darulmaarif.net – Indramayu, 13 Oktober 2025 | 10.00 WIB
“Sesunggunya setiap amal ada saat semangatnya dan setiap saat semangat ada saat furutnya..” (HR. Imam Ahmad, Shahih Al-Jami’is Shoghir)
Hadits riwayat Imam Ahmad di atas menunjukkan bahwa setiap amalan ada saat semangat dan ada pula saat futurnya. Futur secara bahasa bermakna pecah, lemas, dan lemah. (Al-Mukhtasr As-Shihah, Bab fatara). Menurut Ar-Raghib dalam Al-Mufradat fi Gharibil Qur’an (hlm. 731), Futur artinya putus setelah tersambung, lembut setelah keras, dan lemah setelah kuat. Senada dengan Ar-Raghib, Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab menulis, “Seseorang telah futur; putus setelah tersambung dan lembut setelah keras”. (Lisanul Arab, Bab fatara). Sementara dalam Kitab Afatun ‘alat Thariq (1/19) dijelaskan bahwa futur adalah malas, lambat, dan santai setelah bersungguh-sungguh, rajin, dan bersemangat.
Futur adalah istilah penting dalam ilmu tasawuf. Ia menggambarkan situasi ketika seorang salik/penempuh jalan ketuhanan secara rohani mengalami situasi “down,” turun, patah semangat. Ibarat sebuah lampu, “futur” adalah kondisi ketika lampu kejiwaan seserang “mblêrêk,” memudar sinarnya.
Tetapi “futur” juga menggambarkan keadaan kejiwaan secara umum; tidak saja dalam hal ketasawufan saja. Ketika pada suatu pagi kita tiba-tiba “mager,” malas gerak, ogah melakukan rutinitas jalan atau lari pagi, itu adalah futur.
Kondisi “jeroan” manusia memang sangat fluktuatif, seperti sebuah gelombang. Ada saat-saat seseorang mengalami situasi pasang/naik: semangatnya meluap-luap. Inilah yang disebut euforia. Ada saat lain ketika “jeroan” orang itu mengalami surut. Dalam momen seperti ini, ia seperti kehilangan “selera” untuk melakukan apa saja, alias mager.
Semua orang tentu pernah mengalami pasang-surut kondisi jiwa seperti ini. Jika situasi futur ini sedang menimpa, kita biasanya akan mengalami ketidak-nyamanan, melankolia, bahkan kesedihan. Inilah momen “gloomy,” mendung kejiwaan kita; mendung rohani.
Menjaga kondisi agar “jeroan” atau kejiwaan kita stabil secara terus-menerus, jelas susah dan amat berat. Yang paling bisa dilakukan, paling jauh, adalah menjaga agar fluktuasi dan pasang-surut “jeroan” kita tidak terlalu drastis. Jika sedang bersemangat, tidak terlalu meluap berlebihan; jika sedang kehilangan “api” juga tidaklah ekstrim. Tengah-tengah. Inilah mungkin situasi kerohanian yang disebut “istiqomah”.
Kefuturan biasanya terjadi secara perlahan. Artinya seseorang tidak serta merta terputus secara total dari suatu amal setelah sebelumnya ia rajin, bersemangat, dan rutin dalam melakukan suatu amalan. Tetapi berawal dari fenomena malas, bosan dan semacamnya yang tidak disadari dan tidak diatasi. Sehingga ketika fenomena dan gejalanya makin akut sulit untuk bangkit kembali.
Oleh karena itu mengenali fenomena dan gejala futur sangat penting, agar mudah menghindarinya atau mudah mengatasinya ketika awal mula datang. Ibarat penyakit mengenali gejalanya merupakan salah satu cara menghindari dan mengobatinya ketika telah menimpa. Berikut ini uraian singkat 10 fenomena dan gejala futur yang perlu diketahui agar mudah terhindar dari penyakit ini.
Bermalas-malasan dalam Melakukan Ibadah dan Ketaatan
Hal ini juga merupakan salah satu sifat orang Munafiq, Alloh SWT berfirman tentang mereka dalam Surat An-Nisa ayat 142:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang hendak menipu Alloh, tetapi Alloh Maha Kuasa membalasa tipudaya mereka, jika bangkit untuk shalat mereka bangkit dalam keadaan malas. Mereka riya kepada manusia dan tidak berdzikir kepada Alloh melainkan sedikit”. (QS. An-Nisa Ayat 142)
Termasuk fenomena ini adalah malas mengerjakan shalat malam, shalat witir, dan shalat-shalat sunnah rawatib, yang apabila terlewatkan, sangat jarang diqadha. Selain itu Contoh lain dari gejala dan fenomena ini adalah lalai dari membaca Al-Qur’an dan berdzikir. Bisanya hal ini berawal dari merasa berat melakukannya (baca Qur’an dan dzikir), lantas lambat laun ditinggalkan.
Hati Terasa Gersang dan Mengeras
Hati yang keras sebagai akibat dari dosa membuat seseorang tidak lagi tersenuth oleh bacaan Qur’an dan Mau’idzah (nasehat). Sebab hati telah tertutupi oleh dosa tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Muthaffin ayat 14;
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِم مَّا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Artinya: “Sekali-kali tidak, tapi hati mereka tertutup oleh perbuatan dosa yang mereka lakukan”. (QS. Al-Muthaffin Ayat 14)
Kadang kerasnya hati sampai pada tingkat tidak dapat mengambil pelajaran dari kematian atau adanya orang mati. Dia melihat jenazah atau melewati kuburan, namun hatinya tidak tersentuh sedikitpun. Padahal kematian merupakan pemberi peringatan. “Kafa bilmati wa ‘idzon“; cukuplah kematian sebagai pemberi peringatan”, kata Amirul Mu’minin Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu.
Melakukan Perbuatan Dosa dan Maksiat
Perbuatan dosa dan maksiat yang dimaksud di sini adalah dosa dan maksiat yang dilakukan secara terus menerus tanpa disadari dan disertai sikap meremehkan dosa dan maksiat tersebut. Dosa dan maksiat yang dilakukan secara sadar dan sengaja tanpa persaan bersalah sama sekali akan berlanjut pada sikap mujaharah (melakukan dosa secara terang-terangan).
“Setiap ummatku (berpeluang) untuk diampuni, kecuali orang-orang yang melakukan dosa secara terang-terangan”, kata Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim. (terj. Hadits Shahih Bukhori dan Muslim)
Tidak Bertangung Jawab Serta Meremehkan dan Menyepelekan Amanah Yang Dibebankan di Pundaknya
Orang yang futur biasanya tidak menngagungkan amanah yang dibebankan kepadanya. Ia hidup tanpa target dan tujuan yang tinggi. Perhatian dan targetnya sangat rendah. Cita-cita dan keinginannya tidak tinggi. Tidak peduli dengan problem yang menimpa kaum Muslimin. Bila diberi amanah dan tugas da’wah ia meremehkan dan melalaikannya, padahal menunaikan mahan merupakan bagian dari iman. Nabi menafikan kesempurnaan iman bagi orang yang tidak amanah.
Terputusnya Hubungan Persaudaraan Antara Dua Orang Yang Sebeleumnya Saling Mencintai
Diantara fenomena futur adalah saling membenci dan menjauhi sesama saudara setelah sebelumnya saling mencintai. Tentu saja fenomena ini disebabkan oleh dosa masing-masing atau salah satuu pihak. Rasul bersabda tentang hal ini, “Tidaklah dua orang saling mencintai karena Alloh atau karena Islam, kecuali dipisahkan oleh suatu dosa yang dilakukan salah satunya”. (HR. Ahmad dan Al-Haitsami).
Hal ini kemudian berlanjut pada sikap menjauhi teman dan saudara yang shaleh, lalu memilih menyendiri atau bergaul dengan teman yang buruk yang membuatnya makin jauh dari jalan yang benar. Benarlah sabda Rasul yang mulia, “Seseorang tergantung Agama teman dekatnya, maka hendaknya setiap kalian memeperhatikan siapa yang ia jadikan teman dekat”.
Sibuk dengan Urusan Dunia Serta Melalaikan Ibadah
Dunia memang menggoda dan menggiurkan. Sedikit orang yang selamat dari perangkapnya. Sehingga kadang kita temukan seseorang yang dulunya terkenal sangat bersemangat dalam menuntut ilmu dan berda’wah. Namun setelah menggeluti dunia dan sibuk dengannya, ia makin larut sehingga ia berubah. Hatinya tergantung pada dunia. Semangat, kesibukan, dan obsesinya hanya untuk dunia semata.
Banyak Bicara dan Sedikit Kerja
Orang-orang seperti ini biasanya sibuk membicarakan dan menceritakan apa yang pernah dilakukannya pada masa lalu. “Dulu saya begini dan begitu”, “Dulu saya pernah melakukan ini dan itu”, “Program itu dulu saya yang gagas dan rintis”, dst. Ia lebih sibuk membahas apa yang pernah dilakukannya pada masa lalu tinimbang melakukan pekerjaan yang bermanfaat dan mendatangkan hasil pada masa kini. Orang seperti ini juga senang dah ahli berdebat serta mengemukakan teori-teori, tapi malas bekerja.
Berlebih-lebihan dalam Urusan Makan, Minum, Pakaian, dan Kendaraan
Seharusnya perkara-perkara itu tidak perlu berlebihan dan menggelayuti seluruh perhatian. Secukupnya saja dan tidak perlu berlebihan, sebagaimana yang disyariatkan oleh Alloh; “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada saat setiap (memasuki) masjid, serta makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (terj. Qs. Al-A’raf Ayat 31)
Orang yang telah terjangkiti penyakit futur biasanya mencurahkan seluruh perhatianya pada hal-hal di atas (makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan). Padahal bagi seorang Muslim hal itu sebatas wasilah dan sarana ibadah mendekatkan diri kepada Allah.
Padamnya Api Cemburu, Melemahnya Bara Iman, dan Tidak Adanya Kemarahan Saat Aturan Allah Dilanggar
Orang yang futur biasanya tidak sensitif terhadap kemunkaran dan pelanggaran yang terjadi di hadapannya. Dia menyaksikan kemunkaran, namun baginya biasa-biasa saja. Melihat orang-orang berbuat dosa, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal paling tidak ia dapat berreaksi dengan standar paling minimal (selemah-lemah iman), yakni membenci dosa dan kemunkaran tersebut dalam hati, sebagaimana disabdakan oleh Rosululloh SAW.
Fenomena dan Gejala Lain
Selain kesembilan gejala dan fenomena di atas, masih ada bentuk-bentuk yang lain yang merupakan tanda-tanda futur, diantaranya,
(a) Menyia-nyiakan waktu dan tidak memanfaatkannya dengan baik untuk melakukan hal-hal yang lebih bermanfaat. Ia lebih menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak penting.
(b) Bekerja serampangan dan asal-asalan serta tanpa target dan tujuan yang jelas.
(c) Menipu diri sendiri dengan sok sibuk, padahal sebenarnya menganggur dan bersantairia. Ia sibuk dengan pekerjaan yang remeh temeh dan tidak berguna, sehingga pekerjaan lain yang lebih urgent terbaikan.
(d) Mengkritik semua aktivitas positiv dan tidak turut serta dalam suatu amal. Ia lebih banyak mencari-cari alasan untuk menutupi kefuturan dan kemalasannya, dan
(e) Suka menunda-nunda pekerjaan dan panjang angan-angan, sehingga tidak satupun pekerjaan dan amanah yang diselesaikannya.
Perlu diketahui bahwa bahaya futur dan kewajiban membebaskan diri darinya baik dengan upaya preventif maupun kuratif. Ini supaya kita dapat mengambil faedah dari berbagai metode terapi dan bermacam solusi. Syekh Prof. Dr. Nashir bin Sulaiman Al-Umar dalam kitab Al-Futur: Al-Madzahir, Al-Asbab, wa Al-‘Ilaj menyebut beberapa langkah efektif untuk menepis mendung rohani:
- Menjaga iman dan memperbaruinya,
- Muraqabatullah dan banyak berdzikir kepada-Nya.
- Ikhlas dan takwa,
- Menjernihkan hati,
- Menuntut ilmu, disiplin belajar, serta rajin menghadiri halaqah dzikir dan ceramah agama,
- Memahami Fiqh Waqi’ (Fikih Realitas).
- Manhaj yang benar, titik tolak yang mendasar, dan memperhatikan Manhaj Talaqqi,
- Wasathiyah (adil, moderat, tengah-tengah),
- Mengatur waktu dan intropeksi diri,
- Komitmen kepada jama’ah,
- Menjaga orang-orang yang futur,
- Tarbiyah yang menyuluruh dan komplit,
- Melaksanakan beragam ibadah dan amal,
- Teladan yang baik,
- Cita-cita yang tinggi, tujuan yang mulia, dan semangat yang membaja,
- Memperbanyak dzikrul mau dan mengkhawatirkan su’ul khatimah,
- Sabar dan meneguhkan kesabaran,
- Berdoa dan memohon pertolongan kepada Alloh SWT.
(Dinukil dari Kitab Al-Futur; Al-Madzahir, Al-Asbab, Wa Al-‘Ilaj, Karya Syekh. Prof. DR. Nashir bin Sulaiman Al-Umar)
Ketika futur atau “mendung rohani” mulai menutupi hati, jangan panik. Awan kelabu itu bisa disingkirkan dengan dzikir, tholabul ‘ilmi, dan doa yang ikhlas. Hati yang terus disirami iman akan kembali cerah. Semoga Alloh SWT menjaga kita agar selalu berada dalam sinar istiqomah dan dijauhkan dari futur yang melemahkan.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.