكاب المحرمات
Artinya: “Hadits-hadits Nabi menunjukkan bahwa fotografi modern bagi manusia atau hewan tidak mengapa, begitu pula lukisan, selama foto tersebut tidak mengandung unsur pengagungan, pemujaan, dan tidak mengandung dorongan membangkitkan syahwat, menyebarkan kefajiran, atau mendorong kepada kemaksiatan.” (Fatawa Darul Ifta’ al-Mishriyah (Juz 7, hlm. 220)
Lembaga fatwa resmi menegaskan:
- Foto pada dasarnya mubah.
- Batasannya jelas: tidak menjadi sarana maksiat, pamer aurat, atau pemicu syahwat.
Berdasarkan pendapat ulama Salaf diatas dan keputusan fatwa ulama kontemporer, dapat disimpulkan:
Memajang foto di media sosial hukumnya boleh, dengan syarat:
- Foto tidak menampilkan aurat, baik laki-laki maupun perempuan.
- Tidak menimbulkan syahwat bagi yang melihat.
- Tidak menimbulkan fitnah, seperti foto yang terlalu glamour atau mengundang perhatian berlebih.
- Tidak bertujuan ria, pamer, atau memancing interaksi yang tidak pantas.
- Bagi perempuan, foto yang sopan, wajar, dan tidak menggoda adalah boleh dipasang sebagai foto profil atau postingan publik.
Dengan demikian, penggunaan media sosial tetap berada dalam koridor yang dibolehkan syariat, selama etika Islam dijaga.
Media sosial adalah ruang yang penuh potensi—baik kebaikan maupun keburukan. Foto yang kita unggah dapat menjadi wakaf visual yang menginspirasi, atau justru sumber fitnah yang membawa dosa. Pada akhirnya, setiap muslim memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga diri di ruang publik digital.
Pertanyaannya kini adalah: apakah setiap foto yang kita unggah benar-benar membawa manfaat, atau justru mengundang mudlorot bagi diri dan orang lain? Pilihan itu ada di tangan kita. Semoga Alloh SWT membimbing setiap langkah dan postingan kita di dunia yang serba terbuka ini.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.