Oase: 3 Pilar Syukur dalam Islam Menurut Imam al-Ghozali

darulmaarif.net – Indramayu, 03 Oktober 2025 | 13.00 WIB

Di tengah derasnya arus kehidupan modern, banyak orang merasa hidupnya serba kurang. Media sosial memperlihatkan pencapaian orang lain, membuat sebagian orang lupa menghargai anugerah Tuhan yang telah dimiliki. Ada yang punya pekerjaan tetap, tapi masih merasa tidak puas. Ada yang tubuhnya sehat, tapi sibuk mengeluhkan hal-hal kecil. Bahkan ada pula yang baru mendapatkan nikmat, namun seakan tak cukup karena selalu membandingkan diri dengan orang lain.

Padahal, Alloh Ta’ala sudah mengingatkan dalam Al-Qur’an:

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

Artinya: “Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kamu ingkar, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.’ (QS. Ibrahim Ayat 7)

Ayat ini menegaskan, syukur adalah kunci bertambahnya nikmat. Sebaliknya, kufur nikmat hanya akan mendatangkan kesempitan hidup dan azab. Namun, syukur yang dimaksud bukanlah syukur yang sebatas ucapan di bibir, melainkan syukur yang sejati—yang melibatkan hati, lisan, dan perbuatan.

Tiga Pilar Syukur Menurut Imam al-Ghozali

Imam al-Ghozali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin menjelaskan bahwa syukur memiliki tiga pilar utama:

  1. Syukur dengan ilmu, yakni keyakinan bahwa segala nikmat hanya berasal dari Alloh semata, bukan murni hasil usaha diri.
  2. Syukur dengan lisan, yaitu mengucapkan pujian kepada Alloh dengan penuh kesadaran, bukan sekadar kebiasaan.
  3. Syukur dengan amal, yakni menggunakan nikmat sesuai tujuan Alloh menciptakannya. Mata untuk melihat kebaikan, telinga untuk mendengar yang bermanfaat, lisan untuk berkata benar, dan harta untuk menolong sesama.

Imam al-Ghazali menegaskan, seseorang tidak pantas berkata “Alhamdulillah” dengan lisannya, sementara nikmat yang ia terima justru dipakai untuk melawan Alloh. Itu bukanlah syukur, melainkan pengingkaran.

Syukur dalam Pandangan Syekh Abu Hasan asy-Syadzili

Syukur juga mendapat penekanan mendalam dari Syekh Abu Hasan asy-Syadzili. Menurut beliau, syukur bukan hanya pada nikmat yang manis, tetapi juga pada ujian yang pahit. Sebab ujian sejatinya adalah nikmat yang tersembunyi: ia membersihkan dosa, menumbuhkan kesabaran, menguatkan jiwa, dan mendekatkan hamba kepada Alloh SWT.

Bagi orang arif, setiap keadaan adalah kesempatan untuk bersyukur—baik dalam kelapangan maupun kesempitan, sehat maupun sakit, berhasil maupun gagal.

Dari sini kita belajar bahwa syukur bukan sekadar kata, melainkan cara pandang.

  • Saat sehat, kita bersyukur dengan menjaga tubuh untuk ibadah.
  • Saat sakit, kita bersyukur karena sakit menjadi kafarat dosa.
  • Saat rezeki lapang, kita bersyukur dengan berbagi.
  • Saat rezeki sempit, kita bersyukur karena Alloh SWT sedang menjaga dari fitnah harta.
  • Saat berhasil, kita bersyukur dengan merendahkan hati.
  • Saat gagal, kita bersyukur karena Alloh SWT sedang menyiapkan jalan yang lebih baik.

Syukur menjadikan hati berhenti mengeluh tentang yang hilang, dan mulai menghargai apa yang masih ada. Dengan syukur, nikmat yang sedikit terasa cukup, dan ujian berubah menjadi anugerah.

Tidak heran jika para Ulama Salaf senantiasa memanjatkan doa:

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي لَكَ شَكَّاراً، لَكَ ذَكَّاراً

Artinya: “Ya Alloh, jadikan aku hamba-Mu yang banyak bersyukur dan banyak berdzikir.”

Jika kita renungkan bersama, ternyata syukur bukan sekadar kewajiban, tapi juga menjadi kunci kebahagiaan. Maka, pertanyaannya adalah: sudahkah kita benar-benar bersyukur dengan hati, lisan, dan amal—atau baru sekadar mengucapkan “Alhamdulillah” tanpa makna?

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share:

More Posts