darulmaarif.net – Indramayu, 17 September 2025 | 10.00 WIB
Hari ini, hampir mustahil membayangkan manusia tanpa gawai. Setiap pagi, sebelum mata benar-benar terbuka, notifikasi ponsel sudah lebih dulu menyapa. Wajah manusia, sebelum bercermin pada kaca, lebih dulu bercermin pada layar. Pertanyaannya, apakah kita benar-benar hadir dalam realitas, atau sekadar hadir dalam layar-layar yang kita buat sendiri?
Fenomena ini menunjukkan perubahan mendasar dalam cara kita memahami Eksistensi Manusia. Jika dulu kehadiran seseorang ditandai dengan tubuh yang nyata, pekerjaan yang kasat mata, atau interaksi yang terasa fisik, kini kehadiran justru ditentukan oleh jejak digital: akun Instagram, status WhatsApp, unggahan TikTok, atau thread panjang di X (Twitter). Seseorang yang tidak memiliki akun media sosial, sering dianggap “tidak ada”, atau bahkan “ketinggalan zaman”. Maka muncullah adagium baru masyarakat digital: “Aku klik, maka aku Ada.”
Dari Cogito ke Klik: Peralihan Paradigma Eksistensi
René Descartes pernah menegaskan cogito ergo sum — “Aku berpikir, maka aku ada.” Filosofi klasik ini meletakkan eksistensi pada kemampuan refleksi akal budi. Namun kini, refleksi itu digantikan dengan performativitas digital: bukan apa yang dipikirkan, melainkan apa yang ditampilkan.
Budaya klik menggeser eksistensi menjadi datafied existence (eksistensi yang dijadikan data). Menurut Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019), manusia di era digital tidak lagi sekadar pengguna teknologi, melainkan objek komodifikasi: setiap klik, like, dan share, berubah menjadi data yang dijual dan diperdagangkan. Dengan kata lain, kita ada karena kita dikonsumsi.
Masyarakat Temporal, Fluktuatif, dan Artifisial
Masyarakat baru yang lahir dari ruang digital adalah masyarakat yang bergerak cepat, temporal, artifisial, dan fluktuatif. Tidak ada refleksi panjang; yang ada hanyalah respons cepat terhadap trending topic. Kehidupan menjadi potongan-potongan pendek yang viral—seperti reels, stories, atau konten berdurasi 15 detik.
Jean Baudrillard, filsuf postmodern Prancis, dalam Simulacra and Simulation (1981), menyebut fenomena ini sebagai “hiperrealitas”: dunia di mana simulasi lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Ketika foto liburan lebih penting daripada liburan itu sendiri, ketika swafoto bersama keluarga lebih bermakna daripada obrolan hangat di meja makan, kita sedang hidup dalam simulasi.
Di sini, manusia bukan lagi subjek murni yang berpikir dan bertindak, melainkan objek algoritma. Kita menjadi pasif dalam kecepatan yang memaksa—selalu bereaksi, jarang berefleksi.
Ramai dalam Kesendirian, Sendiri dalam Keramaian
Paradoks digital semakin jelas: kita ramai dalam kesendirian, tapi sendiri dalam keramaian. Di media sosial, seseorang bisa dikelilingi ribuan pengikut, ribuan komentar, dan ribuan likes. Namun ketika layar dimatikan, sepi menyeruak, dan terasa lebih sunyi daripada malam tanpa bintang.
Sherry Turkle, profesor MIT dalam bukunya Alone Together (2011), mengungkapkan bahwa teknologi membuat kita “terhubung, tapi kesepian.” Kita menciptakan persona digital yang disukai banyak orang, namun meninggalkan keintiman sejati dengan orang-orang terdekat. Kehidupan sosial yang dulunya penuh sentuhan, tatapan, dan suara, kini direduksi menjadi emoji, stiker, dan reaction.
Seluler, Sekuler, dan Vibrasi Elektromagnetik
Ponsel pintar tidak hanya mengubah gaya hidup, tetapi juga ritme eksistensi manusia. Seluler membuat kita selalu terhubung, tetapi pada saat yang sama menciptakan “sekuleritas baru”—memisahkan manusia dari ritme alam semesta.
Dulu, manusia hidup selaras dengan ritme alam: terbitnya matahari menandai awal aktivitas, tenggelamnya matahari menandai waktu beristirahat. Kini, ritme hidup lebih banyak diatur oleh notifikasi, alarm, dan kalender digital. Vibrasi elektromagnetik dari smartphone menjadi pengganti suara ayam berkokok atau desir angin sore.
Kehidupan modern, dengan segala kecepatan dan kepadatannya, perlahan memutus manusia dari akar alamiah: kesunyian, refleksi, dan kesadaran akan keterhubungan dengan semesta.
Klik, Share: Seketika
Budaya instan “klik, share, seketika” membentuk generasi yang cepat dalam berbagi, tetapi miskin dalam mengolah. Informasi dibanjiri, tetapi pemahaman dangkal. Setiap orang menjadi broadcaster, tetapi sedikit yang menjadi pendengar sejati.
Di titik ini, kita perlu bertanya: apakah budaya digital menjadikan kita lebih bebas, atau justru lebih terikat oleh algoritma yang mengendalikan kita? Apakah kita sedang hidup dalam kebebasan berekspresi, atau sekadar menjadi tenaga kerja gratis yang menghasilkan data untuk kapitalisme platform?
Kita hidup di zaman di mana eksistensi tidak lagi ditentukan oleh kedalaman berpikir, melainkan oleh kecepatan jempol menekan tombol. “Aku klik, maka aku ada” menjadi mantera baru peradaban digital. Namun, apakah benar eksistensi manusia dapat direduksi menjadi sekadar klik?
Apakah kita masih mampu menemukan diri sejati di balik notifikasi dan layar yang tak pernah tidur? Ataukah kita sudah menjadi simulasi dari diri kita sendiri—ramai dalam kesendirian, dan sendiri dalam keramaian?
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.