Fiqih Ekologi: Persoalan Pagar Laut dan Hak Kekayaan Sumber Daya Alam

darulmaarif.net – Indramayu, 12 Februari 2025 | 10.00 WIB

Kasus pagar laut Tangerang masih jadi perbincangan hangat di berbagai lini media massa dan sosial media. Kasus pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang memicu terungkapnya sertifikat hak guna bangunan (SHGB) hingga sertifikat hak milik (SHM) di wilayah pesisir lain, seperti di Subang hingga Makassar. Lantas, bagaimana hukum memagari laut hingga penerbitan surat kepemilikan atas laut?

Memagari adalah kata kerja yang memiliki kata dasar pagar. Makna pagar itu sendiri menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah benda yang digunakan untuk membatasi (mengelilingi, menyekat) pekarangan, tanah, rumah, kebun, dan sebagainya. Adapun makna memagari adalah 1). memasangi pagar; contoh: ia memagari pekarangannya dengan bambu; 2). melindungi (supaya jangan diganggu, diserang, dan sebagainya); contoh: pasukan keamanan memagari tamu agung. Adapun makna kata laut adalah kumpulan air asin (dalam jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua atau pulau.

Untuk mengetahui hukum memagari laut, kita harus memahami terlebih dahulu hukum kepemilikan laut. Dalam kitab Hasyiyah al-Jamal dijelaskan bahwa sekalipun air sungai atau laut surut dari tanah atau pasir, wilayah tersebut tetap menjadi haknya umat Muslim dan pemimpin tidak berhak memberikan hak kepemilikan kepada seseorang, baik air maupun pesisirnya.

وَلَوْ انْحَسَرَ مَاءُ النَّهْرِ عَنْ جَانِبٍ مِنْهُ لَمْ يَخْرُجْ عَنْ كَوْنِهِ مِنْ حُقُوقِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ وَلَيْسَ لِلسُّلْطَانِ إقْطَاعُهُ لِأَحَدٍ كَالنَّهْرِ وَحَرِيمِهِ وَلَوْ زَرَعَهُ أَحَدٌ لَزِمَهُ أُجْرَتُهُ لِمَصَالِح الْمُسْلِمِينَ وَيَسْقُطُ عَنْهُ بِقَدْرِ حِصَّتِهِ إنْ كَانَ لَهُ حِصَّتُهُ فِي مَالِ الْمَصَالِحِ نَعَمْ لِلْإِمَامِ دَفْعُهُ لِمَنْ يَرْتَفِقُ بِهِ بِمَا لَا يَضُرُّ الْمُسْلِمِينَ وَمِثْلُهُ مَا يَنْحَسِرُ عَنْهُ الْمَاءُ مِنْ الْجَزَائِرِ فِي الْبَحْرِ وَيَجُوزُ زَرْعُهُ وَنَحْوُهُ لِمَنْ لَمْ يَقْصِدْ إحْيَاءً وَلَا يَجُوزُ فِيهِ الْبِنَاءُ وَلَا الْغِرَاسُ وَلَا مَا يَضُرُّ الْمُسْلِمِينَ

Artinya: “Sekalipun air sungai surut dari tanah atau pasir, wilayah tersebut tetap menjadi haknya umat muslimin dan pemimpin tidak berhak memberikan -hak kepemilikan-kepada seseorang, baik air ataupun pesisirnya. Seandainya seseorang menanam di wilayah tersebut, maka wajib baginya membayar untuk kepentingan umat Muslim, dan gugur bagiannya yang ada di harta mashalih. Adapun pemimpin boleh memberikan izin kepada orang yang ingin mengambil manfaat dari wilayah tersebut, dengan catatan tidak memberikan dampak buruk bagi umat Muslim. Begitupun jika terjadi di perairan laut, boleh menanam, tanpa berniat memiliki wilayah tersebut. Juga tidak boleh membangun bangunan di wilayah pesisir, melempar benih pohon, dan tidak memberikan mudharat bagi umat Muslim.” (Hasyiyah al-Jamal, juz III, hal. 562)

Jika pemanfaatan wilayah pesisir berdampak pada hilangnya ruang pendapatan para nelayan dan rusaknya ekosistem laut, maka hukumnya tidak boleh. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Izzuddin bin abd Salam dalam kitab Al-Ghayah fi Ikhtishari An-Nihayah.

قال الإمام: كلُّ ما أبحناه بشرطِ سلامةِ العاقبةِ كإشراع القوابيلِ فإذا تلف به شيءٌ تبيَّن أنه غيرُ مباحٍ

Artinya: “Imam berkata: segala sesuatu yang kami bolehkan demi kesejahteraan seperti menjulurkan atap rumah di area jalan umum, apabila hal tersebut berdampak buruk, maka statusnya berubah menjadi tidak boleh. (Karya Izzuddin bin Abdus Salam, Al-Ghayah fi Ikhtishari An-Nihayah, halaman 394)

Dari sini kita dapat memahami bahwa wilayah laut adalah milik umum yang tidak boleh dimiliki individu. Berbagai aset atau wilayah yang menjadi kepemilikan umum adalah milik seluruh rakyat, yang mereka memiliki hak yang sama dalam memanfaatkannya tanpa dibedakan keberadaannya apakah dia laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, yang baik maupun yang tidak baik. Karena laut adalah kepemilikan umum, maka negara tidak berhak menjual wilayah laut itu kepada individu atau korporasi, karena pada hakikatnya laut itu bukan milik negara namun milik seluruh rakyat Indonesia.

Aktivitas memagari laut adalah salah satu bentuk dari melakukan proteksi terhadap suatu wilayah tertentu, yang di dalam Islam hal ini tidak boleh dilakukan kecuali oleh negara, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa Rosululloh SAW bersabda:

لاَ حِمَى إِلاَّ لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ

Artinya: “Tidak ada proteksi (hima) kecuali oleh Alloh dan Rosul-Nya.”

Hima’, menurut Fachruddin M. Mangun Wijaya dalam bukunya, Konservasi Alam Dalam Islam adalah suatu kawasan yang khusus dilindungi oleh pemerintah (imam negara atau khalifah) atas dasar syari’at guna melestarikan kehidupan liar serta hutan. Nabi pernah mencagarkan kawasan sekitar Madinah sebagai hima’ guna melindungi lembah, padang rumput dan tumbuhan yang ada di dalamnya. Nabi melarang masyarakat mengolah tanah tersebut karena lahan itu untuk kemaslahatan umum dan kepentingan pelestariannya.

Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah dinyatakan bahwa fiqih Islam mendefinisikan bahwa hima’ adalah seorang pemimpin membatasi akses pada suatu tempat, yang tidak menyebabkan masyarakat memperoleh kesulitan, demi kepentingan umum seperti pengelolaan harta sedekah maupun kuda yang dipergunakan untuk kendaraan. Berdasar fakta bagaimana para khalifah setelah Nabi juga menetapkan kawasan tertentu sebagai hima’, mayoritas Ulama menyatakan bahwa pemimpin selain Nabi Muhammad pun bisa menetapkan suatu tempat sebagai hima’.

Hima’ dapat diputuskan berdasarkan beberapa syarat: 1) Diputuskan seorang pemimpin atau penggantinya; 2) Digunakan untuk kemaslahatan umum; 3) Kawasan yang dijadikan hima’ bukan milik perseorangan; 4) Tidak berdampak penyempitan lahan pada masyarakat. Huk Fiqih juga mengatur bahwa pemanfaatan kawasan hima’ (dalam hal ini pagar laut dan sertifikat tanah) secara ilegal oleh individual dapat mengakibatkan ia memperoleh hukuman.

Kalaupun negara ingin melakukan proteksi terhadap kepemilikan umum, maka tujuan proteksi itu tiada lain adalah untuk kemaslahatan umum, misalnya memproteksi suatu wilayah untuk keperluan jihad, untuk keperluan fakir miskin dan untuk kemaslahatan rakyat secara keseluruhan, tidak seperti proteksi pada masa jahiliyah yaitu memproteksi dengan memberikan hak istimewa dari individu tertentu untuk diproteksi bagi kepentingan dirinya sendiri.

Dari sisi bahwasanya laut adalah kepemilikan umum dan adanya larangan memproteksi suatu wilayah untuk kepentingan individu maka jelas hukum aktivitas memagari laut yang dilakukan selain oleh negara adalah haram. Di sisi lain kita mengetahui bahwa laut adalah tempat para nelayan menggantungkan hidupnya dalam mencari nafkah, jika laut tersebut dipagari dan membuat para nelayan kesulitan mencari nafkah, maka ini akan membahayakan banyak nelayan yang sehari-harinya mencari nafkah dengan mencari ikan dan sebagainya. Dalam hal ini Rosululloh SAW bersabda:

عنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بنِ مَالِكٍ بْنِ سِنَانٍ الخُدْرِيِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: (لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ) حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَه، وَالدَّارَقُطْنِيّ وَغَيْرُهُمَا مُسْنَدًا، وَرَوَاهُ مَالِكٌ في الْمُوَطَّأِ مُرْسَلاً عَنْ عَمْرٍو بْنِ يَحْيَى عَنْ أَبِيْهِ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَسْقَطَ أَبَا سَعِيْدٍ، وَلَهُ طُرُقٌ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضَاً

Artinya: “Dari Abu Said Sa’ad bin Malik bin Sinan Al Khudry rodhlyallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh SAW bersabda: “Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (Hadits hasan diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Ad-Daruquthni dan lainnya dengan sanad bersambung. Diriwayatkan juga oleh Malik dalam Al-Muwatho’ dari Amr bin Yahya dari ayahnya dari Nabi SAW secara mursal karena menggugurkan(tidak menyebutkan) Abu Sa’id. Hadits ini memiliki beberapa jalan yang saling menguatkan)

Maka negara sebagai pengurus urusan rakyat, harus bertindak tegas ketika ada pihak yang memagari laut, negara juga tidak boleh memberikan izin memagari laut karena laut bukanlah milik negara, namun laut adalah milik umum yang setiap individu rakyat berhak untuk memanfaatkannya. Selain itu laut adalah tempat yang menjadi hajat hidup orang banyak yang akan membahayakan banyak pihak jika kemudian laut dipagari atau diproteksi untuk kepentingan individu atau korporasi tertentu.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.