darulmaarif.net – Indramayu, 04 November 2024 | 10.00 WIB
Dalam beberapa tahun terakhir, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Fenomena ini mengundang berbagai spekulasi, salah satunya bahwa semakin banyaknya wanita mandiri dan sedikitnya pria mapan menjadi faktor utama yang mempengaruhi tren ini.
Hal tersebut juga kemudian dijadikan banyak meme dan quotes oleh netizen di berbagai platform media sosial mereka. Apakah benar demikian bahwa pengaruh penurunan angka pernikahan sebab wanita mandiri semakin banyak dan pria mapan semakin sedikit?
Artikel ini akan mengupas isu ini dari perspektif Islam, dengan analisis dan referensi pada ajaran keislaman.
Mengapa Wanita Mandiri Dianggap Menghambat Pernikahan?
Munculnya wanita yang semakin mandiri di bidang pendidikan dan karier, di satu sisi, memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan dan pendidikan umat. Islam sendiri tidak membatasi wanita untuk mengejar pendidikan dan mencapai kemandirian finansial. Rosululloh SAW bahkan menghormati dan menghargai kemapanan Sayyidah Khadijah RA, istri beliau, yang juga merupakan seorang wanita sukses dan mandiri.
Namun, beberapa pihak berpendapat bahwa kemandirian wanita dapat menciptakan hambatan psikologis bagi pria yang merasa “kurang mapan” atau “tidak cukup” dalam memenuhi standar ekonomi tertentu. Fenomena ini memunculkan persepsi bahwa standar calon pasangan ideal semakin tinggi.
Islam Menekankan Kualitas Iman, Bukan Status Ekonomi
Islam memandang bahwa kualitas akhlak dan iman adalah aspek utama dalam memilih pasangan hidup. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rodliyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh SAW bersabda:
تنكح المرأة لأربع: لمالها ولحسبها وجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك
Artinya: “Perempuan (biasannya) dinikahi karena empat hal; banyak hartanya, bagus nasabnya, elok rupanya, dan kokoh agamanya. Curahkanlah atensi lebih pada perempuan yang kokoh agamanya, kalau tidak mau celaka.” (HR. Imam Bukhari dan Muslim).
Demikian pula, Rosululloh SAW menganjurkan bagi pria yang ingin menikah untuk memprioritaskan ketakwaan, yang sebenarnya menjadi kunci dalam menjaga harmonisnya rumah tangga.
Penurunan angka pernikahan bisa jadi merupakan akibat dari perubahan nilai sosial yang lebih materialistis. Standar sosial yang menekankan kemapanan dan kemandirian finansial, bagi sebagian orang, menimbulkan kekhawatiran dalam membangun rumah tangga, sehingga mereka menunda pernikahan. Ini sejalan dengan analisis yang dijelaskan oleh Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali dalam kitabnya Ihya ‘Ulumuddin, bahwa cinta kasih dalam pernikahan dapat terwujud bukan karena kekayaan, tetapi karena keselarasan nilai dan tujuan hidup yang didasarkan pada keimanan.
Dalam menggambarkan pola hubungan suami istri ini, Hujjatul Islam al-Ghazali mencontohkan:
فينبغى أن تسلك سبيل الاقتصاد فى المخالفة والموافقة وتتبع الحق فى جميع ذالك
Artinya: “Dan hendaknya anda (suami) memilih cara yang seimbang dalam menolak dan menuruti, serta mengikuti rambu-rambu kebenaran dalam segala hal itu (dalam hal menggauili istri dengan baik, dan memenuhi keinginanya).” (Al-Ghozali, Ihya’ Ulumiddin, [Al-Haramain: 1999], juz II, halaman 46).
Perlu Didorongnya Kesadaran Akan Esensi Pernikahan
Untuk merespon penurunan angka pernikahan, perspektif Islam menawarkan solusi dengan kembali kepada esensi pernikahan sebagai ibadah dan sunnah Rosululloh SAW. Dalam konteks ini, kemandirian wanita sebenarnya bisa menjadi aset, bukan hambatan. Dalam Islam, tanggung jawab nafkah memang terletak pada pria, tetapi jika wanita memiliki kemapanan ekonomi, hal tersebut dapat menjadi faktor pendukung yang memperkuat rumah tangga, bukan menjadi penghalang bagi pria untuk menikah.
Penurunan angka pernikahan juga menunjukkan perlunya sosialisasi lebih lanjut tentang hak dan kewajiban dalam pernikahan. Misalnya, Imam Ibn Katsir
tafsirnya, disebutkan pentingnya kerja sama antara suami dan istri dalam mengelola keluarga secara ma’ruf.
أن العشر بالمعروف تتضمن طيب الكلام وحسن الأفعال والهيئات بين الزوجين
Artinya: “Sesungguhnga
bergaul dengan baik terhadap istri meliputi, ucapan yang baik, tingkah laku yang baik, dan juga sikap-sikap baik (lainnya) di antara suami dan istri.” (Ibnu Katsir, Tafsiirul Qur-anil Adhim, [Beirut, Darul Fikr: 2000], juz II, halaman 212).
Artinya, hubungan antara pasangan juga harus dibangun berdasar prinsip partnership atau basis kemitraan, di mana pasangan tidak hanya menjadi sebatas teman hidup belaka, namun pasangan harus diperlakukan sebagai partner, artinya suami tidak bertindak sewenang-wenang tanpa mempertimbangkan kepentingan, kondisi, perasaan dan atau pendapat sang istri. Istri juga berhak memberikan kontribusi tertentu dalam rumah tangga.
Tantangan Sosial Ekonomi dan Peran Pemerintah
Faktor sosial ekonomi seperti biaya hidup yang meningkat juga tidak dapat diabaikan dalam pembahasan ini. Pemerintah perlu turut aktif menciptakan kebijakan yang mendukung kestabilan ekonomi, khususnya bagi generasi muda. Islam mengajarkan pentingnya peran negara dalam memastikan kesejahteraan umat. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, memberikan subsidi kepada pasangan yang menikah dan kurang mampu, untuk mendorong kelangsungan generasi penerus yang berkualitas.
Kesimpulan
Penurunan angka pernikahan bukanlah sekadar akibat dari semakin banyaknya wanita mandiri atau sedikitnya pria mapan, melainkan merupakan fenomena kompleks yang melibatkan nilai sosial, ekonomi, dan perubahan pandangan hidup. Islam menawarkan solusi dengan mengembalikan fokus pada nilai ketakwaan dan keikhlasan dalam pernikahan, mengesampingkan standar materialisme berlebihan. Kemandirian wanita, dalam pandangan Islam, bisa menjadi nilai tambah dalam rumah tangga apabila dilandasi dengan niat yang benar dan pemahaman syariah yang tepat.
Mengembalikan esensi pernikahan sebagai ibadah, meningkatkan kesadaran akan peran masing-masing, dan menciptakan dukungan ekonomi bagi generasi muda adalah langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mendorong angka pernikahan yang sehat dalam masyarakat Muslim.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.