darulmaarif.net – Indramayu, 10 November 2022 | 16.00 WIB
Dalam Kitab Qurrotul ‘Uyun yang dianggit oleh Syekh Muhammad At-Tihami bin Al-Madani Kanun menjelaskan secara detail bagaimana adab dan cara terbaik dalam jima’ (bersetubuh).
Seorang suami yang hendak menyetubuhi istrinya dianjurkan untuk bercumbu dan didahului mencium kening, pipi kanan-kiri, bibir dan dada istrinya. Syeikh Ibnu Yaman mengatakan, apabila jima’ tidak didahului dengan bermain-main (bercumbu rayu) terlebih dahulu, maka hal itu dapat menyebabkan percekcokan dan perselisihan. Bahkan bisa menyebabkan anak yang terlahir dalam keadaan bodoh dan lemah otaknya.
Hal itu sebagaimana dijelaskan dalam Kitab An-Nashihah bahwa suami yang melakukan pemanasan (cumbu raya) akan mendapat pahala besar. Dari Sayyidah Aisyah radhiallohu’anha berkata, bahwa Nabi SAW bersabda:
يَقَعَنَّ اَحَدُكُمْ عَلَى امْرَأَتِهِ كَمَا تَقَعُ الْبَهِيْمَةُ. لِيَكُنْ بَيْنَهُمَا رَسُوْلٌ. قِيْلَ: وَمَا الرَّسُوْلُ؟ قَالَ: اَلْقُبْلَةُ وَالْكَلَامُ. (رواه الديلمى)
“Janganlah salah seorang dari kalian mengumpuli istrinya seperti binatang mengumpuli. Hendaklah ada utusan antara mereka.” Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud utusan itu?” Beliau bersabda: “Mencium dan bercanda.” (HR. Ad-Daylami)
Kemudian, syariat juga melarang melakukan jima’ ketika istri haidl dan nifas serta sempitnya waktu salat fardu. Larangan berjima’ ketika istri sedang haidl disebutkan dalam Al-Qur’an :
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid, katakanlah bahwa darah haid itu adalah kotoran (najis) maka jauhilah para istri ketika sedang haidl; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 222)
Di antara tata krama jima’ lainnya adalah dilakukan setelah perut terasa ringan dan tubuh benar-benar segar. Karena senggama dalam keadaan perut kenyang dapat menimbulkan rasa sakit, mengundang penyakit tulang, dan lain-lain. Karena itu, bagi orang yang ingin menjaga kesehatan, hal-hal seperti itu sebaiknya dihindari. Disebutkan, ada tiga perkara yang terkadang dapat mematikan seseorang, yaitu:
- Bersetubuh dalam keadaan lapar;
- Bersetubuh dalam keadaan sangat kenyang;
- Bersetubuh setelah makan ikan dendeng kering.
Syeikh Penadzom kitab menjelaskan, sesungguhnya jima’ diperbolehkan dalam segala sifat (gaya) sebagaiman firman Allah Ta’ala: “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu bagaimana saja yang kamu sukai..” (Q.S. Al-Baqarah : 223). Namun, para ulama menganjurkan untuk menjauhi jima’ dalam keadaan berdiri.
Sayyidina Ali bin Abi Tholib karomallohuwajhah berkata: “Istri itu laksana tunggangan suami, kapan saja suami boleh menaikinya. Akan tetapi sifat yang paling disukai adalah naik ke atas istri dengan perlahan dan lemah lembut”. Meski begitu, dibolehkan dengan jima’ dengan gaya yang lain, seperti dari arah belakang, tapi tetap dari farji (lubang vagina), bukan dari dubur (lubang anus).
Jima’ dihindari dalam keadaan berdiri, karena dapat membuat ginjal dan bersendian menjadi lemah. Begitu juga dalam keadaan duduk, dapat menyebabkan sakit ginjal, perut dan urat, dan juga dapat mempercepat timbulnya luka baru. Sedangkan dalam keadaan miring dapat membahayakan pantat. Selain itu, hendaklah dihindari posisi istri di atas suami (women on top), karena hal itu dapat menyebabkan sakitnya saluran kencing dan buah zakar (testis).
Syeikh Ibnu Yamun mengatakan, posisi paling baik dalam berjima’ adalah istri dalam keadaan terlentang dengan mengangkat (meninggikan) kedua kakinya. Karena gaya seperti itu adalah gaya bercinta yang paling baik. Ibnu Yamun juga berkata: “Hindarilah memandang farji (kemaluan) masing-masing serta bercakap-cakap ketika sedang bersetubuh”.
Adapaun liwath, yaitu jima’ melalui lubang dubur dilarang dalam syariat, dan orang yang melakukannya akan dilaknat. Kemudian, diharamkan bagi suami menjima’ istrinya sambil menghayalkan perempuan lain, karena yang demikian itu sama halnya dengan zina.
Setelah selesai berjima’, suami istri disunnahkan mencuci kemaluannya dan berwudhu ketika hendak tidur. Alangkah baiknya jika sanggup untuk mandi besar terlebih dahulu, karena mandi besar setelah jima’ dapat membuat tubuh segar dan suci dari hadats besar.
Wallohu a’lam.