darulmaarif.net – Indramayu, 10 Oktober 2025 | 13.00 WIB
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat dan penuh tekanan, manusia sering kali kehilangan arah dalam mencari ketenangan. Kejaran ambisi, persaingan sosial, dan tuntutan dunia digital membuat hati mudah lelah dan pikiran tak lagi damai. Dalam situasi seperti ini, Islam menghadirkan dua kunci penyejuk hati yang tak lekang oleh waktu: sabar dan syukur. Dua nilai spiritual ini bukan sekadar ajaran moral, tapi fondasi hidup yang mengantarkan seorang muslim menuju keseimbangan dan kebahagiaan sejati.
Alloh Ta‘ala berfirman dalam Al-Qur’an:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim Ayat 7)
Ayat ini menjadi landasan utama bagi setiap mukmin untuk terus bersyukur dalam setiap kondisi. Imam al-Ghozali menjelaskan bahwa syukur tidak cukup hanya dengan lisan mengucapkan alhamdulillah, tetapi harus melibatkan hati dan amal perbuatan. Menurut beliau, syukur berarti menyadari bahwa segala nikmat bersumber dari Alloh SWT, menumbuhkan kebahagiaan dalam hati, lalu menggunakan nikmat itu di jalan yang diridhai-Nya.
Dalam konteks kekinian, sabar dan syukur menjadi tameng dari rasa iri dan stres akibat perbandingan sosial di media digital. Melangitkan syukur berarti menatap setiap anugerah dengan mata hati, bukan mata dunia. Ia adalah doa yang terbang tinggi ke langit, menembus batas ego, hingga sampai pada keikhlasan menerima takdir Alloh Ta‘ala.
Syukur yang Menembus Langit
Syekh Abu Hasan al-Syadzili, seorang sufi besar, menuturkan bahwa hakikat syukur adalah ketika seorang hamba tidak berhenti pada nikmat, melainkan melihat Sang Pemberi nikmat. Artinya, syukur sejati bukanlah pada apa yang kita miliki, tetapi pada kesadaran bahwa Alloh-lah yang memberi. Dengan pandangan ini, seorang mukmin akan melihat dunia sebagai jembatan, bukan tujuan.
Dalam kehidupan modern yang serba tergesa, sabar dan syukur menuntun kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan menyadari betapa banyak nikmat yang sering terlupakan. Udara yang kita hirup, waktu yang kita miliki, hingga kemampuan untuk beribadah—semuanya adalah karunia besar yang patut disyukuri. Maka, melangitkan syukur berarti membiarkan hati kita naik ke puncak kesadaran Ilahi, tempat di mana semua kegelisahan sirna.
Sabar: Kekuatan yang Membumi
Namun, kehidupan tak selalu berisi nikmat. Ada waktu di mana ujian, kehilangan, dan kesedihan datang tanpa diundang. Di sinilah peran sabar diuji. Alloh Ta‘ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqoroh Ayat 153)
Ayat ini menegaskan bahwa sabar bukan sekadar menahan diri, tetapi bentuk pertolongan spiritual. Dalam menghadapi kesulitan hidup, sabar adalah pondasi yang membuat seorang mukmin tetap berdiri tegak. Baginda Rosululloh SAW bersabda:
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Artinya: “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin. Sesungguhnya, semua urusannya adalah kebaikan baginya. Jika mendapat kesenangan ia bersyukur, maka itu baik baginya. Jika ditimpa kesulitan ia bersabar, maka itu baik baginya.” (HR. Imama Muslim)
Hadits ini menegaskan keseimbangan antara sabar dan syukur sebagai dua sisi kehidupan seorang muslim. Saat lapang, ia bersyukur; saat sempit, ia bersabar—dan keduanya sama-sama membawa kebaikan baginya.
Membumikan Sabar dalam Kehidupan Sehari-hari
Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali membagi sabar menjadi tiga tingkatan: sabar dalam ketaatan, sabar menjauhi maksiat, dan sabar menerima takdir Alloh SWT. Membumikan sabar berarti menjadikannya nyata dalam setiap langkah hidup—menahan diri dari keluh kesah, tetap istiqamah beribadah, dan menerima setiap ujian dengan lapang dada. Syekh Abu Hasan al-Syadzili mengingatkan:
“Janganlah engkau meminta kepada Alloh agar dipindahkan dari satu keadaan ke keadaan lain, tetapi mintalah agar engkau bersama Alloh dalam setiap keadaan.”
Pesan ini begitu relevan di era modern. Banyak orang berusaha keluar dari kesulitan dengan cara yang salah: melarikan diri, mengeluh, atau menyerah. Padahal, sabar dan syukur adalah jalan tengah yang menuntun kita tetap bersama Alloh, baik di waktu senang maupun susah.
Dua Sayap Kehidupan: Sabar dan Syukur
Jika syukur mengangkat hati ke langit, maka sabar meneguhkan kaki di bumi. Dua kekuatan ini membuat seorang mukmin mampu berjalan teguh di tengah badai kehidupan. Dalam syukur, ia terhindar dari kufur nikmat; dalam sabar, ia terhindar dari keputusasaan.
Sabar dan syukur adalah dua sayap yang membuat jiwa manusia terbang menuju ridha Alloh. Tanpa keduanya, hidup akan timpang—mudah sombong saat lapang dan mudah putus asa saat sempit. Tetapi dengan keduanya, seorang mukmin menjadi kuat, tenang, dan bijaksana.
Di tengah dunia yang penuh distraksi dan ketidakpastian, mari kita bertanya kepada diri sendiri: sudahkah kita benar-benar melangitkan syukur atas nikmat yang tak terhitung, dan membumikan sabar dalam menghadapi badai ujian hidup yang datang silih berganti?
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.