darulmaarif.net – Indramayu, 16 April 2023 | 23.00 WIB
Orang sering bertanya mengenai apa itu Lailatul Qodar? Mungkin sebagian dari kita juga bertany-tanya kapan terjadinya waktu lailatul Qodar? Ada ragam pendapat dan Tafsir mengenai Lailatul Qodar. Namun, yang paling berbeda da eksentrik adalah penafsiran Lailatul Qodar menurut Imam Ibnu ‘Aroby.
Dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H / 28 Juli 1165 M di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Kelahiran Imam Ibnu ‘Aroby sudah sangat spesial, karena tanggal kelahirannya bertepatan dengan tanggal ketika ayat pertama Al-Quran diturunkan. Di saat yang sama lahir kelahirannya bertepatan dengan tahun wafat Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa ia memang dilahirkan untuk menggantikan sufi besar yang dikenal di dunia sebagai kekasih Alloh tersebut.
Beliau bernama lengkap Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn Hatim al-Tha’i al-Andalusi. ‘Abdullah yang disebut terakhir adalah saudara kandung dari ‘Adi ibn Hatim al-Tha’i; salah seorang sufi kenamaan. Kunyah Ibn ‘Aroby dikenal dengan sebutan Abu Bakar, atau Abu Muhammad atau Abu ‘Abdillah. Garis keturunan beliau yang berasal dari kabilah Thai’, satu kabilah yang sangat mashur, dapat kita ketahui bahwa beliau benar-benar seorang yang berasal dari keturunan Arab. (Kasyfudz Zhanun, juz 6, hal. 91. Lihat pula al-Sya’rani, al-Thabaqat al-Kubra, juz 1, hal. 217)
Beliau memiliki banyak karya. Selain kitab masterpiece Fushusul Hikam dan Futuhatul Makkiyyah, beliau ‘allamah juga menulis sebuah Tafsir Qur’an berupa Tafsir Isyari. Tafsir ini berbeda dengan tafsir-tafsir lain pada umumnya.
Dalam menafsirkan Al Qur’an, para Ulama biasanya membaginya dalam tiga cara. Pertama, menafsirkan Al Qur’an dengan merujuk pada riwayat (tafsir bil Ma’tsur). Kedua menafsirkan dengan menggunakan nalar (tafsir bir Ro’yi), dan ketiga dengan menarik makna dari kesan yang diperoleh dari teks (tafsir Isyari).
Tafsir Isyari atau biasa disebut dengan tafsir sufi. Tafsir ini adalah upaya seorang mufassir -biasanya dari kalangan sufi yang sering riyadhah- untuk menangkap makna dari ayat Al-Qur’an berdasarkan dzauq (intuisinya), tapi bukan makna yang lahir atau jelas, melainkan makna yang lain.
Imam Taftazani sebagaimana dikutip oleh Imam Suyuthi dalam Al-Itqoon fii ‘Ulumil Qur’an berkata:
وأما يذهب إليه بعض المحققين من أن النصوص على ظواهرها ومع ذلك فيها إشارات خفية إلى دقائق تنكشف على أرباب السلوك يمكن التطبيق بينها وبين الظواهر المرادة فهو من كمال الإيمان ومحض العرفان.
Artinya: “Pendapat sebagian Ulama hakikat (para peneliti), bahwa teks (nushus) itu mempunyai makna lahir (dzahir), tetapi di saat yang sama di dalamnya juga terdapat isyarat (arti) yang tersembunyi dan lembut, yang bisa terkuak oleh kaum sufi, serta dimungkinkan penerapan antara makna yang tersembunyi tersebut dengan makna lahir yang dikehendaki, maka yang demikian itu merupakan kesempurnaan iman dan makrifat yang hakiki.”
Para Sufi pada umumnya berpedoman pada hadits baginda Rosulullah Saw:
ابن مسعود قال قال رسول الله: أُنزِل القرآنُ على سبعةِ أحرُفٍ، لكلِّ آيةٍ منها ظهرٌ وبطنٌ ، ولكلٍّ حدٌّ ومَطلَعٌ. رواه بن حبان والطبراني
Artinya: “Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rosululloh Saw bersabda: ‘Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf. Setiap ayat itu mempunyai makna dzohir dan batin, dan setiap huruf itu mempunyai batasan dan setiap batasan ada tempat melihatnya.'” (HR. Imam Ibnu Hibban dan Ath-Thobaroni)
Dalam surat Al-Qodr, Imam Ibnu ‘Aroby menafsirkan surat ini dan tanggapan beliau mengenai Lailatul Qodar sangat jauh berbeda dengan pandangan umum yang selama ini kita yakini tentang Lailatul Qodar. Dalam perspektifnya, Lailatul Qodar bukanlah makna dzohir malam seribu bulan seperti pada umumnya yang diapahami oleh mayoritas umat Islam. Menurut beliau, Lailatul Qodar bermakna majazi (kiasan) yaitu “tubuh muhammadiyyah” (al-binyah al-muḥammadiyyah) pada saat beliau terhijab di dalam maqom hati setelah beliau mencapai penyaksian “Dzat” (al-syuhūdudz dzātiyy).
Berikut Tafsir lengkap Imam Ibnu ‘Aroby terkait surat Al-Qodr ayat 1-5.
بسم اللّه الرّحمن الرّحيم
(إِنَّآ أَنزَلْنَٰهُ فِى لَيْلَةِ ٱلْقَدْرِ) ليلة القدر هى البنية المحمّدية حال احتجابه عليه السّلام فى مقام القلب بعد الشّهود الذّاتى لأنّ الإنزال لا يمكن إلا فى هذه البنية فى هذه الحالة والقدر هو خطره عليه السّلام وشرفه إذ لا يظهر قدره ولا يعرفه هو إلا فيها ثمّ عظمه بقوله (وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ) أى أيّ شيء عرفك كنه قدرها وشرفها (لَيْلَةُ ٱلْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ) قد موّات اليوم يعبر به عن الحادث كقوله وذكرهم بأيّام اللّه فكل كائن يوم وإذا بني على هذه الإستعارة كان كل نوع شهرا لإشتماله على الأيّام واللّيالى إشتمال النّوع على الأشخاص وكل جنس سنة لإشتمالها على الشّهور إشتمال الجنس على الأنواع والألف هو العدد التّام الذى لاكثرة فوقه إلّا بالّتكرار والإضافة فيكنى به عن الكل أى هذه الشّخص وحده خير من كل الأنواع ثمّ بين وجه تفضيله وسبب خيريّته فقال (تَنَزَّلُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ وَٱلرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ) أى من جهّة كل أمر هو معرفة جميع الأشياء ووجوداتها وذواتها وصفاتها وخواصها وأحكامها وأحوالها وتدبيرها وتسخيرها (سَلَٰمٌ هِىَ) سلامة عن جميع النقائص والعيوب (حَتَّىٰ) وقت طلوع الفجر الشّمس الطالعة من مغربها وقرب الموت فحينئذ لاتكون سلامة أى سالمة أوسلام فى نفسها لكثرة السّلام عليها من اللّه والملائكة والنّاس أجمعين (مَطْلَعِ ٱلْفَجْرِ). (تفسير القرأن: ٤٠٥ – ٤٠٦)
Artinya:
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
Dengan nama Alloh, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ
وَ مَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ
1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan.
2. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
3. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.
Inna anzalnahu fii lailat-il-qodr (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [Al-Qur’an] pada malam kemuliaan [lailat-ul-qodr] – ayat 1). Yang dimaksud lailat-ul-qodr atau malam kemuliaan adalah “tubuh muhammadiyyah” (al-binyah al-muhammadiyyah) pada saat beliau terhijab didalam maqom hati setelah beliau mencapai penyaksian “Dzat” (al-syuhūd al-dzātiyy). Alasannya, karena sesungguhnya penurunan ayat tak mungkin terjadi kecuali dalam “tubuh” ini, di dalam keadaan seperti itu. Sedangkan yang dimaksud al-qodr adalah kemuliaan beliau. Sebab, tidak akan muncul kemuliaannya dan tidak akan diketahui oleh beliau kecuali dalam tubuh itu. Kemudian Alloh mengagungkan “tubuh” itu dengan firman-Nya: Dan peringatkanlah mereka dengan hari-hari Alloh (Ibrāhīm 14: 5). Sebab, segala sesuatu yang ada pada dasarnya adalah dari Alloh.
Nah jika dalam ayat di atas (Ibrāhīm 14: 5) Alloh telah menjamin (isti‘ārah) kata “hari-hari Alloh” untuk memaksudkan ragam individualitas (أشخاص) dari segala sesuatu yang ada, maka setiap species (نوع) yang mencakup beberapa individualitas, secara metaforis, bisa pula disebut “bulan”. Alasannya, karena bulan mencakup hari, seperti halnya spesies (نوع) mencakup ragam individu. Lebih lanjut, setiap genus (جنس) bisa pula disebut tahun, karena tahun mencakup bulan, seperti halnya genus (جنس) mencakup spesies (نوع). Sementara itu, kata seribu (ألف) adalah bilangan paling besar, yang tidak ada bilangan yang lebih besar lagi kecuali dengan mengulang kata seribu itu atau dengan idhofat (Dalam bahasa Arab klasik, tidak ada bilangan yang lebih besar dari seribu, kecuali kalau kata seribu itu diulang-ulang atau digabungkan (idhofat) dengan kata lain. Misalnya, untuk menyebut angka sejuta, orang ‘Arab mengatakan alfu alfin [“seribu ribu”, yang berarti sejuta] – pent.).
Karena itu, kata seribu (ألف) dijadikan kata kiasan untuk menunjukkan universalitas (artinya, seribu adalah kiasan dari universalitas yang mencakup segala sesuatu – pen.). Jadi, kata seribu dalam ayat: Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan (lailat-ul-qodr khoirum min alfi syahr – ayat 3), secara kiasan bisa pula berarti universalitas yang mencakup segala sesuatu. Maka dari itu, ayat tiga ini secara keseluruhan bisa pula berarti: Pribadi atau individu (شخص) Muḥammad sendiri lebih baik dari segala spesies alam semesta ini.
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَ الرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّنْ كُلِّ أَمْرٍ
سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
4. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
5. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Setelah itu, Alloh menjelaskan segi-segi keutamaan pribadi itu dan sebab-sebab kebaikannya. Alloh berfirman: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan (tanazzalu al-malaikatu war-rūḥ fiha bi idzni rabbihim min kulli amr – ayat 4). Maksudnya, ke dalam pribadi itu turun daya-daya ruhani dan nafsani, bahkan malakut samawi dan bumi, dan ruh dari segala perkara [min kulli amr]. Lebih jelasnya, seluruh sisi dari segala perkara telah diketahuinya: mulai dari wujud, dzat, sifat, watak, hukum-hukum ajeg, keadaan, pengelolaan dan penggunaannya.
Salamun hiya (Malam [“tubuh Muḥammad”] itu [penuh] keselamatan – ayat 5) dari segala kekurangan dan cacat. Sampai [hatta] waktu terbitnya “matahari” ruh dari tempat terbenamnya, yakni sampai waktu menjelang maut, sebab pada saat itu tubuhnya tidak lagi selamat. Atau bisa juga ayat itu berarti: Keselamatanlah pada pribadinya karena banyaknya salam yang disampaikan kepadanya, dari Alloh, seluruh malaikat dan manusia.
Kesimpulannya:
Dalam pandangan Imam Ibnu ‘Aroby, Lailatul Qodar adalah Tubuh Muhammadiyyah, yaitu perjalanan spiritual Nabi Muhammad setelah melewati fase musyahadah fidz Dzat (penyaksian didalam Dzat Alloh). Dalam pandangan Imam Ibnu ‘Aroby, Lailatul Qodar yang disebut sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan adalah bahwa baginda Nabi Muhammad Saw beserta kemuliaannya adalah satu-satunya makhluk sempurna yang tiada cacat dan kekurangan sedikitpun, sehingga beliau menjadi satu-satunya makhluk di alam semesta yang tiada satupun makhluk yang dapat mencapai ketinggian dan keluhuran derajat maqom Nabi Muhammad Saw disisi Tuhannya.
Sholawat beserta salam semoga senantiasa tetap Allih curah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw, Sang Pelita Agung di tengah-tengah gelapnya dunia, Cahaya diatas cahaya. Dan kita sebagai ummatnya, semoga sepercik cahayanya menembus dan menyibak kegelapan hati kita semua yang banyak berlumur salah dan dosa. Di Ramadhan tahun ini dan seterusnya, semoga sholawat kita kepada baginda Nabi Muhammad Saw tak pernah putus. Amiin yaa Robbal ‘Aalamiin.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam bishowab.