darulmaarif.net – Indramayu, 23 September 2025 | 08.00 WIB
Di tengah derasnya arus pembahasan psikologi modern, istilah inner child atau “anak batin” semakin sering diperbincangkan. Konsep ini mengacu pada sisi dalam diri manusia yang menyimpan rekaman pengalaman masa kecil—baik luka penolakan, rasa tidak dihargai, maupun trauma mendalam—yang kerap terbawa hingga dewasa dan memengaruhi cara seseorang berhubungan dengan dirinya sendiri, orang lain, bahkan dengan Tuhannya.
Meski istilah ini lahir dari tradisi psikologi Barat, sejatinya Islam telah lebih dahulu memberikan kerangka spiritual yang paralel melalui kajian qalb (hati), nafs (jiwa), serta urgensi tazkiyatun nafs (penyucian diri).
Para ulama besar seperti Imam Al-Ghozali dan Ibnul Qoyyim menegaskan bahwa hati manusia bisa sakit sebagaimana tubuh, dan satu-satunya obat sejati adalah kedekatan dengan Alloh SWT melalui terapi Al-Qur’an, dzikir, dan taubat.
Dengan demikian, membicarakan inner child dalam perspektif Islam bukan sekadar mengadopsi istilah psikologi modern, melainkan upaya menghubungkannya dengan khazanah klasik yang kaya, agar luka batin menjadi jalan menuju penyembuhan ruhani dan ketenangan hati. Dalam Iḥyāʾ ʿUlūmid Dīn misalnya, Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali menjelaskan:
القلب مثل المرآة، والأذْناب كالصَّدأ، فإذا أُهمِلَتْ وتراكَمَتْ صارت حجابًا بين العبد وبين معرفة الحق.
Artinya: “Hati itu ibarat cermin, sementara dosa-dosa seperti karat. Jika dibiarkan dan menumpuk, ia menjadi penghalang antara hamba dan pengetahuan tentang kebenaran.”(Al-Ghozali, Iḥyāʾ ʿUlūmid Dīn, Juz 3, Kitāb ʿAjāʾib al-Qalb, Beirut: Dār al-Maʿrifah, 2005, h. 3)
Dengan kata lain, luka batin masa kecil bisa menjadi “karat” yang menutupi hati, sehingga seseorang sulit merasakan kasih sayang Alloh SWT. Dalam Al-Qur’an sendiri, Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا.
Artinya: “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isrāʾ Ayat 82)
Firman-Nya yang lain:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Wahai manusia, sungguh telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang beriman.” (QS. Yūnus Ayat 57)
Maka, membaca Al-Qur’an bukan hanya berpahala, tetapi juga terapi jiwa. Dalam hadits, Rosululloh SAW bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
Artinya: “Tidaklah Alloh menurunkan suatu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obatnya.” (HR. Imam al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, no. 5678, Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 1422 H, Juz 7, h. 172)
Dalam riwayat lain, Nabi SAW setiap malam membaca surat al-Ikhlāṣ, al-Falaq, dan al-Nās sebagai ruqyah:
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ، ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا، فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ، وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ، وَقُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ، ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ…
Artinya: “Sesungguhnya Nabi SAW apabila hendak tidur setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya, lalu meniupnya dan membaca surat al-Ikhlāṣ, al-Falaq, dan al-Nās, kemudian mengusap dengan keduanya bagian tubuh yang dapat dijangkau…” (HR. Imam al-Bukhorī, Shahih al-Bukhori, Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 1422 H, Juz 6, h. 227)
Imam Al-Ghozali berkata:
القلب إذا صَحَّ صَحَّ البدن كله، وإذا فَسَدَ فَسَدَ البدن كله
Artinya: “Jika hati baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika hati rusak, maka rusaklah seluruh tubuh.” (Abu Hamid Muhammad Al-Ghozali, Iḥyāʾ ʿUlūm ad-Dīn, Juz 3, Beirut: Dār al-Maʿrifah, 2005, h. 5)
Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah juga menegaskan:
إِنَّ فِي الْقَلْبِ شَعَثًا لَا يَلُمُّهُ إِلَّا الْإِقْبَالُ عَلَى اللَّهِ، وَفِيهِ وَحْشَةً لَا يُزِيلُهَا إِلَّا الْأُنْسُ بِهِ فِي خَلْوَتِهِ…
Artinya: “Sesungguhnya di dalam hati ada keretakan yang tidak bisa disatukan kecuali dengan kembali kepada Alloh. Di dalam hati ada rasa sepi yang tidak bisa dihapus kecuali dengan merasa dekat dengan-Nya dalam kesendirian…” (Ibn al-Qoyyim al-Jauzy, Zād al-Maʿād fī Hadyi Khayr al-ʿIbād, Beirut: Dār al-Kutub al-ʿIlmiyyah, 1994, Juz 2, h. 23)
Langkah Praktis Atasi Inner Child secara Islami
- Mengenali luka
Tuliskan pengalaman yang membuatmu terluka. Imam Abu Hamid Muhammas Al-Ghozali menekankan pentingnya mengenali penyakit hati sebelum mengobatinya.
- Tilawah penyembuh
Rutin membaca QS. Al-Isrāʾ: 82, QS. Yūnus: 57, serta al-Muʿawwidzātain (al-Falaq & al-Nās).
- Dzikir & sholat sunnah
Lakukan dzikir pagi-petang, rutin sholat tahajjud, dan perbanyak istighfar.
- Ruqyah syar’iyyah
Lakukan ruqyah dengan membaca doa Nabi SAW atau meminta bantuan ulama atau ustadz terpercaya.
- Reparenting Islami
Bangun lingkungan baru yang penuh kasih sayang: keluarga, komunitas teman, lingkungan kerja, guru ruhani, dan sebagainya.
- Terapi profesional
Islam mendorong ikhtiar. Menggabungkan konseling psikologis dengan dzikir akan lebih efektif.
Menyembuhkan inner child yang terluka dalam Islam bukan sekadar soal psikologi modern, tetapi bagian dari perjalanan spiritual: membersihkan hati, mendekatkan diri pada Alloh, dan meneladani Baginda Nabi muhammad SAW. Dengan Al-Qur’an, doa, dzikir, bimbingan ulama, dan ikhtiar profesional para Psikolog, luka batin bisa berubah menjadi sumber kekuatan dan kedekatan kembali dengan Alloh SWT.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.