darulmaarif.net – Indramayu, 11 September 2025 | 08.00 WIB
Penulis: Usth. Dyah Safitri A.J, S.Pd.
Di tengah derasnya arus modernitas hari ini, kita melihat dua fenomena yang tampak berseberangan. Di satu sisi, banyak anak muda mencari ketenangan batin lewat dzikir, meditasi Islami, dan majelis-majelis tasawuf. Mereka haus akan kedamaian spiritual di tengah hiruk-pikuk dunia digital. Namun di sisi lain, tak sedikit juga yang terjun ke lapangan: berjuang melawan ketidakadilan, advokasi sosial, dan membela kelompok rentan. Pertanyaannya, apakah sufisme (tasawuf) dan aktivisme adalah dua jalan yang berbeda, bahkan bertentangan? Atau jangan-jangan keduanya sebenarnya adalah satu jalan yang saling menguatkan?
Sufisme: Kedalaman Spiritual yang Menjernihkan Jiwa
Tasawuf lahir dari semangat zuhud para sahabat dan tabi‘in. Ia bukan sekadar praktik ritual, melainkan latihan batin untuk membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs) dan mencapai ma‘rifah—pengetahuan yang intim tentang Alloh. Al-Qur’an menegaskan:
الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُوْنَ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Alloh sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau. Lindungilah kami dari adzab neraka…” (QS. Ali Imran Ayat 191)
Ayat ini menyingkapkan inti dari sufisme: dzikir dan kontemplasi yang mendalam.
Hadis tentang ihsan juga menjadi fondasi Sufisme:
قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya: “Nabi bersabda: ‘Engkau beribadah kepada Alloh seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu’.” (HR. Imam Muslim)
Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din (juz III, hlm. 17, Dar al-Ma‘rifah, Beirut) menjelaskan bahwa inti tasawuf adalah membersihkan hati dari penyakit riya, ujub, dan cinta dunia, lalu menggantinya dengan cahaya dzikir. Baginya, tanpa akhlak sufi, ibadah hanya menjadi rutinitas kosong.
Aktivisme: Menghidupkan Semangat Perubahan Sosial
Di sisi lain, Islam juga mewajibkan keterlibatan sosial. Aktivisme bukan sekadar aksi politik, tetapi meliputi upaya membela keadilan, menolong yang lemah, dan memperbaiki masyarakat. Dalam Firman-Nya, Alloh SWT menegaskan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَنْ يَّرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهٖ فَسَوْفَ يَأْتِى اللّٰهُ بِقَوْمٍ يُّحِبُّهُمْ وَيُحِبُّوْنَهٗٓۙ اَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اَعِزَّةٍ عَلَى الْكٰفِرِيْنَۖ يُجَاهِدُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا يَخَافُوْنَ لَوْمَةَ لَاۤىِٕمٍۗ ذٰلِكَ فَضْلُ اللّٰهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka Alloh akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin dan bersikap tegas terhadap orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Alloh dan tidak takut pada celaan orang yang mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki. Alloh Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Maidah Ayat 54)
Ayat ini menggambarkan sosok mukmin sejati: tegas melawan kebatilan, penuh kasih kepada sesama, dan kokoh dalam perjuangan.
Imam Nawawi dalam al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab (juz XIX, hlm. 436, Dar al-Fikr, Beirut) menekankan bahwa amar ma‘ruf nahi munkar adalah kewajiban kolektif yang harus hidup dalam masyarakat. Diam terhadap kemungkaran, menurut beliau, adalah tanda lemahnya iman.
Titik Temu: Neo-Sufisme dan Aktivisme Sosial
Dalam perkembangan modern, muncul gagasan yang disebut Neo-Sufisme. Gerakan ini tidak melihat tasawuf sebagai pelarian dari dunia, melainkan sebagai kekuatan batin untuk menghadapi realitas sosial yang terjadi. Tokoh seperti Ali Shariati dan Seyyed Hossein Nasr menekankan bahwa dzikir bukan penghalang bagi gerakan sosial, justru ia menjadi sumber energi untuk melawan ketidakadilan.
Pandangan ini sejalan dengan ulama Nusantara. Istilah “mistisisme heterodoks” pertama kali disebut oleh Drewes dalam makalahnya, “Indonesia: Mistisisme dan Aktivisme” yang mungkin mengacu pada model sufisme “campuran” yang menggabungkan berbagai macam paham pemikiran Islam yang melahirkan corak tarekat atau aliran sufisme yang khas.
Pada kenyataannya, perkembangan tarekat di Indonesia—yang kini sudah tergabung dalam suatu wadah sufi internasional—memang tidak hanya menarik bagi para peneliti, tetapi juga kerap “dimanfaatkan” oleh penguasa sebagai bagian dari “dukungan” politik. Praktik keagamaan Islam yang menggabungkan aspek-aspek syariat dan kontemplasi ini, sekalipun tampak jarang muncul ke permukaan, namun tetap dipandang sebagai unsur menentukan terutama dalam setiap kontestasi politik.
Para pengkaji sejarah Islam Indonesia, tentu akan gagal memahami jika tak menyertakan gerakan tarekat yang hidup bersama realitas keberagamaan masyarakatnya. Maka wajar, jika Indonesia kerap menjadi tuan rumah bagi berbagai perhelatan sufisme internasional, sebab di sinilah tokoh-tokoh sufisme lahir dan dikenal seluruh dunia.
Cukup sulit rasanya memisahkan realitas kesalehan mistik dengan militansi politik—terutama dalam makna yang lebih artifisial—di mana kenyataan corak sufisme belakangan justru lebih “modern” yang selalu saja menghubungkan suatu kesalehan mistik yang bersifat pribadi dan kenyataan-kenyataan sosial-politik yang sulit dihindari.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani, dalam al-Fath al-Rabbani (hlm. 142, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut), menegaskan bahwa seorang sufi sejati tidak boleh hanya sibuk dengan dzikir, tetapi juga harus hadir untuk menolong masyarakat. “Orang yang paling dicintai Alloh,” katanya, “adalah mereka yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.”
Lebih tegas lagi, KH. Hasyim Asy‘ari dalam Adab al-‘Alim wa al-Muta‘allim (hlm. 24, Maktabah al-Turats al-Islami, Jombang) mengingatkan bahwa ilmu dan ibadah tanpa pengabdian sosial ibarat pohon tanpa buah: indah dipandang, tapi tidak memberi manfaat nyata.
Dua Jalan yang Menyatu
Jika ditelaah, sufisme dan aktivisme ibarat dua sisi mata uang. Sufisme memberi kedalaman spiritual, membersihkan hati dari kerak ego dan cinta dunia. Aktivisme memberi arah sosial, menjadikan cinta Ilahi bukan hanya milik pribadi, melainkan cahaya yang menerangi masyarakat.
Ketika keduanya dipadukan, lahirlah Islam yang penuh cinta sekaligus penuh keberanian. Islam yang mampu menentramkan jiwa, sekaligus mengubah realitas sosial.
Namun, mari kita renungkan bersama: apakah kita selama ini lebih condong menjadi “sufi yang menyepi” atau “aktivis yang sibuk berlari”? Atau justru saatnya kita belajar merajut keduanya dalam satu jalan yang utuh?
Semoga bermanfaat. Wallohu a‘lam.