Akal sebagai Jalan Menuju Tauhid: Perspektif Filosofis dan Teologis dalam Islam

darulmaarif.net – Indramayu, 15 Agustus 2025 | 10.00 WIB

Penulis: Ust. Ade Reza Muhammad, Lc.*

Di era modern saat ini, ketika arus informasi mengalir tanpa henti dan berbagai ideologi bersaing mempengaruhi cara kita berpikir manusia, banyak orang—terutama generasi muda—mulai mempertanyakan fondasi keyakinan mereka. Fenomena overthinking, keraguan spiritual, hingga krisis identitas keagamaan menjadi isu nyata yang sering kita temui.

Di tengah gempuran pemikiran global dan budaya instan, Islam menawarkan fondasi kokoh yang mampu menjawab kegelisahan zaman: harmoni antara akal dan wahyu sebagai jalan menuju tauhid—kesadaran penuh akan keesaan Alloh SWT.

Sejak awal peradaban Islam, para Ulama dan Filosof Muslim telah membahas hubungan akal dan tauhid. Mereka meyakini bahwa akal adalah salah satu jalan menuju pengakuan atas keesaan Alloh.

Perspektif filosofis melihat akal sebagai alat untuk memahami realitas secara rasional, sementara perspektif teologis menempatkan akal sebagai pendukung wahyu dalam memperkuat iman.

Dalil Qur’an dan Hadits Tentang Fungsi Akal

Al-Qur’an berulang kali menggunakan pendekatan rasional untuk meneguhkan tauhid. Dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 22, Alloh SWT berfirman:

لَوْ كَانَ فِيْهِمَآ اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَاۚ فَسُبْحٰنَ اللّٰهِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُوْنَ

Artinya: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Alloh, tentu keduanya itu telah binasa. Maha Suci Alloh yang memiliki ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al-Anbiya’ ayat 22)

Ayat ini mengandung argumentasi logis: jika ada lebih dari satu Tuhan, maka akan terjadi kekacauan dalam pengaturan alam semesta. Kesempurnaan keteraturan alam menunjukkan hanya ada satu Tuhan.

Rosululloh SAW bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِيْ الدِّيْنِ

Artinya: “Siapa yang Alloh kehendaki kebaikan baginya, maka Dia akan memberinya pemahaman dalam urusan agama.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)

Hubungan Akal dan Wahyu

Imam Al-Ghozali dalam kitab Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul mengatakan:

العقل شرط في معرفة العلوم، والعمل بالشرع، ولكنه ليس مستقلاً بإدراك جميع ما يُحتاج إليه من الأحكام

Artinya: “Akal adalah syarat untuk mengetahui ilmu dan mengamalkan syariat, tetapi ia tidak berdiri sendiri dalam memahami semua hukum yang diperlukan.” (Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul Jilid I, Pustaka Al-Kautsar, hal. 608)

Al-Ghozali menegaskan bahwa akal adalah alat untuk memahami wahyu, namun wahyu adalah sumber kebenaran yang memandu akal. Akal menjadi hujjah bahwa ia tidaklah bertentangan dengan syariat, melainkan bekerja sama.

Sedangkan Imam Ibn Taymiyyah dal kitabnya, Dar’ Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql menegaskan bahwa akal dan wahyu tidaklah bertentangan satu sama lain;

العقل الصريح لا يعارض النقل الصحيح، بل يوافقه ويشهد له

Artinya: “Akal yang jernih tidak akan bertentangan dengan wahyu yang sahih, bahkan mendukung dan menjadi saksi baginya.” (Dar’ Ta’arudh al-‘Aql wa al-Naql, Juz I, al-Mamlakah al-‘Arabiyyah [Riyadh] tt. 1979)

Imam Ibn Taymiyyah membantah anggapan bahwa akal dan wahyu sering bertentangan; konflik hanya muncul jika akal rusak atau wahyu dipahami secara keliru.

Pemahaman dalam agama mencakup penggunaan akal untuk memahami prinsip tauhid. Artinya, jalan menuju iman yang kokoh adalah melalui pengetahuan yang diproses oleh akal.

Pandangan Ulama dan Filosof Muslim lain seperti Imam Al-Farabi memandang akal sebagai alat untuk memahami keteraturan alam dan menyimpulkan adanya Pencipta yang Maha Esa.

Ibnu Sina dalam kitab Asy-Syifa’, beliau berpendapat bahwa keberadaan Tuhan dapat dibuktikan melalui konsep sebab pertama (First Cause).

Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali sendiri menegaskan bahwa akal perlu dibimbing wahyu agar tidak tersesat, tetapi tanpa akal, manusia tidak dapat memahami wahyu secara benar.

Sementata Imam Ibn Taimiyah dalam argumentasi kitabnya yang lain menolak pemisahan total antara akal dan wahyu, menegaskan bahwa keduanya bersumber dari Alloh dan saling menguatkan satu sama lain.

Dari sudut pandang filsafat Islam, akal digunakan untuk menafsirkan tanda-tanda keberadaan Tuhan melalui hukum sebab-akibat, keteraturan kosmos, dan keterbatasan makhluk. Argumentasi kosmologis, teleologis, dan ontologis digunakan untuk membuktikan bahwa hanya satu Tuhan yang berhak disembah.

Dari sisi teologi, akal adalah instrumen untuk memahami dalil naqli. Ilmu kalam mengajarkan bahwa iman yang sahih harus didasarkan pada ilmu, bukan sekadar taklid. Karenanya, seorang mukalaf diwajibkan mengetahui dalil yang membuktikan keesaan Alloh.

Akal sebagai pembuka jalan: Mengantar manusia pada kesadaran bahwa alam semesta memiliki Pencipta.
Wahyu sebagai penuntun akhir: Menjelaskan sifat-sifat Alloh dan cara beribadah kepada-Nya.

Kesatuan epistemologi: Dalam Islam, akal dan wahyu berasal dari sumber yang sama—Alloh—maka keduanya tidak mungkin bertentangan.

Akal adalah salah satu jalan utama menuju tauhid. Dalam perspektif filosofis, ia membuktikan keberadaan dan keesaan Alloh melalui logika dan pengamatan. Dalam perspektif teologis, ia memperkuat iman dengan memahami dalil wahyu. Keseimbangan antara akal dan wahyu melahirkan keyakinan yang utuh: tauhid yang berlandaskan ilmu.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

*Lulusan Al-Azhar, Kairo-Mesir Jurusan Ilmu Tafsir