Darul Ma’arif – Indramayu | 09 Maret 2026 | 21.00 WIB

Menjelang Idul Fitri, umat Islam di seluruh dunia sibuk menunaikan zakat fitrah. Pertanyaan yang kerap muncul di kalangan masyarakat adalah, apakah santri atau pelajar agama berhak menerima zakat fitrah? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat banyaknya santri di pesantren yang hidup dalam keterbatasan ekonomi dan bergantung pada bantuan pihak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan pendidikan mereka.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Madzhab Syafi’i umumnya tidak memperbolehkan santri menerima zakat fitrah kecuali mereka termasuk dalam delapan golongan penerima zakat (ashnaf tsamaniyah) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an. Sementara itu, Madzhab Maliki memiliki pandangan yang lebih fleksibel dengan membolehkan santri menerima zakat jika mereka tidak mendapat bantuan dari negara. Lalu, bagaimana pandangan ulama klasik terhadap persoalan ini? Mari kita telaah lebih dalam.
Santri dan Delapan Golongan Penerima Zakat
Dalam Surah At-Taubah ayat 60, Alloh SWT telah menentukan delapan golongan yang berhak menerima zakat:
- Fakir
- Miskin
- Amil (pengelola zakat)
- Muallaf (orang yang baru masuk Islam)
- Riqab (hamba sahaya)
- Gharim (orang yang berhutang)
- Fi sabilillah (di jalan Allah)
- Ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal)
Menurut Mazhab Syafi’i, santri tidak termasuk golongan yang secara langsung berhak menerima zakat, kecuali jika mereka tergolong fakir, miskin, atau termasuk kategori lain seperti ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal dalam perjalanan menuntut ilmu). Hal ini berarti seorang santri hanya boleh menerima zakat jika ia benar-benar berada dalam kondisi ekonomi yang sulit.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab tafsir Jalalain:
(وفي سبيل الله ) أي القائمين بالجهاد ممن لا فيء لهم ولو أغنياء
Artinya: “(Dan di jalan Alloh) yaitu mereka yang terlibat dalam jihad, yang tidak memiliki bagian dari harta rampasan perang, meskipun mereka kaya.” (Tafsir Jalalain, Juz 3, Hal. 294)
Dari keterangan ini, madzhab Syafi’i mengartikan fi sabilillah sebagai jihad fisik di medan perang, bukan menuntut ilmu. Oleh karena itu, santri tidak secara otomatis masuk dalam kategori penerima zakat.
Madzhab Maliki: Santri Berhak Menerima Zakat
Berbeda dengan Syafi’iyah, ulama Malikiyah memperbolehkan santri menerima zakat, meskipun mereka bukan dari kalangan fakir atau miskin. Menurut mereka, menuntut ilmu adalah bagian dari jihad, terutama jika ilmu yang dipelajari berkaitan dengan agama.
(مذهب مالك ) أَنَّ طَلَبَةَ الْعِلْمِ الْمُنْهَمِكِيْنَ فِيْهِ لَهُمُ الْأَخذ مِنَ الزَّكَاةِ وَلَوْ أَغْنِيَاءَ
Artinya: “Madzhab Maliki berpendapat bahwa para pencari ilmu yang serius dalam belajarnya berhak menerima zakat, meskipun mereka kaya raya.” (Hasyiyah As-Sawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain, Juz 2, Hal. 132)
Menurut pandangan ini, seorang santri yang benar-benar fokus belajar boleh menerima zakat, terutama jika tidak ada sumber pendapatan lain yang bisa menopang studinya.
Pendapat Imam An-Nawawi: Santri Boleh Menerima Zakat Jika Tidak Bisa Bekerja
Pendapat yang lebih moderat datang dari Imam An-Nawawi, seorang ulama besar dalam mazhab Syafi’i. Dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab, beliau menjelaskan bahwa seorang pencari ilmu yang tidak dapat bekerja karena kesibukannya dalam menuntut ilmu diperbolehkan menerima zakat.
قالوا ولو قدر على كسب يليق بحاله إلا أنه مشتغل بتحصيل بعض العلوم الشرعية بحيث لو أقبل على الكسب لانقطع عن التحصيل حلت له الزكاة لأن تحصيل العلم فرض كفاية (وأما) من لا يتأنى منه التحصيل فلا تحل له الزكاة إذا قدر على الكسب وإن كان مقيما بالمدرسة هذا الذي ذكرناه هو الصحيح المشهور
Artinya: “Ulama berkata, ‘Apabila seorang mampu mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai dengan kemampuannya, tetapi dia mengurungkan niat bekerja karena sibuk belajar agama; sebab kalau bekerja, dia tidak bisa fokus belajar dan tidak mendapatkan ilmu, maka dibolehkan memberikan zakat kepadanya. Karena, menuntut ilmu hukumnya fardhu kifayah. Akan tetapi, orang yang tidak sungguh-sungguh belajar tidak berhak menerima zakat bila dia mampu untuk bekerja, meskipun dia tinggal di madrasah. Ini adalah pendapat yang shahih dan masyhur.” (Al-Majmu’, Juz 6, Hal. 317)
Namun, beliau juga menegaskan bahwa jika seorang santri tidak bersungguh-sungguh dalam belajar, maka ia tidak berhak menerima zakat, meskipun tinggal di pesantren.
Kesimpulan: Apakah Santri Boleh Menerima Zakat Fitrah?
Berdasarkan berbagai pandangan ulama di atas, ada beberapa kesimpulan penting yang bisa kita ambil:
- Menurut Madzhab Syafi’i, santri hanya berhak menerima zakat jika termasuk dalam kategori fakir, miskin, atau ibnu sabil.
- Menurut Madzhab Maliki, santri yang serius menuntut ilmu diperbolehkan menerima zakat, meskipun mereka memiliki harta (orang kaya).
- Menurut Imam An-Nawawi, santri boleh menerima zakat jika ia benar-benar fokus menuntut ilmu dan tidak bisa bekerja untuk mencukupi kebutuhannya.
Maka, dalam konteks sekarang, jika seorang santri hidup dalam keterbatasan dan tidak memiliki sumber pendapatan lain, ia berhak menerima zakat. Namun, jika ia mampu bekerja atau memiliki dukungan finansial yang cukup, lebih baik tidak mengambil hak orang-orang yang lebih membutuhkan.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.