darulmaarif.net – Indramayu, 02 Juni 2025 | 10.00 WIB

Di tengah riuh perdebatan soal siapa yang paling Islami, siapa yang paling benar dalam tafsir, dan siapa yang pantas mewakili suara umat, kita sering lupa pada satu hal paling penting: untuk siapa sebenarnya agama ini diturunkan? Untuk siapa risalah langit itu hadir? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan ketika kita menyaksikan agama justru digunakan sebagai alat pembatas, bukan pemersatu.
Haidar membedakan dua pendekatan terhadap Islam: Islam Tuhan, yang mengedepankan nilai-nilai esensial seperti rahmah, hikmah, dan keadilan; dan Islam Manusia, yakni ekspresi formal dan sosial keislaman yang tak jarang dibentuk oleh kepentingan politik, budaya, bahkan ego identitas. Haidar menyerukan agar umat Islam kembali memaknai Islam sebagai jalan pencerahan, bukan sekadar simbol atau atribut konflik identitas.
Kita sama-sama menyoroti persoalan mendasar umat Islam masa kini: kehilangan spiritualitas di balik formalitas keagamaan. Agama direduksi menjadi simbol, slogan, bahkan alat kekuasaan. Akibatnya, Islam tidak lagi menghadirkan kesejukan bagi setiap pemeluknya, melainkan ketegangan yang sarat konflik antar golongan.
Realitas Keislaman Indonesia Saat Ini
Data dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2024 menunjukkan bahwa 78% umat Islam di Indonesia merasa bingung dengan banyaknya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebanyak 63% mengaku lebih memilih tokoh agama yang “menenangkan” ketimbang yang “mengeraskan”. Sementara itu, riset Alvara Research Center (2023) mengungkap bahwa generasi muda Muslim Indonesia cenderung menjauhi masjid karena merasa ajaran yang disampaikan kurang relevan dengan persoalan hidup sehari-hari.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa banyak umat Islam yang mengalami kegelisahan eksistensial. Mereka haus akan Islam yang mengakar secara spiritual, bukan hanya yang tampil dalam slogan atau perdebatan hukum di televisi. Inilah yang disorot tajam oleh Haidar Bagir dalam bukunya: bahwa Islam perlu ditransformasikan dari sekadar legal-formal menjadi eksistensial-substantif.
Islam sebagai Jalan Ruhani
Dalam itab Ihya Ulumiddin karya Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali menyatakan:
“Ilmu itu ada dua: ilmu lahir yang digunakan untuk dunia, dan ilmu batin yang menjadi bekal menuju akhirat. Ilmu batin adalah cahaya yang menerangi hati untuk mengenal Tuhan“. (al-Ghozali, Ihya’ ‘Ulumiddin, Juz I)
Imam Al-Ghozali menyebut bahwa untuk mencapai derajat ruhani sempurna, seseorang hendaknya menempuh empat jalan laku riyadhah. Empat jalan tersebut berkaitan dengan pengendalian konsumsi makanan, pengurangan jam tidur, pembatasan hasrat untuk bicara di luar kepentingan, dan menelan pahitnya tindakan orang lain yang tidak menyenangkan.
والرياضة على أربع أوجه القوت من الطعام والغمض من المنام والحاجة من الكلام وحمل الأذى من جميع الأنام فيتولد من قلة الطعام موت الشهوات ومن قلة المنام صفو الإرادات ومن قلة الكلام السلامة من الآفات ومن احتمال الأذى البلوغ إلى الغايات
Artinya: “Riyadloh ditempuh dengan empat jalan, yaitu (memenuhi) makanan pokok, memejamkan mata dari tidur, dan menelan pahit perilaku menyakitkan dari orang lain. Sedikit makan meredam gejolak syahwat. Sedikit minum dapat menyucikan kehendak dan pikiran. Sedikit bicara membawa keselamatan dari bencana dan kecelakaan. Menelan pahit perilaku menyakitkan dari orang lain (yang tidak masuk pidana) dapat menyampaikan kita pada tujuan-tujuan spiritual,” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439 H-1440 H], juz III, halaman 70-71).
Pernyataan ini senada dengan pesan utama Haidar Baghir bahwa keislaman sejati adalah yang membawa manusia menuju Tuhan, bukan menjadikannya fanatik buta terhadap simbol tanpa isi.
Dalam al-Mawa’idz al-‘Ushfuriyyah, Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-‘Ushfuri al-Shafi’i menyampaikan sebuah hadits marfu’:
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ
Artinya: “Sesungguhnya agama itu mudah. Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan memudahkannya. Karena itu, luruskanlah, dekatilah, dan berilah kabar gembira! Minta tolonglah kalian di waktu pagi-pagi sekali, siang hari di kala waktu istirahat dan di awal malam,” (HR. Imam Bukhori dan Muslim dalam al-‘Ushfuri, Mawa’idz, hlm. 20)
Pandangan ini sangat relevan dalam konteks keberagamaan kita yang sering kali menjadikan hukum sebagai alat pembatas, bukan jembatan spiritual.
Menuju Islam yang Memanusiakan
Dalam kondisi zaman yang semakin kacau—di mana perang informasi, konflik identitas, dan kekeringan makna melanda umat—umat Islam ditantang untuk kembali kepada ruh agama. Kita perlu mengembangkan Islam yang transformatif, yang tidak hanya memedulikan benar atau salah secara formal, tetapi juga mempertimbangkan hikmah, maslahat, dan nilai cinta dalam setiap praksis keberagamaan.
Islam semacam ini akan lebih inklusif terhadap perbedaan madzhab, lebih lembut dalam menyikapi perbedaan pandangan, dan lebih mendalam dalam memaknai ibadah sebagai jalan menuju jiwa yang tenang (nafs muthma’innah).
Penutup: Pertanyaan Bagi Kita Semua
Jika Islam adalah agama kasih, mengapa kita sering menggunakannya untuk menyakiti sesama Muslim? Dan jika Tuhan Maha Pengasih, sudahkah kita mencerminkan sifat-Nya dalam laku keislaman kita sehari-hari?
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.