darulmaarif.net – Indramayu, 08 Desember 2025 | 10.00 WIB
Di era modern ini, tren “Living Apart Together” (LAT) atau menikah tapi tetap tinggal terpisah rumah semakin marak di kalangan pasangan muda urban. Bukan zina atau pacaran gelap, tapi pasangan sah nikah siri atau resmi tercatat KUA, namun memilih serumah terpisah karena alasan karier, privasi, atau faktor lain seperti finansial. Fenomena ini viral di TikTok dan Instagram, dengan hashtag #MenikahTerpisah ratusan ribu views, sering digambarkan sebagai solusi kekinian untuk hindari konflik rumah tangga.
Secara sederhana, LAT adalah bentuk hubungan romantis jangka panjang di mana pasangan memilih tinggal di rumah berbeda. Namun, penting untuk diketahui bahwa LAT bukan tanda ada masalah, bukan pula sekadar fase sementara. LAT adalah keputusan sadar untuk menjaga otonomi, ruang pribadi, dan kebebasan, sembari tetap berkomitmen dalam hubungan.
Alasan pasangan memilih gaya hidup ini juga beragam. Ada yang ingin mempertahankan kemandirian finansial, ada yang harus menyesuaikan tuntutan karier, ada pula yang memang lebih nyaman punya ruang terpisah.
Data dari berbagai survei menunjukkan LAT bukan tren Barat doang, tapi sudah meresap di Indonesia. Menurut penelitian BRIN di Manado (Pendataan Keluarga 2021 BKKBN), sekitar 0,6% penduduk urban jalani kohabitasi atau pola serupa, dengan 24,3% pelakunya di bawah 30 tahun, mayoritas lulusan SMA (83,7%), dan 53,5% kerja informal. Secara global, BBC mencatat 9% pasangan dewasa di Eropa pilih LAT karena prioritas karier atau ingin rumah sendiri, sementara di Inggris proporsi nikah terpisah capai 3%. Di Indonesia sendiri, faktor pendorong LAT pasangan menikah: jarak kerja antar kota (Jakarta-Bandung), tekanan ekonomi rumah tangga besar, hingga keinginan jaga independensi. Dampak negatifnya? Tinggi konflik emosional, anak tumbuh tanpa figur ayah harian (fatherless), dan rawan perceraian karena kurangnya bonding dalam parenting.
Bagi sebagian orang, pola seperti mungkin ini terdengar aneh. Bukankah inti pernikahan adalah tinggal bersama dan berbagi rutinitas sehari-hari?
Pertanyaannya, dengan dunia yang semakin modern dan gaya hidup individualis ini, muncul pertanyaan penting: apakah LAT selaras dengan visi Islam soal pernikahan dengan tujuan membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah?
Serumah Wajib untuk Bangun Rumah Tangga Sakinah?
Dari sudut pandang Islam, pernikahan bukan sekadar akad legal, tapi fondasi keluarga harmonis yang mengharuskan kedekatan fisik dan emosional. Ulama fiqh sepakat suami wajib menyediakan tempat tinggal serumah (maskan syar’i) sebagai bagian nafkah materiil istri, sebagaimana disebutkan Syekh Musthafa Al-Khin sebagai berikut:
يقدم بعد نفسه: زوجته، لأن نفقتها آكد، فإنها لا تسقط بمضي الزمان، بخلاف نفقة الأصول والفروع، فإنها تسقط بمضي الوقت
Artinya: “Setelah dirinya, suami harus mendahulukan istrinya. Menafkahinya lebih ditekankan karena nafkahnya tidak gugur seiring dengan berlalunya waktu. Berbeda halnya dengan nafkah untuk orang tua atau anak. Nafkah mereka gugur seiring dengan berlalunya waktu. Setelah diri dan istrinya, posisi orang yang harus dinafkahi seorang laki-laki adalah anaknya, kemudian ibunya yang tidak mampu, kemudian ayahnya yang tidak mampu, kemudian anak dewasanya yang tidak mampu, kemudian kakeknya yang tidak mampu. (Lihat Al-Fiqhul Manhaji ‘ala Mazhabil Imamis Syafi‘i, jilid IV, halaman 178)
LAT secara umum bertentangan dengan substansi rumah tangga karena hilangnya interaksi harian, musyawarah, dan tarbiyah anak bersama. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ Syarh al-Muhadhdhab (jilid 16, hlm. 284, Dar al-Fikr, Beirut, 1997) tekankan: suami berkewajiban menanggung biaya hidup istri serumah agar terwujud sakinah. Jika terpisah tanpa darurat (seperti dinas luar), hukumnya makruh atau haram karena berpotensi rusak mahram dan privasi. Islam dorong serumah untuk tumbuhkan mawaddah (kasih sayang) melalui rutinitas bersama.
Al-Quran tetapkan tujuan pernikahan sebagai pembentuk keluarga damai:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Alloh) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum Ayat 21)
Pada kitab Tafsir Jami’ al-Bayan an-Ta’wil Ay al-Qur’an karya imam At-Thobary, menjelaskan surah Ar-Rum ayat 21 diturunkan, karena adanya hubungan tali pernikahan. Dalam sebuah tali pernikahan, Alloh menghadirkan kasih sayang yang bisa membuat kalian saling mengasihi pasangan kalian. Rasa kasih sayang di antara kalian, merupakan salah satu tanda dari kebesaran Alloh SWT.
Dan perlu diperhatikan, pada ayat di atas menegaskan bahwa istri-istri diciptakan bukan untuk kebutuhan biologis sang suami semata, melainkan untuk menemukan ketentraman hati dan kasih sayang dari masing-masing pasangan. Syekh Mutawali as-Sya’rawi menjelaskan:
ولو تأملنا هذه المراحل الثلاثة لوجدنا السكن بين الزوجين، حيث يرتاح كُلٌّ منهما إلى الآخر، ويطمئن له ويسعد به، ويجد لديه حاجته. . فإذا ما اهتزتْ هذه الدرجة ونفرَ أحدهما من الآخر جاء دور المودّة والمحبة التي تُمسِك بزمام الحياة الزوجية وتوفر لكليهما قَدْرًا كافيًا من القبول.
Artinya: “Jika kita memperhatikan tiga tahapan ini, kita akan menemukan bahwa ketenangan (sakan) antara suami-istri adalah tahap pertama, yaitu ketika masing-masing merasa nyaman satu sama lain, merasa aman, bahagia, dan menemukan kebutuhan emosionalnya pada pasangannya.
Apabila ketenangan ini mulai goyah dan salah satu pihak mulai merasa tidak nyaman, maka tibalah peran mawaddah dan cinta kasih. Rasa cinta inilah yang menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga dan memberi keduanya kadar penerimaan yang memadai satu sama lain.” (Syekh Mutawali as-Sya’rawi, Tafsir as-Sya’rawi, [Mathabiul Akhbar: 1997], jilid XIII, halaman 8077)
Syekh Wahbah Zuhaili juga menambahkan bahwa fitrah seorang laki-laki memiliki keterikatan yang kuat kepada perempuan. Keterikatan ini menunjukkan bahwa secara alami laki-laki membutuhkan kedekatan yang utuh dengan perempuan, bukan hanya dalam bentuk perhatian atau komunikasi, tetapi juga dalam kebersamaan hidup.
فإن الرجل متعلق بالمرأة، ميال إليها، فهي مطمح النظر، وموضع العناية، وإليها تسكن نفسه
Artinya: “Laki-laki itu pada dasarnya terikat dengan perempuan, condong kepadanya. Ia memandangnya sebagai sesuatu yang menarik, yang layak diperhatikan, dan kepadanyalah jiwa (perasaan) laki-laki itu menemukan ketenangan.” (Wahbah Zuhaili, at-Tafsir al-Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1991], jilid III, halaman 166)
Oleh karena itu, dalam kondisi ideal laki-laki tinggal serumah bersama istrinya agar kebutuhan fitrah ini tersalurkan dengan baik. Tinggal bersama menciptakan ruang yang memungkinkan lahirnya kehangatan, ketenangan, serta hubungan emosional yang lebih kuat.
Dalam sebuah hadits Rosululloh SAW bersabda:
فَإذَا قَضَى أحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ مِنْ سَفَرِهِ، فَلْيُعَجِّلْ إِلَى أهْلِهِ
Artinya: “Jika salah seorang dari kalian telah selesai dari tujuan atau kebutuhan berpergiannya, maka hendaknya ia segera kembali kepada keluarganya.” (HR. Imam Bukhori dan Muslim)
Dalam menjelaskan hadits tersebut, Ibnu Hajar menyatakan bahwa berpisah dari keluarga tanpa kebutuhan yang jelas, apalagi sampai menyebabkan mereka terlantar, termasuk perbuatan yang tercela. Artinya, selama perpisahan suami istri didasari kebutuhan yang tidak bisa dihindari dan seluruh kewajiban masih terpenuhi, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Meski demikian, dianjurkan agar seseorang segera kembali setelah urusannya selesai.
Fenomena LAT meski praktis secara duniawi, bertentangan dengan tuntunan syariat yang menuntut hidup serumah agar terwujud keluarga yang sakinah, cegah zina, dan tarbiyah optimal kepada anak.
Solusinya dari persoalan LAT, coba prioritaskan akad nikah lalu cari solusi logistik seperti relokasi kerja atau bagi waktu adil. Nasihat: komunikasi terbuka pra-nikah soal ekspektasi serumah, libatkan keluarga besar, dan istiqomah sholat berjamaah di rumah untuk bangun kondisi rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Ingat, rumah tangga sukses bukan soal jarak fisik, tapi komitmen syar’i—mari ubah LAT jadi “Living As Together” yang diberkahi Alloh SWT!
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.