Akhlak dalam Bermedia Sosial: Tips Islami Menjaga Lisan Digital

Media Sosial dan Tips Akhlak Islami

Penulis: Usth. Putri Levia Septi Hidayati S.Pd.

Media sosial saat ini sudah bukan lagi sekadar tempat berbagi kabar. Ia adalah ruang hidup baru, di mana manusia mengekspresikan diri, berinteraksi, dan bahkan membentuk citra diri. Di era komputer, gadget, dan internet yang serba terhubung, hampir setiap detik manusia “hadir” di dunia maya. Saat bangun tidur, banyak orang lebih dulu membuka ponsel sebelum menengok wajah keluarga. Begitu pula sebelum tidur, tidak sedikit yang menjadikan scroll media sosial sebagai rutinitas terakhirnya.

Di balik semua itu, media sosial bekerja layaknya pedang bermata dua. Pada sisi terang, ia memudahkan kita untuk menjalin silaturahmi, menyebarkan ilmu, mendengar dakwah, dan menemukan inspirasi. Satu pesan kebaikan yang kita tulis bisa dibaca oleh ratusan, bahkan ribuan orang, yang mungkin saja berubah hidupnya karena kata-kata itu.

Namun, pada sisi gelapnya, media sosial bisa berubah menjadi lahan subur untuk dosa. Dengan satu sentuhan jari, berita bohong bisa menyebar ke seluruh dunia. Dengan satu komentar penuh amarah, persaudaraan bisa retak. Dengan satu unggahan penuh pamer, hati bisa tersusupi riya’, iri, atau dengki.

Di sinilah kita perlu merenung: jari-jemari kita di layar ponsel sebenarnya adalah lisan baru, lisan digital. Jika lisan biasa bisa melukai hati seseorang, maka lisan digital bisa melukai lebih banyak orang sekaligus. Jika ucapan biasa bisa hilang ditelan waktu, maka tulisan digital meninggalkan jejak yang abadi.

Bayangkan, ketika seseorang menjelekkan orang lain di sebuah grup atau kolom komentar, mungkin ia mengira itu hanya candaan atau luapan emosi sesaat. Tapi, bagi yang membaca, kata-kata itu bisa menjadi luka. Lebih parah lagi, unggahan itu bisa tersimpan, di-capture, atau disebarkan kembali hingga menyebar tanpa batas.

Dalam dunia nyata, kita bisa meminta maaf langsung kepada orang yang tersakiti. Tetapi di dunia digital, siapa yang bisa menjamin kita mampu meminta maaf kepada semua orang yang telah membaca, membagikan, dan mempercayai ucapan kita?

Inilah mengapa Islam menekankan betapa pentingnya menjaga lisan. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara dua rahangnya (lisannya) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluannya), maka aku jamin baginya surga.” (HR. Bukhari)

Hadits ini, jika kita bawa ke era digital, seakan berpesan: barang siapa yang mampu menjaga lisan digitalnya dari keburukan, maka ia sedang menjaga jalan menuju surga.

Jauh sebelum munculnya internet, agama Islam telah memberikan pedoman yang sangat relevan untuk menangani fenomena ini. Salah satu pedoman paling kuat dapat kita ingat dari firman Allah SWT dalam Surah An-Nur [24] ayat 11 tentang berita palsu yang menimpa ibunda ‘Aisyah RA.

Allah SWT berfirman:

اِ ﱠن اﻟﱠﺬِﯾْﻦَ ﺟَﺎۤءُوْ ﺑِﺎﻻِْﻓْﻚِ ﻋُﺼْﺒَﺔٌ ﱢﻣﻨْﻜُﻢْۗ ﻻَ ﺗَﺤْﺴَﺒُﻮْهُ ﺷَﺮًّا ﻟﱠﻜُﻢْۗ ﺑَﻞْ ھُﻮَ ﺧَﯿْﺮٌ ﻟﱠﻜُﻢْۗ ﻟِﻜُ ﱢﻞ اﻣْﺮِئٍ ﱢﻣﻨْﮭُﻢْ ﱠﻣﺎ اﻛْﺘَﺴَﺐَ ﻣِﻦَ اﻻِْﺛْﻢِۚ وَاﻟﱠﺬِيْ ﺗَﻮَٰﻟّﻰ ﻛِﺒْﺮَهٗ ﻣِﻨْﮭُﻢْ ﻟَﮫٗ ﻋَﺬَابٌ ﻋَﻈِﯿْﻢٌ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat azab yang besar (pula).” (Q.S. An-Nur [24]: 11)

Langkah-langkah Praktis untuk Menjaga Akhlak Bermedia Sosial

Berdasarkan petunjuk yang terkandung dalam ayat 11 dari Surah An-Nur, berikut adalah beberapa tindakan yang dapat kita ambil untuk menjaga akhlak kita di media sosial:

  1. Tabayyun: Terapkan prinsip tabayyun sebelum berbagi. Sebelum memberikan informasi, pikirkan sejenak tentang kredibilitas sumbernya. Apakah informasinya akurat? Apakah bermanfaat jika dibagikan?
  • Berpikir sebelum mengetik: Ingatlah bahwa tulisan menunjukkan iman dan kepribadian Anda. “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencaci maki.” Jangan menggunakan kata-kata kasar, caci maki, atau komentar yang dapat melukai orang lain. Segala sesuatu yang haram diucapkan, seperti ghibah (menggunjing), fitnah, mencaci maki, dan berdusta, maka haram pula untuk diketik dan disebarkan di media sosial.
  • Stop Rantai Kebohongan: Jika Anda menerima informasi yang meragukan, jangan langsung menyebarkannya; sebaliknya, putuskan rantai penyebarannya di tangan Anda. Jika perlu, berikan klarifikasi yang tepat tentang apa yang Anda ketahui.
  • Menjaga Pandangan dan Hati: Bijak bermedia sosial bukan hanya tentang apa yang kita unggah, tetapi juga tentang apa yang kita lihat.
    • Tundukkan Pandangan: Hindari melihat aurat atau hal-hal yang diharamkan oleh Allah yang banyak tersebar di media sosial.
    • Jaga Hati dari Penyakit: Media sosial adalah panggung utama untuk penyakit hati seperti riya’ (pamer), ‘ujub (bangga diri), dan hasad (iri dengki). Jangan memamerkan ibadah atau kemewahan untuk mendapat pujian manusia, dan jangan biarkan hati menjadi iri melihat kehidupan orang lain. Beliau juga menasihati agar tidak “curhat” atau mengumbar masalah pribadi dan aib keluarga di media sosial.
  • Gunakan untuk Kebaikan: Gunakan media sosial sebagai ladang pahala untuk menyebarkan pengetahuan yang berguna, saran yang baik, atau konten yang menyejukkan dan menginspirasi. Maka bertanggunjawablah atas setiap unggahan. Setiap “like”, “share”, dan “post” akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
  • Hindari Komentar Negatif dan Debat Kusir: menahan diri dari menulis komentar negatif, meskipun kita melihat sesuatu yang tidak kita setujui.
    • Jika melihat kesalahan: Tugas kita adalah memberi nasihat dengan cara yang baik dan personal (jika memungkinkan), bukan menghakiminya di kolom komentar. Cacian tidak akan membuat hati luluh, justru akan mengeraskan hati.
    • Jika tidak bisa menasihati: Lebih baik diam. Diam adalah pilihan yang menyelamatkan diri dari ikut serta dalam keburukan dan perdebatan yang tidak bermanfaat.
  • Mengubah Kecanduan Menjadi Berkah: Solusi kecanduan media sosial bisa diarahkan dengan mengikuti akun-akun para ulama, majelis ilmu, dan konten-konten Islami. Dengan begitu, waktu yang dihabiskan tetap bernilai ibadah dan menambah ilmu.

Kesimpulannya, menjaga akhlak dalam bermedia sosial adalah merupakan bentuk “kontrol diri”. Jadilah pengguna media sosial yang cerdas secara emosional dan spiritual. Gunakan platform ini sebagai alat untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan menjauhkan diri dari-Nya.

Semoga Bermanfaat. Wallohu a’lam.

Share:

More Posts