Satus Hukum Harta Istri yang Bekerja Sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI): Apakah Suami Berhak atas Uang Gaji Istri?

darulmaarif.net – Indramayu, 07 Mei 2025 | 13.00 WIB

Di era modern, banyak wanita Indonesia, termasuk para ibu rumah tangga, yang memilih menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) demi memperjuangkan kehidupan ekonomi keluarga. Namun, tidak sedikit dari mereka yang justru harus menghadapi kenyataan pahit: jerih payah mereka selama bertahun-tahun habis tak bersisa, bahkan tanpa pertanggungjawaban dari suami.

Lalu muncul pertanyaan krusial: Apakah suami berhak atas hasil kerja istri? Bagaimana hukum Islam memandang tindakan suami yang menghabiskan harta istri tanpa izin? Dan apakah kondisi ini bisa menjadi alasan sah untuk meminta cerai?

Hukum Harta Istri dalam Islam

Secara prinsip, Islam menjamin hak kepemilikan penuh bagi wanita atas hartanya, baik sebelum maupun sesudah menikah. Hal ini ditegaskan oleh mayoritas ulama dari berbagai madzhab, termasuk Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah disebutkan:

“ذهب جمهور الفقهاء – الحنفيّة والشّافعيّة وهو الرّاجح عند الحنابلة – إلى أنّ المرأة البالغة الرّشيدة لها حقّ التّصرّف في مالها، بالتّبرّع، أو المعاوضة، سواء أكانت متزوّجةً، أم غير متزوّجة.”

Artinya: “Wanita dewasa yang cerdas berhak sepenuhnya mentashorrufkan hartanya, baik dengan cara hibah, jual beli, atau lainnya—tanpa harus meminta izin dari suaminya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 2/9428)

Ketika Suami Menghabiskan Uang Istri: Termasuk Kedzoliman

Dalam konteks ini, jika suami menggunakan uang kiriman dari istri yang bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) tanpa izin, atau di luar kesepakatan, maka itu termasuk dalam kategori kedzaliman. Bahkan, jika istri tidak rela, suami wajib menggantinya.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Asna al-Matholib:

“…فَلَيْسَ له مَنْعُهَا من ذلك وَإِنْ قَدَرَتْ على الْإِنْفَاقِ بِمَالِهَا… لِأَنَّهُ إذَا لم يُوَفِّ ما عليه لَا يَمْلِكُ الْحَجْرَ عليها…

Artinya: “Suami tidak boleh menghalangi istri dalam menggunakan hartanya, bahkan jika ia mampu menghidupi dirinya sendiri.” (Asna al-Mathalib, Juz 3/441)

Apakah Istri Boleh Minta Cerai?

Jika suami terus-menerus lalai memberikan nafkah, menggunakan harta istri tanpa izin, dan tidak menunjukkan itikad baik, maka istri memiliki hak untuk mengajukan cerai atau fasakh nikah. Ini ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’:

“وإن اختارت المقام معه على الإعسار ثم عنّ لها أن تفسخ فلها أن تفسخ، لأن النفقة يتجدد وجوبها في كل يوم، فتجدد حق الفسخ…”

Artinya: “Meskipun seorang istri sebelumnya rela bertahan bersama suami yang miskin atau tidak menafkahi, jika kemudian ia ingin berpisah karena terus-menerus tidak mendapatkan haknya, maka ia boleh meminta cerai.”

Antara Hak Istri dan Keutuhan Rumah Tangga

Islam tidak menganjurkan perceraian tanpa alasan yang syar’i. Namun, dalam kasus seperti ini — ketika suami mengabaikan tanggung jawab utama dan justru menyalahgunakan kepercayaan istri — maka keputusan untuk mengakhiri pernikahan bisa menjadi jalan terbaik bagi kebaikan masa depan, termasuk masa depan anak-anak.

Namun sebelum itu, nasihat dan mediasi keluarga tetap dianjurkan. Jika suami masih bisa berubah dan memperbaiki diri, maka mempertahankan rumah tangga adalah pilihan utama. Tapi bila tidak, maka hak istri untuk mempertahankan kehormatannya dan hartanya harus dihormati.

Kesimpulan

  1. Suami tidak berhak atas harta istri tanpa izin yang jelas dari istri.
  2. Istri berhak mengelola hartanya sendiri, termasuk hasil jerih payah sebagai TKW.
  3. Menggunakan harta istri tanpa izin termasuk perbuatan dzolim dan bisa menjadi alasan kuat untuk meminta cerai jika disertai kelalaian nafkah lahiriah.
  4. Perceraian boleh ditempuh dalam kondisi darurat, namun tetap diutamakan musyawarah dan perdamaian.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.