Framing dan Kuasa Media di Balik Tagar #BoikotTrans7: Membaca Ulang Wacana Pesantren yang Dicederai

darulmaarif.net – Indramayu, 14 Oktober 2025 | 20.00 WIB

Tagar atau tanda pagar #BoikotTrans7 kini menyeruak di media sosial setelah stasiun televisi swasta itu menayangkan sebuah program yang dinilai mengandung unsur pelecehan terhadap kiai dan pesantren. Tayangan tersebut memicu gelombang kekecewaan luas, terutama dari kalangan santri dan alumni pesantren di seluruh Indonesia.

Program Xpose Uncensored yang tayang pada 13 Oktober 2025 menampilkan judul provokatif: “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok? Kiainya Yang Kaya Raya, Tapi Umatnya Yang Kasih Amplop.”

Kalimat ini menjadi simbol dari bagaimana media membentuk realitas, bukan sekadar menampilkan fakta. Inilah yang dalam teori komunikasi dan filsafat bahasa disebut sebagai framing — cara media “mengemas” realitas sehingga audiens diarahkan pada persepsi tertentu.

Teks Lengkap Tayangan Xpose Uncensored Trans7 yang Dikecam

Sebelum membedah secara detail isi konten framing Xpose Uncensored yang tayang pada 13 Oktober 2025 kemarin, simak teks lengkap yang sudah penulis ubah dari tayangan audiovisual nya sebagai berikut:

Judul: “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok? Kiainya Yang Kaya Raya, Tapi Umatnya Yang Kasih Amplop.”

Dunia Pesantren Kian Disorot Pasca Robohnya Pondok Al-Khozini

Pasca robohnya Pondok Al-Khozini (Buduran – Sidoarjo) yang diduga akibat santri-santrinya disuruh ikut mengecor bangunan, dunia pesantren kembali menjadi sorotan publik. Banyak pihak menilai bahwa di sejumlah pesantren masih terjadi praktik yang dianggap sebagai bentuk eksploitasi anak dan feodalisme. Beberapa potret yang ramai beredar di media sosial turut memantik perdebatan panjang.

Pertama, santri harus jalan jongkok untuk mendapatkan segelas susu.

Dalam sebuah video, terlihat seorang Ibu Nyai membagikan susu dalam gelas plastik kecil kepada para santri. Namun sebelum menerimanya, para santri harus berjalan jongkok mendekatinya. Sekilas tampak seperti latihan fisik atau olahraga, tetapi banyak warganet yang menilai hal itu lebih menyerupai perlakuan otoriter ketimbang pendidikan akhlak.

Kedua, kiai yang kaya raya, tapi justru umat yang memberi amplop.

Fenomena santri atau jamaah yang masih mencium tangan kiai dengan cara ngesot atau merunduk, bahkan oleh yang sudah berusia lanjut, turut disorot. Ironisnya, yang memberi hormat justru masih juga memberikan amplop kepada sang kiai. Hal ini memunculkan kecurigaan bahwa sebagian kiai hidup dalam kemewahan hasil dari pemberian umat. Mobil mewah, sarung berharga jutaan rupiah, dan rumah megah menjadi simbol ketimpangan. Padahal secara moral, banyak yang berpendapat bahwa seharusnya kiai-lah yang membantu umatnya yang kurang mampu. Namun, di sisi lain, ada pula yang beranggapan bahwa memberi amplop kepada kiai merupakan bentuk mencari berkah—kalau tidak mendapat manfaat dunia, setidaknya berharap mendapat hikmah.

Ketiga, santri disuruh bekerja hingga ke hal-hal pribadi.

Beberapa video juga memperlihatkan para santri dan santriwati membersihkan rumah kiai: menyapu, mengepel, mencuci pakaian dan perabotan dapur, bahkan sampai mengelap daun tanaman hias. Bagi sebagian orang, hal ini dianggap sebagai bentuk feodalisme modern yang tidak pantas dilakukan di lembaga pendidikan.

Namun, bagi sebagian santri lain, aktivitas seperti itu justru dianggap sebagai ro’an dalam—kerja bakti atau pengabdian yang menjadi bentuk latihan jiwa dan kedekatan batin dengan gurunya. Mereka meyakini bahwa hal itu adalah bagian dari tradisi pesantren yang diwariskan turun-temurun.

Pada akhirnya, perlu dibedakan antara pesantren sejati dan pesantren yang menyimpang dari nilai luhur pendidikan Islam.

Pondok yang sejati, juga kiai yang sejati, tidak akan pernah meminta apalagi menginstruksikan santrinya untuk melakukan hal-hal yang di luar batas kewajaran. Mereka meneladani para guru terdahulu yang mengajarkan adab, keikhlasan, dan pengabdian dengan cinta, bukan dengan paksaan.

Framing dan Kekuasaan Bahasa dalam Media

Dalam konteks ini, bahasa bukanlah alat netral. Bahasa adalah instrumen kekuasaan, sebagaimana ditekankan oleh filsuf Michel Foucault, bahwa “di balik setiap wacana selalu ada relasi kuasa.” Kalimat dalam judul tayangan tersebut bekerja secara ideologis — ia bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi mengarahkan makna dan menciptakan stigma terhadap kelompok sosial tertentu, dalam hal ini pesantren dan para kiai.

Frasa “santrinya minum susu aja kudu jongkok” menampilkan citra inferioritas, seolah kehidupan santri identik dengan keterbelakangan dan kekolotan. Sementara kalimat “kiainya yang kaya raya, tapi umatnya yang kasih amplop” melahirkan kesan eksploitasi dan kemunafikan, seakan pesantren menjadi lembaga hipokrit yang menindas umat.

Padahal, dalam realitas sosial, pesantren adalah institusi pendidikan moral dan spiritual yang telah berabad-abad berperan dalam mencetak generasi bangsa. Maka, ketika media menampilkan pesantren dalam bingkai “kemiskinan yang eksotis” atau “kiai yang rakus”, sesungguhnya media sedang melakukan apa yang oleh Teun A. van Dijk disebut sebagai ideological square: menonjolkan sisi negatif kelompok tertentu sambil menutupi sisi positifnya.

Analisis Wacana Kritis: Membongkar Teks dan Ideologi

Dalam teori Analisis Wacana Kritis (AWK), khususnya model Norman Fairclough, terdapat tiga level pembacaan: teks, praktik wacana, dan praktik sosial.
Mari kita bedah satu per satu.

  1. Level Teks (Pilihan Bahasa dan Struktur Narasi)

Judul tayangan Trans7 tidak sekadar memuat provokasi, tetapi juga sarat strategi polarisasi simbolik. Kata “jongkok” dan “amplop” dipilih bukan tanpa alasan. “Jongkok” merepresentasikan posisi bawah, tunduk, dan tidak berdaya; sementara “amplop” mengandung konotasi ekonomi yang negatif—gratifikasi atau ketergantungan material.

Bahasa ini bukan netral, tetapi mengandung makna ideologis yang secara halus merendahkan nilai-nilai kesederhanaan yang menjadi identitas pesantren.

  1. Level Praktik Wacana (Produksi dan Distribusi Makna)

Dalam dunia media, konten seperti ini biasanya lahir dari logika pasar — mengejar rating, sensasi, dan klik. Tayangan dikemas agar “menjual” konflik dan kontroversi. Namun di balik logika pasar ini, ada kuasa yang lebih halus: agenda setting, yaitu bagaimana media menentukan isu apa yang penting dan bagaimana masyarakat harus memandangnya.

Dengan demikian, masyarakat bukan sekadar disuguhi informasi, tapi dibentuk persepsinya agar memandang pesantren sebagai institusi yang “ketinggalan zaman”.

  1. Level Praktik Sosial (Dampak Ideologis di Masyarakat)

Di sini, efeknya jauh lebih serius. Wacana yang berulang dan masif di media dapat membentuk common sense baru dalam masyarakat: pesantren dilihat bukan sebagai pusat peradaban, melainkan ruang yang terbelakang. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan bisa terkikis sedikit demi sedikit.

Inilah bahaya laten hegemoni media yang bekerja halus dalam ruang kesadaran publik.

Noam Chomsky dan Politik Kuasa Media

Dalam bukunya “Manufacturing Consent: The Political Economy of the Mass Media”, Avram Noam Chomsky mengungkap bagaimana media arus utama tidak netral, melainkan menjadi instrumen reproduksi kekuasaan.
Menurut Chomsky, media modern berfungsi seperti “pabrik persetujuan” (factory of consent), di mana opini publik dibentuk agar sejalan dengan kepentingan elit ekonomi dan politik.

Dalam kasus ini, framing Trans7 tidak bisa dibaca hanya sebagai kesalahan redaksi, tetapi sebagai produk dari struktur kuasa media kapitalistik yang sering kali menempatkan kelompok religius tradisional sebagai objek eksotik. Pesantren dijadikan latar “drama kemiskinan” agar menarik empati dan sensasi, tapi bukan penghormatan.

Chomsky menyebut ini sebagai bentuk propaganda terselubung — bukan dengan kebohongan langsung, tapi dengan penghilangan konteks dan pembiasan makna. Pesantren tidak diberi ruang bicara, sementara media mendominasi narasi.

Ketika Media Menjadi Tuhan Kecil

Dalam tatanan modern, media telah menjelma menjadi Tuhan kecil yang menentukan siapa yang pantas dihormati dan siapa yang harus dicurigai. Ia mengatur makna, menentukan arah empati publik, bahkan menciptakan “realitas sosial baru” yang sering kali lebih kuat daripada kenyataan itu sendiri.

Namun di tengah badai itu, para santri, alumni pesantren, dan masyarakat yang melek wacana justru mulai melawan dengan senjata narasi balik. Tagar #BoikotTrans7 bukan sekadar ekspresi emosional, tapi menjadi bentuk perlawanan simbolik terhadap hegemoni media.

Tagar ini menunjukkan bahwa publik kini tak lagi menjadi penonton pasif. Mereka menjadi subjek kritis yang sadar bahwa media pun bisa salah, bisa bias, bahkan bisa menindas dengan cara yang sangat halus.

Kebenaran dan Keberanian Menolak Framing!

Dari sudut pandang filsafat komunikasi, persoalan ini bukan hanya tentang marah terhadap sebuah tayangan, tapi tentang perebutan makna dan martabat. Di era digital, makna bukan lagi milik fakta, tetapi milik mereka yang paling pandai mengemasnya.

Pesantren, dengan segala nilai asketis dan spiritualnya, kini diuji untuk tidak hanya menjadi penjaga iman, tetapi juga penjaga narasi kebenaran di tengah dunia yang sibuk mencetak opini.

Seperti kata Chomsky, “Jika Anda tidak mengontrol media, maka media yang akan mengontrol pikiran Anda.”

Dan hari ini, melalui tagar #BoikotTrans7, umat menunjukkan bahwa mereka masih punya kesadaran, punya budaya kritis, dan punya keberanian untuk berkata: cukup!

Maka, pertarungan ini bukan sekadar soal tayangan televisi. Ini adalah pertarungan antara makna dan manipulasi, antara kebenaran dan kapital, antara pesantren yang jujur dengan media yang sering kali licik menyamar sebagai cermin kebenaran.

Media tak pernah henti menjadi cermin — namun cermin itu retak oleh kepentingan. Dalam fragmen viral ini, kita melihat bagaimana wajah pesantren dipaksa masuk ke dalam cetakan logika pasar: direndahkan agar laku, dikomersialkan agar viral, dan lalu dibuang ketika kontroversi usai. Kepedihan santri — yang mungkin nyata atau mungkin terdistorsi — menjadi komoditas emosi yang ditukar dengan keuntungan perhatian.

Jika kita hanya puas menabuh genderang boikot di kolom komentar tanpa menuntut transparansi dan solidaritas struktural, kita pada dasarnya merawat sebuah kebohongan publik baru: bahwa kemarahan sesaat menggantikan keadilan yang bertahan lama. Media yang memproduksi hinaan dan publik yang menikmati hinaan—keduanya menandatangani surat tugas bersama untuk membiarkan anak-anak menjadi korbannya. Jika tidak diubah, maka bukan hanya televisi yang layak diboikot — melainkan kepatuhan pasif kita sendiri.

Dan di ujung semua ini, satu pertanyaan mengguncang kita:
Apakah kita masih menjadi manusia yang berpikir sendiri — atau sekadar gema dari apa yang media ingin kita percayai?

Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share:

More Posts