“Para pakar komunikasi dan psikologi sepakat bahwa kegagalan komunikasi dapat berakibat fatal baik secara individual maupun secara sosial.”
darulmaarif.net – Indramayu, 19 Desember 2022 | 08.00 WIB

Manusia adalah makhluk sosial, tak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari pihak-pihak lain. Hal ini merupakan realitas asali sejak manusia pertama (Nabi Adam As) diciptakan. Secara naluri, manusia butuh kasih sayang, pertolongan, pengakuan, serta berbagai kebutuhan baik biologis maupun sosiologis lainnya.
Sejak Nabi Adam As diciptakan, sejak itu pula ia merindukan komunikasi dengan individu lainnya. Dalam riwayat disebutkan bahwa ketika Nabi Adam As sendirian diawal kehidupannya di surga, suatu waktu merasa kesepian, untuk itu Alloh Swt menciptakan Siti Hawa dari jenisnya sendiri (ras manusia) sebagai teman hidup sekaligus lawan bicara (komunikan). Dengan adanya lawan bicara, mereka dapat mengutarakan kehendak pikiran dan perasaan individual baik suka duka dalam sarana dialog yang disebut komunikasi.
Manusia berkomunikasi untuk mengekspresikan dirinya, membentuk jaringan interaksi sosial, dan mengembangkan kepribadian dirinya. Para pakar komunikasi dan psikologi sepakat bahwa kegagalan komunikasi dapat berakibat fatal baik secara individual maupun secara sosial. Secara individual, kegagalan komunikasi menimbulkan feedback berupa frustasi, prasangka buruk dan penyakit-penyakit jiwa lainnya. Secara sosial, kegagalan komunikasi dapat menghambat saling pengertian, kerjasama, toleransi dan hambatan-hambatan lain yang merintangi pelaksanaan norma-norma sosial dalam masyarakat.
Oleh karena manusia adalah makhluk sosial yang butuh komunikasi, Al-Qur’an sendiri telah menyebut komunikasi sebagai fitrah lahiriah alami manusia. Sebagaimana dalam surat Ar-Rohman:
اَلرَّحْمٰنُۙ عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ عَلَّمَهُ الْبَيَانَ (الرحمن: ١-٤)
Artinya: “Alloh Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. (Q.S. Ar-Rahman [55]: 1-4)
Dalam pandangan mufassir, ayat diatas menyebutkan tiga nikmat besar pada manusia. Nikmat yang pertama adalah diajarkannya Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah wahyu Alloh Swt yang paling mulia, dan diberikan kepada Nabi yang paling mulia pula. Menurut Syekh Sulaiman Al-Jamal di dalam Tafsir Jamal menjelaskan lafadz علم mempunyai dua objek; Al-Quran, dan objek yang satunya dibuang (mahdzuf), yaitu lafadz الإنسان (yang bemakna semua manusia). (Syekh Sulaiman Al-Jamal, Tafsir Jamal, [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2013] juz 7, hal. 361)
Dan nikmat yang kedua dan ketiga, Syekh al-‘Allamah DR. Wahbah Az-Zuhailiy menjelaskan sebagai berikut :
النعمة الثانية والثالثة خلق جنس الإنسان لإعمار الكون، وتعليمه البيان أي الكلام والنطق والفهم، وهو مما فضّل به الإنسان على سائر الحيوان
Artinya : Nikmat yang kedua dan ketiga adalah diciptakan sebagai manusia, untuk meramaikan dunia, dan mengajarkannya bayan, yaitu berbicara dan kefahaman, hal itu termasuk salah satu yang dianugerahkan kepada manusia, tidak kepada hewan.” (Syekh Wahbah Az-Zuhailiy, Tafsir Munir, [Beirut : dar Al-Fikr, 2018], juz 14, hal. 215)
Dalam pandangan kontemporer, albayan disebut juga ilmu komunikasi. Sedangkan dalam Islam, Komunikasi Islam adalah proses penyampaian pesan dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang sesuai dengan Islam.
Komunikasi dalam perspektif Islam menekankan pada unsur pesan (message), yakni risalah atau nilai-nilai Islam, dan cara (how), dalam hal ini tentang gaya bicara dan penggunaan bahasa (retorika).
Pesan-pesan keislaman yang disampaikan dalam komunikasi Islam meliputi seluruh ajaran Islam, meliputi akidah (iman), syariah (Islam), dan akhlak (ihsan).
Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum Muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berkomunikasi secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam, kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam.
Keenam prinsip komunikasi Islam yang disebutkan dalam Al-Qur’an adalah Qoulan Syadidan, Qoulan Balighon, Qoulan Ma’rufan, Qoulan Kariman, Qoulan Layinan, dan Qoulan Maysuron.
- Qoulan Syadidan (قولا شديدا)
Qoulan Syadidan berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa).
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟ قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Alloh dan hendaklah mereka mengucapkan Qoulan Sadidan –perkataan yang benar.” (QS An-Nisa [4]:9).
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta.
“Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaqon ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
“Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu ‘Asakir dari ‘Abdullah bin Basri).
Dalam bahasa Indonesia, maka komunikasi hendaknya menaati kaidah tata bahasa dan mengguakan kata-kata baku yang sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
- Qoulan Balighon (قولا بالغا)
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Balighon artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.
أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَعْلَمُ ٱللَّهُ مَا فِى قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُل لَّهُمْ فِىٓ أَنفُسِهِمْ قَوْلًۢا بَلِيغًا
“Mereka itu adalah orang-orang yang Alloh mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qoulan Balighon –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“(QS An-Nissa :63).
Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya.” (QS.Ibrahim:4)
Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan.
Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa.
Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass communication).
- Qoulan Ma’rufan (قولا معروفا)
Kata Qoulan Ma’rufan disebutkan Alloh dalam QS An-Nissa :5 dan 8, QS. Al-Baqarah:235 dan 263, serta Al-Ahzab: 32.
Qoulan Ma’rufan artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qoulan Ma’rufan juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya [268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Alloh sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qoulan Ma’rufan–kata-kata yang baik.” (QS An-Nissa :5)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qoulan Ma’rufan –perkataan yang baik.” (QS An-Nissa :8).
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qoulan Ma’rufan –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).
“Qoulan Ma’rufan –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Alloh Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqoroh: 263).
“Hai istri-istrri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qoulan Ma’rufan –perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).
- Qoulan Kariman (قولا كريما)
Qoulan Kariman adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati mereka.
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali- kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya perkatan uff (ah) dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qoulan Kariman –ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).
Qoulan Kariman harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orangtua atau orang yang harus kita hormati.
Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qoulan Kariman bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.
- Qoulan Layyinan ( قولا ليّنا)
Qoulan Layyinan berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati pendengarnya.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layyinan ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qoulan Layyinan –kata-kata yang lemah-lembut…” (QS. Thaha: 44).
Ayat di atas adalah perintah Alloh Swt kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qoulan Layyinan, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi.
- Qoulan Maysuron ( قولا ميسورا)
Qoulan Maysuron bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.
وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ٱبْتِغَآءَ رَحْمَةٍ مِّن رَّبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُل لَّهُمْ قَوْلًا مَّيْسُورًا
”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qoulan Maysuron –ucapan yang mudah.” (QS. Al-Isra: 28).
Demikian makna atau pengertian dan prinsip-prinsip komunikasi dalam Islam. Agar dalam hubungan relasi sosial berjalan lancar, 6 prinsip dasar komunikasi dalam Islam tersebut hendaknya dijadikan pedoman oleh kita sebagai makhluk sosial.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.