darulmaarif.net – Indramayu, 11 November 2025 | 10.00 WIB
Sejarah mencatat bahwa tahun kelahiran Nabi Muhammad SAW dikenal dengan sebutan ‘Âmul Fîl — Tahun Gajah. Sebuah peristiwa besar yang mengguncang Jazirah Arab, ketika Raja Abrahah al-Ashram, penguasa Yaman di bawah kekuasaan Najâsyî (Raja Habasyah), datang dengan pasukan besar dan seekor gajah raksasa untuk menghancurkan Ka’bah.
Tujuan Abrahah sederhana namun sombong: ia ingin memalingkan perhatian manusia dari Baitullah di Makkah menuju gereja megah yang dibangunnya di Sana’a, Yaman. Gereja itu diberi nama gereja al-Qullays, dan ia berharap umat Arab berhenti berhaji ke Makkah, melainkan beralih ke gerejanya. Namun kehendak manusia tak sebanding dengan kehendak Alloh.
Diriwayatkan bahwa seorang lelaki dari suku Kinanah mendengar kabar itu, lalu mendatangi gereja Abrahah dan mengotori dinding kiblat gereja dengan kotoran, sebagai bentuk penghinaan terhadap kesombongan Abrahah. Marah besar, Abrahah pun bersumpah akan menyerang dan meruntuhkan Ka’bah, membawa pasukan gajah dari Yaman menuju tanah haram.
Nama Gajah Abrahah: Mahmud, Hewan yang Tunduk kepada Kekuasaan Alloh
Di antara pasukan bergajah itu, terdapat seekor gajah utama yang menjadi tunggangan Abrahah. Namanya adalah Mahmud. Fakta ini disebutkan oleh banyak ulama klasik, di antaranya Ibnu Ishaq dalam Sîrah Ibn Hisyâm, Ibnu Katsîr dalam al-Bidâyah wan-Nihâyah, dan Ibnu Atsîr dalam al-Kâmil fit Târîkh. Imam Ibnu Ishaq meriwayatkan:
وقال ابن إسحاق: ثم أرسل عبد المطلب حلقة باب الكعبة، وانطلق هو ومن معه من قريش إلى شعف الجبال يتحرزون فيها، ينتظرون ما أبرهة فاعل، فلما أصبح أبرهة تهيأ لدخول مكة، وهيأ فيله، وعبى جيشه، وكان اسم الفيل: محمودا.
فلما وجهوا الفيل إلى مكة، أقبل نفيل بن حبيب حتى قام إلى جنب الفيل، ثم أخذ بأذنه، فقال: ابرك محمود، وارجع راشدا من حيث أتيت، فإنك في بلد الله الحرام. وأرسل أُذنه فبرك الفيل.
Artinya: “Imam Ibnu Ishaq berkata: ketika Abrahah bersiap memasuki Makkah, ia menyiapkan gajahnya, dan nama gajah itu adalah Mahmud. Lalu datanglah Nufayl bin Habib al-Khath’amî, seorang penduduk Makkah, dan memegang telinga gajah itu sambil berkata:
‘Berlututlah, Mahmud, dan kembalilah dengan selamat dari tempatmu datang. Sesungguhnya engkau kini berada di negeri Alloh Tanah Haram.’ Maka gajah itu pun berlutut dan menolak untuk berjalan menuju Ka’bah.” (al-Bidâyah wan-Nihâyah, Ibnu Katsîr, jilid 2)
Abrahah dan tentaranya memukul gajah itu, namun Mahmud tidak mau bergerak ke arah Makkah. Anehnya, ketika diarahkan ke arah Yaman atau Syam, ia mau berjalan. Namun setiap kali diarahkan ke arah Ka’bah, gajah itu jatuh dan sujud ke tanah. Ini menjadi tanda bahwa hewan pun tunduk kepada perintah Alloh, sementara manusia yang sombong malah melawan-Nya.
Dalam riwayat Imam Ibni Atsir dalam kitabnya Kamil fit tarikh libni Atsir dikatakan:
فلما أصبح أبرهة تهيأ لدخول مكة وهيأ فيله ، وكان اسمه محمودا ، وأبرهة مجمع لهدم البيت والعود إلى اليمن ، فلما وجهوا الفيل أقبل نفيل بن حبيب الخثعمي فمسك بأذنه وقال : ارجع محمود ، ارجع راشدا من حيث جئت فإنك في بلد الله الحرام ! ثم أرسل أذنه ، فألقى الفيل نفسه إلى الأرض واشتد نفيل فصعد الجبل ، فضربوا الفيل ، فأبى ، فوجهوه راجعا إلى اليمن ، فقام يهرول ، ووجهوه إلى الشام ففعل كذلك ، ووجهوه إلى المشرق ففعل مثل ذلك ، ووجهوه إلى مكة فسقط إلى الأرض.
Artinya: “Ketika pagi tiba, Abrahah bersiap untuk memasuki Makkah. Ia menyiapkan gajahnya, dan nama gajah itu adalah Mahmud. Abrahah bertekad untuk merobohkan Baitullah (Ka’bah) dan kemudian kembali ke Yaman.
Ketika mereka menghadapkan gajah itu ke arah Makkah, datanglah Nufayl bin Habib al-Khats’amî, lalu ia memegang telinga gajah tersebut dan berkata:
“Kembalilah, wahai Mahmud! Kembalilah dengan selamat dari tempat asalmu, karena sesungguhnya engkau kini berada di negeri Alloh yang suci (tanah haram)!” Kemudian ia melepaskan telinganya, maka gajah itu pun menjatuhkan dirinya ke tanah (tidak mau berjalan). Nufayl segera bergegas naik ke gunung.
Mereka pun memukul gajah itu, tetapi ia enggan bergerak. Ketika mereka mengarahkannya kembali ke arah Yaman, ia segera berdiri dan berjalan cepat. Ketika mereka mengarahkannya ke arah Syam, ia melakukan hal yang sama. Ketika mereka mengarahkannya ke arah timur, ia juga melakukan hal serupa. Namun, ketika mereka mengarahkannya ke arah Makkah, ia jatuh ke tanah (menolak untuk maju).” (Kitab al Kamil fit tarikh libni Atsir)
Kehancuran Pasukan Gajah dan Munculnya Mukjizat Alloh
Tak lama setelah peristiwa itu, Alloh menurunkan burung-burung Ababil yang membawa batu-batu dari sijjîl. Mereka melempari pasukan Abrahah hingga hancur luluh. Kisah ini diabadikan dalam Surat Al-Fîl (QS. 105: 1–5):
اَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِاَصْحٰبِ الْفِيْلِۗ اَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِيْ تَضْلِيْلٍۙ وَّاَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا اَبَابِيْلَۙ تَرْمِيْهِمْ بِحِجَارَةٍ مِّنْ سِجِّيْلٍۙ فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَّأْكُوْلٍ
Artinya: “Tidakkah engkau (Nabi Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fîl Ayat 1–5)

Dalam kitab Tafsir jalalain Juz II, hal. 271 memberikan keterangan yang hampir sama terkait kisah Abrahah yang diabadikan surat Al-Fîl, sebagaimana redaksi berikut:
( ألم تر ) استفهام تعجب أي اعجب ( كيف فعل ربك بأصحاب الفيل ) هو محمود ، وأصحابه أبرهة ملك اليمن وجيشه بني بصنعاء كنيسة ليصرف إليها الحاج عن مكة, فأحدث رجل من كنانة فيها ولطخ قبلتها بالعذرة احتقارا بها ، فخلف أبرهة ليهدمن الكعبة ، فجاء مكة بجيشه على أفيال مقدمها محمود….الخ
Artinya: “(Apakah kamu tidak memperhatikan)” — ini adalah bentuk pertanyaan yang bermakna ta’ajjub (kekaguman), yakni: “Heranlah engkau!”
“(Bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap tentara bergajah)” — yang dimaksud dengan gajah itu adalah Mahmud, sedangkan pemimpinnya adalah Abrahah, raja Yaman, bersama pasukannya.
Abrahah telah membangun sebuah gereja di kota Shan‘a (Sana’a) agar manusia beralih berhaji ke sana dan tidak lagi ke Makkah.
Namun, seorang laki-laki dari suku Kinanah datang ke gereja itu lalu mengotorinya dan melumuri arah kiblatnya dengan kotoran manusia, sebagai bentuk penghinaan terhadap gereja tersebut.
Maka Abrahah pun murka besar dan bersumpah akan menghancurkan Ka‘bah.
Ia kemudian berangkat menuju Makkah bersama pasukannya yang menunggangi gajah-gajah besar, dan gajah yang berada di barisan terdepan bernama Mahmud, dan seterusnya (hingga kisah kehancuran pasukan tersebut oleh burung Ababil). (Tafsir jalalain, [Maktabah Haromain: Surabaya], Juz II/271].
Pasukan Abrahah hancur binasa, dan Abrahah sendiri kembali ke Yaman dalam keadaan luka parah hingga akhirnya meninggal. Sementara Ka’bah selamat, dan peristiwa itu menjadi tanda kebesaran Alloh ‘Azza wa Jalla menjelang kelahiran seorang manusia agung, Nabi terakhir, yakni Baginda Nabi Muhammad SAW.
Hikmah Sosial dari Kisah Gajah Mahmud
Peristiwa ‘Âmul Fîl bukan sekadar kisah sejarah, melainkan cermin bagi manusia modern tentang kesombongan dan kekuasaan. Abrahah melambangkan arogansi kekuasaan duniawi yang ingin menundukkan simbol ketuhanan. Namun Allah menunjukkan bahwa hewan pun lebih tahu arah kebenaran dibanding manusia yang congkak.
Gajah Mahmud menjadi simbol ketundukan makhluk terhadap kehendak Tuhan, sekaligus peringatan bagi manusia bahwa kekuatan militer dan ambisi politik tak berarti di hadapan kehendak Ilahi.
Dari sisi sosial, kisah ini juga menggambarkan perlindungan Alloh terhadap nilai-nilai suci, bahkan sebelum Islam diturunkan. Makkah dan Ka’bah tetap terjaga karena ketetapan Alloh bahwa rumah itu adalah pusat ibadah umat manusia*, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Âli ‘Imrân ayat 96:
اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ
Artinya: “Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia adalah (Baitullah) yang (berada) di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam.” (QS. Âli ‘Imrân ayat 96)
Nama gajah yang ditunggangi Raja Abrahah dalam penyerbuan Ka’bah adalah Mahmud — bukan sekadar nama hewan, tapi simbol sejarah tentang tunduknya makhluk kepada kekuasaan Alloh SWT. Kisah ini menandai datangnya era baru, lahirnya Baginda Nabi Muhammad SAW, rahmat bagi seluruh alam.
Dalam konteks Sîrah Nabawiyyah, peristiwa ini menjadi mukadimah spiritual bahwa Alloh akan selalu menjaga kemuliaan agama-Nya, bahkan ketika manusia berusaha untuk menghancurkannya.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.


