Sering Terjadi! Ini Kekhawatiran Wali Santri atas Pergaulan Anak di Pesantren

darulmaarif.net – Indramayu, 20 Mei 2025 | 09.00 WIB

Pondok Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, telah menjadi pilihan utama banyak orang tua dalam mendidik anak-anak mereka agar menjadi pribadi yang shalih dan berilmu. Namun, tidak sedikit wali santri yang menyimpan kekhawatiran terhadap pergaulan anak mereka di lingkungan pondok. Kekhawatiran ini berangkat dari berbagai fenomena seperti kasus bullying, kenakalan remaja, atau pengaruh negatif dari sesama santri. Artikel ini bertujuan meninjau persoalan yang menjadi problem dilematis wali santri terhadap anaknya di pesantren.

Realitas Kekhawatiran Wali Santri

Kekhawatiran terhadap pergaulan merupakan bentuk ghirah (rasa cemburu dan tanggung jawab) orang tua terhadap kehormatan dan masa depan anak. Dalam banyak kasus, para wali merasa kehilangan kendali atas pengawasan ketika anak tinggal di pesantren. Ini adalah hal wajar, sebab dalam jiwa orang tua terdapat amanah ilahiyah yang besar: menjaga dan membimbing anak-anak mereka sebagaimana dalam QS At-Tahrim ayat 6:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا.. الأية (التحريم ٦)

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS. At-Tahrim Ayat 6)

Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya Al Jami’ li Ahkam al-Qur’an mengatakan, pada firman Alloh ini terdapat satu masalah, yaitu perintah agar manusia memelihara dirinya dan keluarganya dari neraka. Adh-Dhahhak berkata, “Makna firman Allah itu adalah: peliharalah (oleh kalian) diri kalian. Adapun keluarga kalian, hendaklah mereka memelihara diri mereka dari neraka.” Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas: “Peliharalah diri kalian, dan perintahkanlah keluarga kalian berdzikir dan berdoa, Alloh memelihara mereka karena kalian (dari api neraka).” Dengan demikian, seseorang harus memperbaiki dirinya sendiri dengan melakukan ketaatan, dan juga memperbaiki keluarganya layaknya seorang pemimpin memperbaiki orang yang dipimpinnya.

Pergaulan dalam Pandangan Islam

Dalam Islam, pergaulan sangat memengaruhi akhlak dan moral seseorang. Rasulullah SAW bersabda:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أَن النبيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ:«الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُر أَحَدُكُم مَنْ يُخَالِل.

Artinya: “Abu Hurairah Rodliyallohu ‘anhu- meriwayatkan bahwasanya Nabi SAW bersabda,”Seseorang itu tergantung agama teman dekatnya. Oleh karena itu, hendaklah kalian memperhatikan siapa yang dijadikan sebagai teman dekat.” (HR. Imam At-Tirmidzi)

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din (juz 3) menekankan pentingnya memilih sahabat, karena teman dapat menjadi penolong menuju kebajikan atau sebaliknya, jalan menuju kehancuran.

Maka, wajar jika wali santri menginginkan lingkungan pesantren yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dengan pengawasan dan bimbingan pergaulan yang intensif.

Pandangan Para Ulama

Dalam Al-Hikam karya Ibn Athaillah disebutkan bahwa memilih teman harus selektif, yang dapat mendekatkan diri kita kepada Alloh.

لَا تَصْحَبْ مَنْ لَا يُنْهِضُكَ حَالُهُ وَلَا يَدُلُّكَ عَلَى اللهِ مَقَالُهُ

Artinya: “Jangan berteman (bergaul) dengan orang yang tingkah lakunya tidak membangkitkanmu (untuk meraih ridha Alloh) dan ucapannya tidak menunjukkanmu kepada Alloh.”

Kitab ini menegaskan bahwa lingkungan belajar tidak boleh diabaikan, karena membentuk pribadi sama pentingnya dengan mengisi akal.

Begitu pula dalam Manzhumah Hidayatil Adzkiya ila Thariqil Awliya, Imam Zaynuddin Al-Malibari mengatakan bahwa salah satu cara mengobati hati adalah dengan duduk bersama orang-orang Sholeh. Sebagaimana keterangan berikut:

ودواء قلب خمسة فتلاوة بتدبر المعنى وللبطن الخلا وقيام الليل والتضرع بالسحر ومجالسة الصالحين الفضلا

Artinya: “Obat hati ada lima: baca Al-Qur’an dengan merenungkan maknanya, dengan perut kosong, shalat malam, doa di waktu sahur, dan majelis orang-orang saleh yang utama,” (Syekh Zainuddin bin Ali Al-Malibari, Manzhumah Hidayatil Adzkiya ila Thariqil Awliya, [Indonesia, Al-Haramain Jaya: 2001 M], halaman 49).

Pesantren idealnya merupakan tempat yang seyogyanya merepresentasikan ekosistem ini.

Solusi Islam terhadap Kekhawatiran Ini

  1. Tabayyun dan Husnudzon

Islam mengajarkan untuk menghindari prasangka dan mendahulukan tabayyun (QS. Al-Hujurat: 6). Jangan terburu menilai pesantren buruk hanya karena isu-isu yang belum tentu benar adanya.

  1. Pilih Pesantren yang Terbuka dan Transparan

Komunikasi dua arah antara wali dan pihak pesantren penting agar wali merasa terlibat dalam perkembangan anaknya.

  1. Perkuat Doa dan Tawakkal

Doa orang tua sangat mustajab. Dalam hadits disebutkan:

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ يُسْتَجَابُ لَهُنَّ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ لِوَلَدِهِ

Artinya: “Tiga doa yang mustajab yang tidak diragukan lagi yaitu doa orang yang dizholimi, doa orang yang bepergian (safar) dan doa baik orang tua pada anaknya.” (HR. Imam Ibnu Majah)

  1. Didik Anak dengan Nilai Adab sebelum Ilmu

Dalam Ta’lim al-Muta’allim, disebutkan bahwa adab adalah fondasi ilmu. Orang tua perlu menanamkan prinsip ini sebelum anak mondok.

Berbicara tentang adab jauh lebih mulia dari pada ilmu dalam kitab Ta’lim Muta’allim juga diterangkan:

فلما رأيت كثيرا من طلاب العلم فى زماننا يجدون إلى العلم ولايصلون ومن منافعه وثمراته ـ وهى العمل به والنشر ـ يحرمون لما أنهم أخطأوا طريقه وتركوا شرائطه، وكل من أخطأ الطريق ضل، ولاينال المقصود قل أو جل، فأردت وأحببت أن أبين لهم طريق التعلم على ما رأيت فى الكتب وسمعت من أساتيذى أولى العلم والحكم

Artinya: “Tatkala aku melihat banyak dari para penuntut ilmu pada masa kita bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, namun tidak dapat mencapai hasilnya. Di antara manfaat dan buah ilmu adalah mengamalkan ilmu dan menyebarkannya. Mereka terhalang (dari ilmu) sebab kesalahan dalam metode mencari ilmu, dan mereka meninggalkan syarat-syaratnya. Sedangkan setiap orang yang salah jalan maka akan tersesat, dan tidak mendapat sesuatu yang ia inginkan sedikit ataupun banyak. Maka aku ingin menjelaskan kepada mereka tata cara belajar berdasarkan yang telah aku lihat dan dengar dari guru-guruku yang memiliki ilmu dan hikmah”. (Imam al-Zarnûji, Ta’lîm al-Muta’allim Tharîq at-Ta’allum, halaman 57)

  1. Libatkan Diri dalam Kegiatan Pesantren

Ikut kegiatan silaturahmi, forum wali santri, dan gotong royong dapat membangun rasa aman dan mempererat hubungan.

Kekhawatiran wali santri terhadap pergaulan anaknya di pesantren adalah bentuk cinta dan tanggung jawab. Namun, Islam telah menyediakan solusi yang menyeluruh: mulai dari memilih lingkungan baik, membangun komunikasi, hingga memperkuat spiritualitas. Pesantren, sebagai benteng moral dan ilmu, perlu berbenah agar menjadi lingkungan terbaik bagi generasi Islam masa depan. Maka, mari kita sikapi persoalan ini dengan bijak, adil, dan penuh iman.

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.