darulmaarif.net – Indramayu, 01 Agustus 2025 | 10.00 WIB

Dalam beberapa hari terakhir, publik diramaikan oleh kebijakan baru Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menyatakan bahwa rekening bank yang tidak aktif alias “nganggur” selama 3 hingga 12 bulan bisa diblokir. Kebijakan ini tentu memunculkan berbagai respons, mulai dari kekhawatiran masyarakat umum, pelaku UMKM, hingga lembaga sosial keagamaan seperti pondok pesantren, yang memiliki rekening dengan frekuensi transaksi tidak reguler.
Bagi sebagian kalangan, terutama institusi berbasis keumatan seperti pesantren, madrasah, dan lembaga sosial keagamaan, aktivitas perbankan tidak selalu dilakukan setiap bulan. Rekening mereka bisa pasif karena menunggu donasi, infak, atau pencairan dana tahunan dari mitra dan donatur. Hal serupa juga dialami oleh mahasiswa, ibu rumah tangga, atau para pekerja informal yang menggunakan rekening hanya untuk keperluan musiman. Maka, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran: apakah dana wakaf, infak, atau simpanan keluarga akan dibekukan hanya karena tidak digunakan dalam hitungan bulan?
Analisis Kebijakan: Tujuan dan Risiko
PPATK sebagai lembaga negara memiliki tugas penting dalam mencegah tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pendanaan terorisme. Rekening “dormant” (tidak aktif) kerap disalahgunakan sebagai rekening zombie, yakni akun bank yang dikuasai pihak ketiga (penipu atau jaringan ilegal) karena pemilik asli sudah tidak menggunakannya lagi.
Dari sisi regulasi, kebijakan ini sah sebagai langkah pencegahan dan penertiban sistem keuangan. Namun dari sisi sosial, perlu kehati-hatian dalam implementasinya. Tanpa sosialisasi yang baik, banyak masyarakat awam bisa menjadi korban kebijakan yang mereka tidak pahami.
Tinjauan Fiqih: Siapa yang Berhak atas Harta dalam Rekening Dormant?
Dalam khazanah fiqih Islam klasik, harta milik seseorang—selama tidak terbukti diwakafkan, dihibahkan, atau dilenyapkan secara syar’i—tetap menjadi hak penuh pemiliknya meski ia tidak menggunakan atau menyentuh harta tersebut dalam jangka waktu lama.
Imam Ibnu Abū Zahrah menjelaskan definisi al-milkiyyah sebagai berikut:
إخْتِصَاصٌ يُمْكِنُ صَا حِبُهُ شَرْعًا أَنْ يَسْتَبِدَّ بِالتَصَرُّفِ وَالْاِنْتِفَاعِ عِنْدَ عَدَمِ الْمَانِعِ الشَّرْعِيِّ
Artinya: “Pengkhususan seseorang terhadap harta menurut syara’ sehingga dia dapat mengendalikan pengelolaan dan mengambil manfaat darinya, selama tidak ada halangan syar’i.” (Muhammad Abū Zahrah, Muḥāḍarāt fī al-Milkiyyah wa Naẓariyyat al-‘Aqd [Kairo: Dār el-Fikr al-‘Arabī])
Imam Jalaluddin Aby Bakr Al-Kasani dalam kitabnya Badai’us Shonai’ menjelaskan bahwa hak kepemilikan atas harta tidak gugur dengan sebab tidak digunakan, kecuali jika ada sebab syar’i yang membatalkannya.
Adapaun menurut Syekh Abdul Karim Zidan, apabila pemiliknya sudah tidak dijumpai lagi, maka harta yang tidak sah dikuasai secara syara’ tersebut hendaknya diserahkan ke Baitul Mal.
من حيث نشأة حق الملكية الفردية، يشترط الإسلام أن ينشأ عن سبب شرعي، فإن نشأ عن سبب غير شرعي فإنّ الإسلام لا يعترف به ولا يحميه، بل يأمر بنزعه من يد حائزه وردِّه إلى مالكه الأصلي فإن لم يوجد وضع في بيت المال
Artinya: “Dilihat dari sisi timbulnya hak kepemilikan individu, Islam mengatur bahwasanya kepemilikan itu harus berasal dari sebab yang masyru’. Jika timbul dari sebab yang tidak masyru’, maka Islam tidak membolehkannya serta tidak mengakui hak kepemilikannya. Bahkan, Islam memerintahkan agar diserahkan kembali kepada orang yang berhak menerimanya dan pemilik asalnya. Bila tidak dijumpai, maka diserahkan ke baitu al-maal.” (Abdul Karim Zidan, Ushul al-Da’wah, Beirut: DKI, juz I, halaman 253)
Syekh Abdul Karim Zidan, salah seorang fuqaha mu’ashir menyatakan:
والأسباب الشرعية للملكية الاستيلاء على المال المباح، ويندرج تحت هذا النوع الصيد، وإحياء الأرض الموات، والاستيلاء على الكلأ والآجام، واستخراج المعادن والكنوز، وكل ذلك بشروط معينة
Artinya: “Beberapa sebab syar’i hadirnya kepemilikan adalah melalui jalan penguasaan yang mubah. Secara berturut-turut, contoh penguasaan lewat jalur satu ini, adalah berburu, ihya’ul mawat, penguasaan atas pada rumput dan gembalaan, menambang, menyimpan. Seluruhnya memiliki syarat-syarat khusus yang harus dipatuhi.” (Abd al-Karim Zidan, Ushul al-Da’wah, Beirut: DKI, juz I, halaman 253)
Dalam konteks ini, tidak aktifnya rekening tidak bisa serta-merta menggugurkan hak milik seseorang atas dananya, apalagi jika rekening tersebut berisi dana wakaf, zakat, atau infak.
Apakah Negara Boleh Membekukan Aset Rakyat?
Dalam literatur Fiqih Syiyasah, Ulama seperti Imam Al-Mawardi membolehkan negara mengambil tindakan atas harta rakyat dengan syarat:
- Demi kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah),
- Tidak mendzolimi individu,
- Didasarkan atas bukti yang sah, bukan kecurigaan semata.
Dalam salah satu karya monumentalnya, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:
ليس حق الملكية حقاً مطلقاً، وإنما هو مقيد بعدم إلحاق الضرر بالغير، فإذا ترتب على استعمال الحق إحداث ضرر بالغير نتيجة إساءة استعمال هذا الحق، كان محدث الضرر مسؤولاً.
Artinya: “Tidak ada hak kepemilikan yang bersifat mutlak. Bagaimanapun juga, hak senantiasa dibatasi dengan ketiadaan kerugian bagi pihak lain. Bilamana di kemudian hari ditemui bahwa penggunaan hak dapat menimbulkan kerugian bagi pihak tertentu disebabkan buruknya pemfungsian harta, maka dampak kerugian yang terjadi harus dipertanggungjawabkan.” (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhu, Dâr al-Fikr, 1985, juz 4, hlm. 299)
Dalam konteks ini, jika kita sebagai pemilik harta tidak menggunakan harta kita untuk kebaikan, maka harta tersebut berpotensi buruk terhadap terhadap individu atau masyarakat. Jika harta kepemilikan berpotensi merugikan individu atau masyarakat lain, maka negara berhak menyita aset kepemilikan harta tersebut demi tujuan kemaslahatan umat.
Jika PPATK menemukan indikasi bahwa suatu rekening digunakan untuk kejahatan, maka tindakan pemblokiran hukumnya diperbolehkan (mubah). Namun jika pemblokiran dilakukan secara otomatis hanya karena tidak aktif, tanpa bukti pelanggaran, maka dalam pandangan fiqih, hal itu bisa termasuk bentuk ta’addî ‘alal milkiyyah (pelanggaran atas hak milik pribadi) yang dilarang syara’.
Solusi Fiqih dan Saran Kebijakan
- Sosialisasi dan edukasi dari otoritas keuangan kepada publik agar mereka paham pentingnya menjaga keaktifan rekening.
- Peringatan terlebih dahulu kepada nasabah via SMS atau email sebelum pemblokiran dilakukan.
- Pengecualian bagi lembaga sosial dan pendidikan yang transaksinya bersifat musiman.
- Pemilik rekening bisa menunjuk wakil (wakil bil qabul) untuk menjaga agar rekening tetap aktif sesuai konsep wakalah dalam fiqih muamalah.
Kesimpulannya, secara hukum fiqih, pemblokiran rekening hanya karena tidak aktif selama tiga bulan tanpa alasan syar’i yang jelas berpotensi melanggar hak kemilikan harta pribadi. Islam sangat menghormati kepemilikan pribadi, dan negara diperbolehkan campur tangan hanya dalam situasi yang darurat dan dengan niat menjaga kemaslahatan umat.
Kebijakan ini sebaiknya ditinjau ulang agar implementasinya tidak merugikan umat, khususnya kalangan pesantren, lembaga dakwah, dan masyarakat kecil, yang kadang menyimpan dananya untuk keperluan jangka panjang, bukan karena lupa, tetapi karena kehati-hatian.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.