Fiqh Menjawab Tantangan Umat Islam yang Sibuk di Era Modern

darulmaarif.net – Indramayu, 07 Agustus 2025 | 10.00 WIB

Di tengah hiruk-pikuk kota, kemacetan yang tiada henti, dan jadwal yang padat merayap, kadang kita bertanya dalam hati: “Bagaimana menjaga ibadah tetap utuh di tengah mobilitas tinggi dan gaya hidup urban?” Apakah Islam menyediakan ruang fleksibel untuk umatnya yang sibuk? Atau justru menuntut ibadah yang kaku tak bisa ditawar?

Mari kita telusuri bersama, dengan hati tenang dan pikiran terbuka, bagaimana fikih Islam menjawab realitas zaman yang terus bergerak cepat.

Islam Agama yang Selaras dengan Kehidupan

Islam tidak datang untuk memberatkan. Dalam Al-Qur’an Alloh menegaskan:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْر

Artinya: “Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185)

Ayat ini bukan sekadar teori, tapi menjadi asas dalam hukum Fiqh: al-masyaqqoh tajlibut-taysīr — kesulitan mendatangkan keringanan. Dalam konteks mobilitas tinggi, banyak hukum ibadah yang dirancang dengan fleksibilitas: boleh dijamak, diqashar, bahkan ditunda jika ada ‘udzur syar’i.

Sholat dalam Perjalanan: Qoshor dan Jama’

Bayangkan Anda seorang pekerja lapangan, sales keliling, atau driver ojek online yang harus berpindah-pindah kota. Apakah Anda harus tetap shalat empat rakaat Dzuhur di tengah teriknya jalan?

Jawaban Fiqh: tidak harus.

Dalam mazhab Syafi’i disebutkan:

وَيُسَنُّ قَصْرُ الرُّبَاعِيَّةِ لِمَنْ سَافَرَ مَسَافَةَ قَصْرٍ…

Artinya: “Disunnahkan bagi musafir (yang menempuh jarak minimal ±81 km) untuk mengqaoshor sholat empat roka’at menjadi dua roka’at.” (Fathul Qorib)

Bahkan dalam kondisi tertentu, sholat boleh dijama’, yakni menggabungkan Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’.

Ini menunjukkan bahwa Fiqh ibadah tidak anti mobilitas, tapi justru menyesuaikan dengan realitasnya.

Wudhu dan Tayamum di Area Perkantoran atau di Jalan

Pernahkah Anda kesulitan mencari air wudhu di tengah gedung bertingkat atau rest area? Maka di sinilah fikih memberi jalan keluar. Dalam QS. Al-Ma’idah ayat 6, Alloh SWT berfirman:

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا…

Artinya: “Jika kamu tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih).”

Menurut Al-Majmū’ karya Imam An-Nawawi, tayamum bisa dilakukan selama ada uzur air, termasuk keterbatasan akses saat perjalanan atau keterlambatan waktu. Bahkan dalam kondisi mendesak, bertayamum bisa dilakukan dengan debu dari dinding, dashboard mobil, atau lantai yang berdebu asalkan suci.

Sholat di Mobil, Kereta, atau Pesawat: Boleh?

Ya, ini sering jadi pertanyaan. Dalam hadits riwayat Bukhori:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَافِلَةً حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ

Artinya: “Rosululloh SAW shalat sunnah di atas kendaraannya ke arah mana pun ia menghadap.”

Artinya, sholat sunnah bisa dilakukan di atas kendaraan selama menjaga adab dan kekhusyukan. Untuk sholat wajib, para ulama membolehkan jika dalam keadaan darurat, seperti di pesawat atau kereta cepat di mana turun untuk shalat tidak memungkinkan.

Menjaga Waktu Sholat Meski di Tengah Meeting atau Shift Kerja

Kadang kita berada dalam dilema: “Sholat dulu atau lanjut meeting?” Di sinilah pentingnya memahami batas waktu shalat. Ulama sepakat bahwa setiap waktu shalat memiliki durasi panjang, bukan semata-mata di awal saja.

Contoh: waktu Ashar dimulai setelah bayangan dua kali panjang benda sampai terbenamnya matahari. Artinya, masih ada waktu sekitar 2–3 jam. Kita bisa atur jadwal agar tidak berbenturan, atau meminta ijin sebentar — karena sholat hanya butuh ±5 menit.

Ibadah Bukan Beban, Tapi Ruang Rehat Spiritual

Fiqh ibadah di tengah kesibukan bukan soal meringankan hukum semata, tapi menyadarkan kita bahwa ibadah adalah ruang istirahat ruhani. Saat tubuh lelah oleh aktivitas urban, shalat adalah “charging station” yang Alloh siapkan untuk menyegarkan jiwa.

Gaya hidup urban dan mobilitas tinggi bukan alasan untuk meninggalkan ibadah. Justru dengan memahami fiqh secara mendalam, kita bisa menunaikan kewajiban dengan ringan dan tenang.

Islam bukan agama yang kaku. Ia hidup, bergerak, dan selalu relevan. Maka, ayo belajar fiqh, bukan hanya agar tahu hukum, tapi agar hidup lebih damai di tengah dunia yang sibuk ini.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.