darulmaarif.net – Indramayu, 08 Desember 2025 | 20.00 WIB
“Barangsiapa yang menebang pohon kurma atau merusak tanah pertanian tanpa hak, maka ia telah berbuat kerusakan di bumi, dan Alloh tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” — Hadits Nabi Muhammad SAW
kelestarian alam yang kaya dan luka ekologis yang dalam. Pada gelombang bencana terbaru, provinsi ini menjadi salah satu wilayah paling terpukul oleh banjir dan tanah longsor yang menelan korban jiwa dan melumpuhkan infrastruktur. Laporan media internasional menggambarkan skala bencana yang membutuhkan dana rekonstruksi sangat besar dan menimbulkan krisis kesehatan serta kebutuhan rumah sementara.
Data citra satelit dan pemantauan tutupan hutan juga menyorot kehilangan hutan alam yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir — sebuah realitas yang memperbesar risiko longsor dan banjir. Di tingkat lokal, organisasi lingkungan sipil (WALHI Aceh) telah mendeteksi sejumlah kasus perambahan dan illegal logging yang mengubah fungsi lahan dan meretakkan mata pencaharian masyarakat adat dan petani lokal. Kondisi empiris ini memperlihatkan bahwa ancaman ekologis di Aceh bukan semata alamiah, melainkan juga hasil keputusan manusia yang mengesampingkan kelestarian.
Di Aceh, serambi Mekkah yang dulu dikenal sebagai negeri hijau dengan hutan tropis lebat, kini bergulat dengan mimpi buruk ekologis. Data BNPB per 6 Desember 2025 mencatat banjir dan longsor dahsyat merenggut 916 nyawa di Aceh, Sumut, dan Sumbar, dengan Aceh paling parah: 346 meninggal, 174 hilang, dan 775.342 pengungsi, terutama di Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, serta Bireuen. Walhi Aceh ungkap fakta kelam: 5.000 hektare hutan lindung di Aceh Barat hancur akibat tambang emas ilegal selama lima tahun, plus puluhan ribu hektare di Aceh Selatan, Pidie, hingga Nagan Raya rusak deforestasi, pencemaran sungai, dan DAS (Daerah Aliran Sungai). Tambang liar ini bukan sekadar ekonomi haram, tapi bom waktu yang picu banjir bandang November-Desember 2025, hancurkan 27.023 rumah, 12.782 ha sawah, dan isolasi desa-desa. Saat tanah basah darah korban dan air keruh limbah merkuri, Al-Baqoroh 205 berdering nyaring:
وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِى الْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ
Artinya: “Dan apabila ia berpaling, maka ia beritikad untuk berbuat kerusakan di bumi dan menghancurkan tanaman serta keturunan, padahal Alloh tidak menyukai kerusakan.” (QS. Al-Baqoroh Ayat 205)
Ayat ini bukan sekadar narasi historis tentang Al-‘Ashiyy bin Rizhzal, munafik yang pura-pura dermawan di hadapan Rosululloh SAW tapi berpaling jadi perusak alam. Tafsir Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim (jilid 1, hlm. 265-266, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, 1999) menjelaskan: “sa’ā fil-ardli liyufsida fīhā” berarti upaya sistematis rusak alam, termasuk “yuhlikal-hartsa wan-nasla” (merusak tanaman dan keturunan hewan/manusia). Imam Ibnu Katsir menkutip Mujahid: perusak seperti ini picu Alloh tahan hujan, tanaman mati, dan ternak punah.
Dalam kitab Zahratut Tafasir, Syekh Abu Zahrah berkata:
وعلى الأمر الثاني، وهو أن يكون معنى تولى صار واليًا: أن هذا الذي اجتذب ثقة الناس بالأماني البراقة، والأقوال الخادعة والأيمان الكاذبة واللسن في الجدل إذا تحققت بغيته، ونال طلبته، وصار واليًا على الناس، لَا يسعى لنفعهم، ولا يقيم الحق بينهم، بل يسعى لإشباع رغباته، ويحكم الناس لنفسه لَا لهم
Artinya: “Berdasarkan penafsiran kedua, yaitu bahwa kata tawalla berarti menjadi pemimpin, orang yang berhasil meraih kepercayaan masyarakat dengan janji-janji manis, ucapan-ucapan yang menipu, sumpah palsu, dan kepandaian berdebat; ketika ia telah mendapatkan apa yang diinginkan, mencapai ambisinya, dan akhirnya menjadi pemimpin bagi manusia, maka ia tidak berusaha untuk memberikan manfaat kepada mereka, tidak menegakkan kebenaran di tengah-tengah mereka. Sebaliknya, ia berupaya memuaskan hawa nafsunya sendiri, dan ia memerintah manusia untuk kepentingannya sendiri, bukan untuk kemaslahatan mereka. (Zahratut Tafasir, [Darul Fikr al-‘Arabi: t.th.], juz II, halalam 642)
Imam Jalaluddin as-Suyuthi di Tafsir al-Jalalain (hlm. 45, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1995) tegas: “al-hartsa” tanaman pertanian, “an-nasl” generasi hewan dan manusia, sehingga fasad ekologis termasuk dosa ganda: merusak ciptaan Alloh dan mewariskan kemiskinan bagi anak cucu di masa depan.
Bukti empiris dari Aceh mempertegas bahwa apa yang dikutuk teks suci bukanlah sekadar retorika. Statistik kehilangan tutupan hutan di provinsi ini menunjukkan angka yang mengkhawatirkan, di mana proporsi kehilangan tutupan pohon banyak terjadi pada hutan alam—fenomena yang memicu pelepasan emisi karbon dan menurunkan daya resap air tanah. Kasus illegal logging yang dilaporkan WALHI Aceh menambah gambaran bahwa tekanan ekonomi dan kelalaian pengawasan menjadi pemicu utama. Ketika hutan berkurang, ekosistem penyangga bencana—seperti penahan lereng dan daerah resapan—menghilang.
Aceh yang hancur bukan takdir organik alam, melainkan dosa struktural akibat ulah tangan manusia yang rakus, mirip Al-‘Ashiyy yang “tawallā” (berpaling) dari taqwa menuju tamak.
Dalam surat Al-A’raf ayat 56;
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya; “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf Ayat 56)
Imam Ibnu Hajar refleksikan bahwa khalifah di muka bumi wajib melakukan preservasi, bukan eksploitasi. Syekh Wahbah az-Zuhaili di Al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (jilid 1, hlm. 178, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, 2005) modernisasi: fasad modern seperti polusi industri, tambang liar Aceh, sama hukumnya dengan pembunuhan massal—Alloh benci karena rusak agama (hilang amanah) dan dunia (ekosistem runtuh).
Simak keterangan Sekh Wahbah az-Zuhaily berikut:
إن الأرض وما فيها من خيرات ومنافع وكنوز مسخرة للإنسان هي من نعمة الله وفضله، وهي حقل التجارب، ومرصد السلوك الإنساني
Artinya: “Sesungguhnya bumi beserta segala isinya, termasuk kebaikan, manfaat, dan harta terpendam, yang diperuntukkan bagi manusia, adalah bagian dari nikmat dan karunia Alloh. Bumi ini juga merupakan ladang ujian dan tempat pengamatan perilaku manusia.” (Tafsirul Munir, [Beirut: Darul Fikr, 1991 M], Jilid XIX, hlm. 24).
Artikel ini bukan sekadar telaah tekstual, tapi seruan darurat kepada seluruh umat manusia. Al-Baqoroh ayat 205 bukan metafor, tapi ancaman eksplisit: Alloh tidak suka fasad, dan Aceh yang bayar mahal—346 nyawa hilang, 775 ribu mengungsi, bangunan tinggal puing, sawah tenggelam. Saat hutan gundul dan sungai keruh merkuri, kita ulang dosa Al-‘Ashiyy: dermawan pura-pura, perusak sesungguhnya. Saatnya kita bangkit sebagai khalifah bumi teladan: terapkan syariat ekologis, razia tambang liar, dan taubatan nasuha secara kolektif.
Akhirnya, ayat Al-Baqoroh ayat 205 mengajukan pertanyaan etis yang menggetarkan: ketika teks suci dengan tegas mengutuk mereka yang “berusaha membuat kerusakan di muka bumi,” apakah umat hari ini cukup berani menegakkan hukum dan memperbaiki kebijakan demi memulihkan amanah ekologis? Ataukah kita akan membiarkan kepentingan sesaat dan struktur ekonomi yang merusak menunda tanggung jawab moral ini—sampai generasi di depan hanya menerima puing-puing kehancuran dan bencana mematikan?
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.