Fikih Munakahat: Antara Budaya, Pernikahan dan Rasisme

darulmaarif.net – Indramayu, 20 Juni 2024 | 14.00 WIB

Pernikahan merupakan hubungan relasional lawan jenis, antara pasangan suami istri yang dalam syari’at Islam harus diikat dengan akad nikah agar hubungan badan dianggap sah, bahkan berpahala. Jika tidak diikat rantai ijab qobul dalam akad nikah maka bisa dipastikan pernikahannya batal, atau tidak sah. Terlebih, jika hubungan tersebut dilakukan tanpa ikatan pernikahan yang sah, maka termasuk kategori zinah.

Namun perlu diketahui bahwa dalam sebuah kebiasaan pernikahan, secara umum orang-orang menikah dilandasi oleh 4 kebiasaan. Atau faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan tersebut. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dirangkum oleh baginda Nabi SAW dalam haditsnya yang sudah masyhur.

Hadits ini menarik dikaji secara Humaniora terkait budaya Parenting. Redaksi matan hadistnya sebagai berikut:


عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي ﷺ قال: تنكح المرأة لأربع: لمالها، ولحسبها، ولجمالها، ولدينها، فاظفر بذات الدين تربت يداك

“Perempuan (biasannya) dinikahi karena empat hal; banyak hartanya, bagus nasabnya, elok rupanya, dan kokoh agamanya. Curahkanlah atensi lebih pada perempuan yang kokoh agamanya, kalau tidak mau celaka.”

Teks hadits diatas memang tegas menyebut al-mar’atu (perempuan), tapi pemaknaannya tidak lantas menyasar perempuan saja, dan tidak memasukkan laki-laki di dalamnya. Mengingat, maksud dari frasa al-‘alaqah az-zaujiyyah (relasi suami-istri) adalah kedua-duanya, bukan istri saja atau suami saja. Jadi, yang sangat ditekankan oleh agama di antara empat kebiasaan dalam memilih pasangan—karena harta, nasab, kecantikan atau ketampanan, dan kualitas keberagamaan—adalah menaruh atensi besar terhadap yang terakhir, yakni kualitas keberagamaanya.

Kebiasaan ini disebut sebagai adat (habbit), kemudian adat yang diulang secara terus menerus menjadi budaya. Nabi dalam hadits tersebut mengatakan secara eksplisit bahwa budaya dalam pernikahan itu biasanya terjadi sebab empat keadaan. Dan tentu saja Nabi berkata demikian karena merekam budaya-budaya pernikahan sebelumnya.

Contoh:
Pertama, menikah karena yang diincar banyak harta: ini tipekal budaya pernikahan Yahudi. Bangsa Yahudi, mereka adalah bangsa yang kaya raya dan mengutamakan harta diatas segalanya. Tengok saja sejarah peradaban bangsa Yahudi dalam buku-buku sejarah peradaban mereka.

Kedua, menikah karena kecantikan/kegantengan (rupa fisik: termasuk kurus, gendut, kekar berotot, body goals, dsb): tipekal budaya pernikahan ini biasa dilakukan oleh kaum Nasrani. Mereka menikah karena melihat rupa fisik yang diutamakan. Maka, tengoklah bangsa-bangsa Eropa yang beragama Nasrani, dalam sejarah mereka juga dikatakan sebagai “Kualitas fisik ksempurnaan ciptaan Tuhan”.

Ketiga, menikah karena Nasab (garis keturunan): tipekal kabilah-kabilah kaum Quraisy, dan kabilah di seluruh Jazirah Arab pada umumnya. Mereka menikahkan anak-anaknya, putra-putri nya berdasar strata kekuatan Nasab dan garis keturunan bapak keatas. Lihat sejarah bangsa-bangsa Arab sebelum Islam masuk dan bagaimana Nabi merubah kondisi adat pernikahan kaum Quraisy dengan memberi teladan Poligami Nabi dengan berbagai ragam perempuan: Siti Khodijah, janda kaya raya. Siti ‘Aisyah, remaja putri sahabatnya yang cantik jelita, Siti Saudah, wanita tua berkulit hitam Habasyah (Ethiopia), Siti Sofiyah, anak Pentolan Yahudi Huyay bin Akhtob yang sangat memusuhi Nabi, Zainab binti Jahsyi, perempuan dermawan yang mengelola panti sosial, Ummu Salamah, perempuan pendidik yang membantu dakwah Nabi dalam pendidikan, dll. Nabi memberikan teladan bahwa pernikahan bukan Rasis persoalan kekayaan, nasab, atau kecantikan saja. Beliau teladan yang luar biasa dari segala aspek dan sisi.

Keempat, menikah karena agama: ini anjuran Nabi yang beliau utamakan agar sejalan dengan misi nubuwah dan syari’at Islam: menghancurkan hubungan relasional pernikahan yang rasis menuju pernikahan langit yang berlandaskan keimanan & ketakwaan semata.

Makanya secara lafadz, Nabi SAW menyebutkannya secara berurutan: Yahudi, Nasrani, Quraisy, Islam. Mengambil contoh dari budaya pernikahan umat Yahudi, Nasrani, keluarga nya sendiri kaum Quraisy, baru nabi menyebut pernikahan Islam belakang. Sebagai anti tesis dari misi kenabian yang diembannya dalam rangka misi ketauhidan: semua manusia sama, yang membedakan kita hanyalah faktor spritutualitas ketakwaan saja. Dalam Al-Qur’an Alloh Swt berfirman:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. Al-Hujarat Ayat 14)

Alloh Swt juga tidak pernah mengajarkan kita untuk bersikap Rasisme. Yang seringkali bersikap rasis justru muncul dari Tabiat/karakter manusia dalam memandang manusia-manusia lainnya. Dalam satu hadits lain Nabi menegaskan:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِـنْ يَنْظُرُ إِلَى قُــــلُوبِكُمْ وَأَعْمَــالِكُمْ

“Sungguh Alloh tidak melihat rupa dan harta kalian, melainkan melihat hati dan amal kalian.” (HR. Imam Muslim)

Kyai Faqih Abdul Qodir dalam kitabnya, Manba’us Sa’adah (hal. 18), beliau menjelaskan:

ومثل ذلك بالمبادلة بنسبة الرجل للمرأة، عليها أن تظفر بصاحب الدين أي صاحب خلق حسن، تربت يداها أي إبتعدت عن سيئات الحياة الزوجية واقتربت بخيراتها على مدى حياتها معه

“Hadits di atas harus dikaji dengan asas kesetaraan (mubadalah), di mana, perempuan ditekankan agar memilih lelaki saleh dan berakhlak mulia, sehingga dia akan selamat dari kehidupan rumah tangga yang kelam, dan dapat merasakan kenyamanan dalam rumah tangga tersebut seumur hidupnya.”

Anthony Giddens, Filsuf cum Psikolog Modern abad 20 menyebut faktor pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilandasi moral etik berupa “hubungan peran”, bukan sekadar hubungan “karakter individu/jenis kelamin”.

Anthony Giddens berteori bahwa model cinta romantis dalam pernikahan, yang menekankan kelanggengan relasional (sampai maut memisahkan kita) dan peran gender yang saling melengkapi, telah digantikan oleh model keintiman baru, yang ia sebut sebagai “hubungan murni”.

Suatu hubungan yang murni dijalin demi kepentingannya sendiri dan dipertahankan jika kedua pasangan menemukan kepuasan yang cukup untuk bertahan dalam pernikahan. Giddens berpendapat bahwa hubungan yang murni lebih egaliter daripada hubungan romantis tradisional dan dapat menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar bagi pasangan serta menumbuhkan rasa otonomi yang lebih besar. (Hull, K.E., Meier, A. and Ortyl. T. “The Changing Landscape of Marriage.” National Library of Medicine. November 2014)

Kalau identik pernikahan dimaknai sebagai hubungan timbal balik antar individu-bukan sebagai murni yang bersifat egaliter-maka pernikahan seperti ini berada dalam pengawasan yang ketat, dan berbahaya untuk jangka waktu yang lama. Dimana masing-masing individu akan saling mendefinisikan diri dan menyebabkan terjadinya tuntutan hubungan yang bersifat transaksional. Dan biasanya hubungan pernikahan transaksional ini tidak berjalan langeng, banyak menuai konflik dalam rumah tangga karena saling menuntut transaksi untung-rugi.

Kalau pernikahan dimaknai sebagai hubungan transaksional saja, jenis pernikahan seperti ini akan saling menuntut pemberian dan penerimaan dari suami atau sebaliknya. Suami sebagai individu “pencari nafkah”, dam istri sebagai “ibu rumah tangga”.

Dalam pernikahan transakional pula, pasti akan menimbulkan gesekan dan jika terjadi transaksi yang tidak setara, berat sebelah, tidak saling menguntungkan, merasa salah satu ada yang dirugikan, atau satu pihak merasa dimanfaatkan oleh pasangannya. Bisa dipastikan relasi dalam rumah tangganya akan kacau balau, cek-cok terus, hingga berujung pada perceraian.

Kesimpulannya:
Budaya Pernikahan yang baik adalah budaya pernikahan yang dicontohkan Nabi untuk umatnya. Nabi mengajarkan kita dalam pernikahan untuk menjalin moral etik “kesadaran murni” yang berbasis iman dan takwa semata. Kita tak boleh bersikap rasis terhadap manusia dan kemanusiaan. Kita harus sadar betul bahwa hubungan pernikahan bukan hubungan transaksional semata, tapi lebih daripada itu:

“Pernikahan adalah ikatan dan janji suci sepasang suami istri dihadapan Alloh Ta’ala untuk saling setia dalam mengarungi bahtera rumah tangga, susah senang bersama, enak gak enak dijalani, lahir bathin, kita menyerahkan diri sepenuhnya dan lebur menjadi dwi-tunggal peran suami-istri yang berkesadaran murni yang emansipatoris, bukan dogmatis yang kamu dan cenderung saklek.”

Tak ada lagi aku-kamu, aing-sia, reang-sira, ana-antum, dsb. Menikah berarti menghancurkan tabiat dasar rasisme individualis diri kita sebagaimana misi syari’at pernikahan yang telah jauh-jauh abad dicontohkan oleh kehidupan rumah tangga baginda Nabi Muhammad Saw.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.