darulmaarif.net – Indramayu, 13 Agustus 2025 | 10.00 WIB
Penulis: Usth. Syahfa Aidillah
Di era modern saat ini, pola komunikasi antara orang tua dan anak mengalami tantangan besar. Survei Common Sense Media (2024) menunjukkan bahwa rata-rata anak dan remaja di dunia menghabiskan lebih dari 6 jam per hari di depan layar gadget, sementara interaksi mendalam dengan orang tua semakin menurun. Kondisi ini berdampak pada kualitas pendidikan akhlak, nilai, dan spiritual anak.
Islam sesungguhnya telah memberikan model pendidikan anak yang ideal, salah satunya melalui kisah Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS. Kisah ini bukan sekadar sejarah atau peristiwa yang dikenang saat Idul Adha, melainkan kurikulum pendidikan tauhid, dialog, keteladanan, dan kasih sayang yang relevan sepanjang masa.
- Pendidikan Tauhid Sejak Dini
Nabi Ibrahim AS dikenal sebagai Abul Anbiya’ (bapak para nabi) sekaligus Bapak Tauhid. Bahkan kepada ayahnya yang menyembah berhala, beliau menyeru dengan penuh kelembutan dan logika (QS. Maryam: 42–45).
Ketika mendidik Nabi Ismail AS, tauhid menjadi fondasi utama. Alloh SWT mengabadikan momen penting ini dalam firman-Nya:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ
Artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’” (QS. Ash-Shaffat Ayat 102)
Ayat ini bukan sekadar menggambarkan ujian ketaatan, tetapi juga memperlihatkan dialog terbuka yang menghargai akal dan perasaan anak.
- Kekuatan Dialog dan Kelembutan Komunikasi
Nabi Ibrahim AS tidak serta-merta memaksa Nabi Ismail AS. Beliau mengajak berbicara, mendengar pendapat, dan membangun rasa saling percaya. Model ini selaras dengan prinsip komunikasi dalam pendidikan anak yang dijelaskan Imam al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumiddin, Juz 3, hlm. 72:
وَالصَّبِيُّ أَمَانَةٌ عِنْدَ وَالِدِهِ، وَقَلْبُهُ الطَّاهِرُ جَوْهَرَةٌ نَفِيسَةٌ سَاذَجَةٌ، وَهُوَ قَابِلٌ لِكُلِّ مَا نُقِشَ
Artinya: “Anak adalah amanah di sisi orang tuanya. Hatinya yang suci bagaikan permata berharga yang polos, siap menerima setiap goresan yang diberikan.”
Prinsip ini menunjukkan bahwa pendidikan anak harus mengedepankan kelembutan, bukan paksaan.
- Keteladanan dalam Ketaatan dan Keteguhan Hati
Puncak pendidikan adalah keteladanan. Nabi Ibrahim tidak hanya memerintahkan ketaatan, tetapi ia sendiri menjalankannya, meski sangat berat. Nabi Ismail AS pun menjawab dengan penuh iman:
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّابِرِينَ
Artinya: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu! Insya Alloh engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (QS. Ash-Shaffat Ayat 102)
Ketaatan ini adalah buah dari proses pendidikan yang konsisten sejak kecil, sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Abdullah Nashih Ulwan dalam Tarbiyyatul Aulad fil Islam (jilid 1, hlm. 107):
وَالْأَبُ هُوَ الْمُرَبِّي الْأَوَّلُ لِأَخْلَاقِ وَلَدِهِ وَدِينِهِ، وَعَلَيْهِ أَنْ يَكُونَ لَهُ فِي كُلِّ سُلُوكٍ قُدْوَةً وَأُسْوَةً
Artinya: “Ayah adalah pendidik pertama bagi akhlak dan agama anaknya, dan harus menjadi teladan dalam setiap perilaku dan teladan.”
- Kasih Sayang Tanpa Sikap Memiliki
Nabi Ibrahim AS mengajarkan bahwa anak adalah titipan Alloh, bukan milik pribadi yang mutlak. Dalam ujian berat itu, beliau rela menyerahkan yang paling dicintai demi ketaatan pada Allah. Pesan ini sejalan dengan nasihat dalam Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhori (bab 3, hlm. 15):
إِنَّ أَوْلَادَكُمْ هِبَةُ اللَّهِ لَكُمْ، يُهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيُهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ
Artinya: “Sesungguhnya anak-anak kalian adalah pemberian Alloh kepada kalian. Dia memberikan kepada siapa yang Dia kehendaki anak perempuan, dan kepada siapa yang Dia kehendaki anak laki-laki.”
Kasih sayang yang mendidik berarti mengarahkan anak kepada ridho Alloh, bukan sekadar memeluk erat demi kepuasan diri.
Pelajaran Abadi untuk Pendidikan Anak
Kisah Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS mengajarkan empat hal penting bagi pendidikan anak zaman ini:
- Fondasi tauhid sejak dini.
- Dialog terbuka dan komunikasi yang lembut.
- Keteladanan nyata dalam ketaatan.
- Kasih sayang yang membebaskan dari ego kepemilikan.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
Artinya: “Sesungguhnya Alloh mencintai jika salah seorang di antara kalian melakukan suatu pekerjaan, ia menyempurnakannya. (HR. Imam ath-Thobroni dalam al-Mu’jam al-Awsath)
Pendidikan anak dalam Islam bukan hanya soal pengetahuan, tetapi pembentukan hati, akhlak, dan iman. Kisah Nabi Ibrahim AS adalah panduan abadi yang menggabungkan akal, hati, dan ruh dalam satu tarikan nafas pendidikan.
Jika orang tua zaman ini mampu meneladani pola pendidikan ini, maka akan lahir generasi yang kuat tauhidnya, lembut hatinya, dan kokoh prinsipnya di tengah derasnya arus zaman.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.