darulmaarif.net – Indramayu, 01 Juli 2024 | 02.00 WIB
Lagi-lagi viral kasus nikah siri di Indonesia. Kali ini, kasus nikah siri justru dilakukan oleh oknum yang menjadi Pengasuh Pondok Pesantren di Desa Sumbermujur, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur pada 15 Agustus 2023 lalu.
Berita ini menjadi geger di jagat maya warganet dan menuai banyak kritik untuk Pondok Pesantren. Pasalnya, yang menjadi korban nikah siri itu adalah salah satu santriwati yang dinikah siri oleh pengasuhnya. Mirisnya, pernikahan siri itu dilakukan tanpa sepengetahuan kedua orangtua nya. Saat kedua orangtua nya tahu kondisi anaknya, hati mereka hancur, pilu dan tentunya sakit hati.
Menyikapi kasus demikian, bagaimana sebetulnya status hukum nikah siri? Dan apakah betul bahwa ajaran Pondok Pesantren melegalkan nikah siri?
Pengertian dan Hukum Nikah Siri
Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan berdasarkan hukum agama, namun tidak tercatat resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Catatan Sipil. Pernikahan dalam hukum Islam maupun Hukum Nasional ditinjau pada tiga hal yaitu, Hukum, Sosial dan Ibadah. Jika ketiganya terpenuhi maka tujuan pernikahan syariat islam tercapai yaitu, sakinah, mawaddah wa rahmah.
Tetapi masyarakat sering malakukan nikah siri dengan alasan menghindari perzinaan dan mengurangi beban wanita sebagai tulang punggung keluarga. Lantas, apakah nikah siri lebih baik dilakukan atau harus dihindari? Berikut perihal hukum dan sikap yang harus dilakukan:
Pada dasarnya nikah siri hukumnya sah jika sudah memenuhi aturan syariat. Pada aturan syariat, pernikahan dianggap sah ketika memenuhi rukun dan syaratnya. Seperti adanya kedua pasangan, wali, saksi, dan lafadz akad. Hadits yang diriwayatkan Ibn Abbas mengatakan:
لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan adanya wali yang membimbing dan dua saksi yang adil”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa, nikah siri masih tergolong dari pernikahan yang sah menurut agama. Namun perlu diperhatikan, nikah siri dianggap haram karena tidak tercatat resmi dan menyalahi Hukum Negara. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menyatakan bahwa: “Tiap-tiap pernikahan harus dicatat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Menurut Hanafiyah yang dimaksud dengan istilah nikah siri adalah sebuah pernikahan yang tidak bisa menghadirkan kedua saksi, adapun jika dalam pernikahan telah dihadiri dua orang saksi maka bukanlah dinamakan nikah sirr melainkan ‘alaniyah pernikahan pada umumnya yang diketahui khalayak ramai. (Wizarah al-Awqaf wa al-Su’un al-Islamiyah, al-Mausu’ah alFiqhiyah al-Kuwaitiyah, (Kuwait: Wizarah al-Awqaf wa al- Su’un al-Islamiyah, 1987), cetakan 1, jilid 41, hlm.301). Tak jauh beda dengan pendapat Hanafiyah, kalangan Madzhab Syafi’iyah juga tidak membolehkan praktik nikah siri.
Nikah siri juga memiliki sisi negatif. Di antaranya adalah tidak ada kejelasan status wanita sebagai istri. Akibatnya, istri tidak bisa menuntut suami ketika terjadi permasalahan pada kedua belah pihak. Begitu juga, status anak akan menjadi samar di mata hukum dan khalayak umum.
Kebanyakan bahaya yang timbul pada pernikahan ini berada di pihak wanita. Dalam Syarah Hadits Arbain dalam Kitab An-Nawawi dijelaskan:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَّمَ : «لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»حَدِيْثٌ حَسَنٌ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالدَّارَقُطْنِيُّ
Artinya: “Rosululloh Saw Bersabda: tidak boleh melakukan yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain.” (HR. Imam Ibnu Majjah dan Daruquthni, Hadist Hasan)
Dari hadis ini, memunculkan kaidah fikih yaitu,
الضَرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu dihilangkan”
Maksudnya adalah setiap perkara yang menimbulkan bahaya, baik pada diri sendiri maupun orang lain, maka wajib ditiadakan. Oleh karena itu, nikah siri hukumya haram jika menimbulkan dloror (bahaya). Dan sebaiknya pernikahan ini dihindari jika tidak ada keperluan yang mendesak demi menjaga kemaslahatan warga negara dan Hukum Negara.
Apakah Nikah Siri Ajaran Pesantren?
Sejauh pengamatan penulis, meski hukum nikah siri dilegalkan dan sah menurut hukum syari’at Islam, status nikah siri tetap dihukumi haram. Karena menimbulkan bahaya yang lebih besar daripada maslahatnya. Sedangkan Islam datang sebagai agama yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan umatnya, termasuk dalam hal pernikahan. Faktanya, kasus nikah siri yang dilakukan oleh pengasuh Pondok Pesantren di Lumajang itu merugikan kedua orangtua santriwati yang menjadi korban oknum agamawan berkedok wajah agama.
Kesimpulannya, nikah siri sah menurut hukum fikih, tetapi haram dilakukan karena banyak madlorotnya. Jelasnya, Pondok Pesantren Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tidak pernah mengajarkan para santri nya untuk nikah siri. Nikah harus dilakukan secara jahr, atau terang-terangan dan lebih-lebih mendapat restu dari kedua orangtuanya. Hati orangtua mana yang tidak remuk dan hancur melihat anaknya dinikah tanpa sepengetahuan mereka?
Untuk itu, bagi orangtua di manapun hendaknya berhati-hati memilih Pondok Pesantren untuk anak-anaknya. Kenali betul seluk-beluk ideologi Pondok Pesantren tersebut sebelum memutuskan untuk memasukkan anak-anak kita ke Pesantren.
Semoga kasus nikah siri ini menjadi pelajaran dan hikmah bagi kita semua bahwa, sebagai orangtua kita tentu nya berharap anak-anak kita mengerti ilmu agama yang baik dan benar, tetapi jangan asal memasukkan anak ke Pondok Pesantren tanpa kita tau seluk-beluk Pesantren tersebut.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.